Remedial Sanding Reg A dan B
Bacalah abstrak atau resensi penelitian tentang sastra perbandingan di luar Indonesia. Sajikan pokok-pokok bahasan yang penting. Sertakan infor sumber rujukan anda. Setiap yang remedial mengumpulkan tiga temuan dari salah satu dari pilihan tersebut.
Kirim melalui halaman ini, paling lambat saat pelaksanaan UAS MK ini.
Berikan hasil yang baik karena hasil tugas Anda akan menjadi bahan untuk UAS.
M. Reza Rinjani
A1B107030
PBSI Reguler A
Sastra Bandingan (Remedial)
Perbandingan Film dan Novel Twilight Saga
Sumber:
http://twilightsaga.wikia.com/wiki/Twilight_book_to_movie_differences
Pada resensi ini, dua karya yang dibandingkan adalah novel dan film Twilight Saga. Novel Twilight Saga lebih dulu diterbitkan. Film Twilight Saga dibuat dengan menyesuaikan ceritanya pada novel itu. Dalam resensi ini terdapat perbedaan antara novel dan film Twilight Saga. Berikut ini adalah beberapa perbedaan tersebut.
Pertama, di novel tidak ada tokoh Waylon Forge, sedangkan di film tokoh ini ditampilkan dibunuh oleh Victoria dan James (para vampir jahat) ketika Waylon memperbaiki perahunya.
Kedua, di novel tokoh Emmet dan Rosalie tidak dihadirkan di rumah keluarga Cullens ketika Bella berkunjung ke situ, sedangkan di film, kedua tokoh itu ditampilkan sedang menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan Bella.
Ketiga, di novel disebutkan bahwa Bella mengetahui bahwa si Edward adalah vampir ketika mereka berada di mobil dalam perjalanan ke daerah Forks, sedangkan di film, Bella mengetahui bahwa Edward adalah vampir ketika mereka berada di padang rumput.
Perbandingan Film dan Novel Harry Potter and Half Blood Prince
Sumber:
http://www.articlesbase.com/movies-articles/differences-between-harry-potter-and-the-half-blood-prince-book-and-movie-1011675.html
Resensi ini membahas dua karya, yaitu novel dan film Harry Potter seri kelima, Harry Potter and Half Blood Prince. Di dalam kedua karya tersebut terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu menyebabkan penonton tidak akan bisa memahami jalan cerita film jika mereka tidak membaca novelnya terlebih dulu. Salah satu perbedaan tersebut adalah mengenai penggambaran tokoh Profesor SlugHorn. Dia digambarkan sebagai tokoh yang benar-benar mengetahui tentang sosok Voldemort (tokoh jahat musuh Harry potter), sedangkan di film, tokoh Professor SlugHorn memang ditampilkan, tetapi perwatakannya tidak dijelaskan secara detil.
Perbandingan Film dan Novel Romeo and Juliet
Sumber:
http://wiki.answers.com/Q/Difference_between_romeo_and_juliet_the_book_and_the_movie
Dalam resensi berikut ini, dua karya yang dibandingkan adalah film dan novel Romeo and Juliet. Novel Romeo and Juliet lebih dulu diterbitkan. Film Romeo and Juliet dibuat dengan menyesuaikan jalan ceritanya terhadap jalan cerita novel itu. Dalam resensi tersebut terdapat perbedaan antara keduanya dari segi jalan cerita. Berikut ini adalah beberapa perbedaan tersebut.
Pertama, di novel, disebutkan bahwa Romeo membunuh tokoh Paris di kuburan dalam perjalanan menemui Juliet, sedangkan di film, tokoh Paris tidak dihadirkan di kuburan itu.
Kedua, di novel disebutkan bahwa Nyonya Montague meninggal dunia akibat terlalu larut dalam kesedihan atas kematian puteranya, sedangkan di film, Nyonya Montague ditampilkan hanya berada di kuburan sedang menyaksikan proses pemakaman puteranya, Romeo.
Ketiga, di novel disebutkan bahwa Romeo singgah di sebuah toko obat untuk membeli racun sebagai media bunuh diri, sedangkan di film, Romeo bunuh diri dengan meminum racun yang sudah diminum oleh Juliet.
NAMA : INDAH PURNAMASARI RADIYANTI
NIM : A1B107010
REMEDIAL SASTRA PERBANDINGAN
Comparative literature (sometimes abbreviated “Comp. lit.”) is critical scholarship dealing with the literature of two or more different linguistic, cultural or national groups. While most frequently practiced with works of different languages, it may also be performed on works of the same language if the works originate from different nations or cultures among which that language is spoken. Also included in the range of inquiry are comparisons of different types of art; for example, a comparatist might investigate the relationship of film to literature.
Overview
Students and instructors in the field, usually called “comparatists,” have traditionally been proficient in several languages and acquainted with the literary traditions and major literary texts of those languages. Some of the newer sub-fields, however, stress theoretical acumen and the ability to consider different types of art concurrently, over high linguistic competence.
The interdisciplinary nature of the field means that comparatists typically exhibit some acquaintance with translation studies, sociology, critical theory, cultural studies, religious studies, and history. As a result, comparative literature programs within universities may be designed by scholars drawn from several such departments. This eclecticism has led critics (from within and without) to charge that Comparative Literature is insufficiently well-defined, or that comparatists too easily fall into dilettantism, because the scope of their work is, of necessity, broad. Some question whether this breadth affects the ability of Ph.D.s to find employment in the highly specialized environment of academia and the career market at large, although such concerns do not seem to be borne out by placement data that shows comparative literature graduates to be hired at similar or higher rates than their compeers in English.
The terms “Comparative Literature” and “World Literature” are often used to designate a similar course of study and scholarship. Comparative Literature is the more widely used term in the United States, with many universities having Comparative Literature departments or Comparative Literature programs.
Comparative literature is an interdisciplinary field whose practitioners study literature across national borders, across time periods, across languages, across genres, across boundaries between literature and the other arts (music, painting, dance, film, etc.), across disciplines (literature and psychology, philosophy, science, history, architecture, sociology, politics, etc.). Defined most broadly, comparative literature is the study of “literature without borders.” Scholarship in Comparative Literature include, for example, studying literacy and social status in the Americas, studying medieval epic and romance, studying the links of literature to folklore and mythology, studying colonial and postcolonial writings in different parts of the world, asking fundamental questions about definitions of literature itself. What scholars in Comparative Literature share is a desire to study literature beyond national boundaries and an interest in languages so that they can read foreign texts in their original form. Many comparatists also share the desire to integrate literary experience with other cultural phenomena such as historical change, philosophical concepts, and social movements.
Terjemahan :
Perbandingan sastra adalah beasiswa kritis berurusan dengan sastra dari dua atau lebih yang berbeda bahasa , budaya atau nasional kelompok. Sementara yang paling sering berlatih dengan karya bahasa yang berbeda, namun dapat juga dilakukan pada karya-karya bahasa yang sama jika karya berasal dari negara yang berbeda atau budaya antara mana bahasa yang diucapkan. Juga termasuk dalam rentang penyelidikan adalah perbandingan antara berbagai jenis seni, misalnya, sebuah comparatist mungkin menyelidiki hubungan film untuk sastra .
Ikhtisar
Siswa dan instruktur di lapangan, biasanya disebut “comparatists,” secara tradisional telah mahir dalam beberapa bahasa dan berkenalan dengan tradisi sastra dan teks-teks sastra utama bahasa-bahasa. Beberapa sub-bidang baru, bagaimanapun, stres ketajaman teoritis dan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai jenis seni secara bersamaan, selama kompetensi linguistik tinggi.
Interdisipliner sifat lapangan berarti bahwa comparatists biasanya menunjukkan beberapa kenalan dengan studi terjemahan , sosiologi , teori kritis , kajian budaya, kajian agama , dan sejarah. Akibatnya, program sastra komparatif dalam universitas dapat dirancang oleh para sarjana yang diambil dari beberapa departemen tersebut.. Elektisitas telah menyebabkan kritikus (dari dalam dan tanpa) untuk biaya yang Perbandingan Sastra tidak cukup didefinisikan dengan baik, atau bahwa comparatists terlalu mudah jatuh ke dalam dilettantism, karena lingkup pekerjaan mereka, kebutuhan, luas. Beberapa pertanyaan apakah lebar ini mempengaruhi kemampuan. untuk mencari pekerjaan di lingkungan yang sangat khusus akademis dan karir di pasar besar, meskipun kekhawatiran tersebut tampaknya tidak ditanggung oleh data penempatan yang menunjukkan perbandingan sastra lulusan untuk dipekerjakan pada tingkat yang sama atau lebih tinggi dari compeers mereka dalam bahasa Inggris.
Istilah “Perbandingan Sastra” dan “Dunia Sastra” sering digunakan untuk menentukan program serupa studi dan beasiswa. Perbandingan Sastra adalah lebih banyak digunakan istilah di Amerika Serikat, dengan banyak universitas yang memiliki departemen atau program Sastra Perbandingan Perbandingan Sastra.
Perbandingan sastra adalah bidang interdisipliner yang praktisi studi literatur lintas batas negara, lintas periode waktu, lintas bahasa, lintas genre, melintasi batas-batas antara sastra dan seni lain (musik, lukisan, tari, film, dll), melintasi disiplin (sastra dan psikologi, filsafat, ilmu pengetahuan, sejarah, arsitektur, sosiologi, politik, dll). Ditetapkan paling luas, sastra komparatif adalah studi tentang “sastra tanpa batas. Beasiswa di Perbandingan Sastra meliputi, misalnya, belajar keaksaraan dan status sosial di Amerika, mempelajari epik abad pertengahan dan asmara, mempelajari link sastra cerita rakyat dan mitologi, mempelajari tulisan-tulisan kolonial dan postkolonial di berbagai belahan dunia, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang definisi sastra itu sendiri. Apa sarjana dalam Sastra Perbandingan saham adalah keinginan untuk studi literatur di luar batas-batas nasional dan minat dalam bahasa sehingga mereka dapat membaca teks asing dalam bentuk aslinya. Banyak comparatists juga berbagi keinginan untuk mengintegrasikan pengalaman sastra dengan fenomena budaya lainnya seperti perubahan historis, konsep filsafat, dan gerakan sosial.
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Comparative_literature
Why study Comparative Literature?
Studying literature traditionally meant picking an academic department that reflects the nation state on a basically European model. English, French, and German programs each focus on the canons of their respective national traditions. But literature and readers have both always ranged outside the boundaries of one national language. German literature is brimming with the influences of English and French and Italian and Greek and Roman literature and so on. And even writers who knew nothing of one another may show fascinating similarities and differences; a poem by Stéphane Mallarmé and a poem by Emily Dickinson throw each other into startling relief. A fundamental project of Comparative Literature is to cultivate reading across linguistic boundaries in order to highlight everything that the exclusive focus on a national literature tends to obscure.
Traditionally, too, Asian, African, and Near Eastern literatures (when they were studied at all) were long relegated to the rubric of Area Studies. The European literatures were understood as both aesthetically autonomous and expressive of the “national genius,” while texts from the non-West were read more from an ethnographic, historical, or anthropological perspective than as works of literature in their own right. The field of Comparative Literature also endeavors, then, to overcome this division between “the West” and “the Rest” by combining the formal rigor of European literary studies with the interdisciplinary reach of area studies.
The concentration in Comparative Literature at BU – a new program – is designed for students whose interest in literature embraces works in multiple languages. Students of Comparative Literature trace the transformations and travels of literary genres and texts across time and space. They explore the connections of literature with history, philosophy, politics, and literary theory. And they study the intersections of literature with other cultural forms such as film, drama, the visual arts, music, and new media. In our increasingly globalized age, translation studies are also an important part of the comparative approach to literature. It’s surprisingly tricky to say that even a single sentence in one language is truly “equivalent” to its translation in another language; in what sense, then, can we really translate the complexity and nuance of novels, poems or plays? And yet we all depend on translations sooner or later. Literary translations also have their own kind of history and even politics. Why do some texts get translated and others not, for example? And how have the practice and theory of translation changed over time?
At the core of the concentration in Comparative Literature are courses introducing Western, East Asian, and Middle Eastern literary traditions in comparative perspective. These courses introduce students to the global diversity of literary forms and genres while acquainting them with the methods of comparative literary study. After or in tandem with the introductory courses, students meet with their advisors to put together a program of study that best suits their interests and goals. This will include advanced work in at least one foreign language and its literature and a series of interrelated courses of your choice. One attractive aspect of the Comparative Literature major is its flexibility. In close consultation with your advisor you might decide to focus on anything from the modernist novel to Romantic poetry, postcolonial literature, or Greek and Japanese epics. At the same time you will have the opportunity to take courses listed or cross-listed under the XL rubric (until Fall 2009 this rubric appeared in course listings as “LL,” but for degree purposes LL and XL are identical) that further hone your skills as a comparatist, such as “Gender and Literature,” “Literary Translation,” “Theory of the Novel,” or “Literature and Empire.”
A concentration in Comparative Literature is an excellent foundation for further work at the graduate level. It also prepares students to work in any field where critical thinking, strong writing skills and foreign-language competence and a sophisticated understanding of cultural difference and diversity are called for.
Terjemahan :
Mengapa studi Perbandingan Sastra?
Mempelajari sastra tradisional berarti memilih departemen akademis yang mencerminkan negara bangsa pada dasarnya model Eropa. Inggris, Perancis, dan Jerman masing-masing program berfokus pada aturan dari tradisi nasional masing-masing. Tapi sastra dan pembaca memiliki keduanya selalu berkisar di luar batas satu bahasa nasional. sastra Jerman yang penuh dengan pengaruh bahasa Inggris dan Prancis dan Italia dan Yunani dan Romawi sastra dan sebagainya. Dan bahkan penulis yang tahu apa-apa satu sama lain dapat menunjukkan persamaan dan perbedaan yang menarik, sebuah puisi oleh Stéphane Mallarmé dan sebuah puisi oleh Emily Dickinson saling melempar ke bantuan mengejutkan. Sebuah proyek dasar Perbandingan Sastra adalah untuk menumbuhkan membaca melintasi batas-batas linguistik untuk menyorot semua yang fokus eksklusif pada sastra nasional cenderung mengaburkan.
Secara tradisional, juga, literatur Asia Timur, Afrika, dan Dekat (ketika mereka belajar sama sekali) sudah lama diturunkan ke rubrik Studi Wilayah. Para literatur Eropa dipahami sebagai baik estetis otonom dan ekspresif dari jenius “nasional,” sementara teks dari non-Barat membaca lebih dari perspektif etnografi, sejarah, atau antropologi daripada sebagai karya sastra di kanan mereka sendiri. Bidang Sastra Perbandingan juga usaha, kemudian, untuk mengatasi hal ini pembagian antara “Barat” dan “Istirahat” dengan menggabungkan kekakuan formal studi sastra Eropa dengan jangkauan area studi interdisipliner.
Konsentrasi dalam Sastra Perbandingan di BU – sebuah program baru – dirancang untuk siswa yang tertarik pada karya sastra mencakup dalam berbagai bahasa. Mahasiswa Perbandingan Sastra melacak transformasi dan perjalanan genre sastra dan teks di seluruh ruang dan waktu. Mereka mengeksplorasi hubungan sastra dengan sejarah, filosofi, politik, dan teori sastra. Dan mereka mempelajari persimpangan sastra dengan bentuk-bentuk budaya lainnya seperti film, drama, seni visual, musik, dan media baru. Di zaman kita yang semakin global, studi terjemahan juga merupakan bagian penting dari pendekatan perbandingan terhadap sastra. Ini mengejutkan sulit untuk mengatakan bahwa bahkan satu kalimat dalam satu bahasa benar-benar “setara” untuk terjemahan dalam bahasa lain, dalam arti apa, kemudian, dapat kita benar-benar menerjemahkan kompleksitas dan nuansa novel, puisi atau drama? Namun kita semua tergantung pada terjemahan cepat atau lambat. Terjemahan Sastra juga memiliki jenis mereka sendiri dan bahkan sejarah politik. Dan bagaimana memiliki praktek dan teori terjemahan berubah dari waktu ke waktu?
Pada inti dari konsentrasi dalam Sastra Perbandingan kursus memperkenalkan Barat, Asia Timur, Timur Tengah dan tradisi sastra dalam perspektif komparatif.. Kursus-kursus ini memperkenalkan mahasiswa pada beragam global bentuk sastra dan genre sementara acquainting mereka dengan metode studi sastra komparatif. Setelah atau bersamaan dengan program perkenalan, siswa bertemu dengan penasehat mereka untuk menyusun program studi yang paling sesuai dengan kepentingan dan tujuan mereka. Hal ini mencakup bekerja maju dalam paling tidak satu bahasa asing dan sastra dan serangkaian program yang saling berkaitan dalam pilihan Anda. Salah satu aspek menarik dari Sastra Perbandingan utama adalah fleksibilitas. Dalam konsultasi dengan penasihat Anda, Anda dapat memutuskan untuk fokus pada apa pun dari novel modernis untuk puisi Romantis, sastra postkolonial, atau epos Yunani dan Jepang Pada saat yang sama Anda akan memiliki kesempatan untuk mengambil kursus yang terdaftar atau lintas-terdaftar di bawah rubrik XL (sampai Fall 2009 rubrik ini muncul di daftar kursus sebagai “LL,” tapi untuk tujuan gelar LL dan XL adalah identik) yang lebih lanjut mengasah Anda keterampilan sebagai comparatist, seperti “Jender dan Sastra,” “Literary Translation,” “Teori dari Novel,” atau “Sastra dan Empire.”
Sebuah konsentrasi dalam Sastra Perbandingan merupakan fondasi yang sangat baik untuk bekerja lebih lanjut di tingkat pascasarjana. Ini juga menyiapkan siswa untuk bekerja dalam bidang-bidang di mana pemikiran kritis, kemampuan menulis yang kuat dan kompetensi bahasa asing dan pemahaman yang canggih perbedaan budaya dan keragaman disebut untuk.
Sumber : http://www.bu.edu/mlcl/about/why-study/comp-lit.html
World Literature or Comparative Literature?
Harry Levin, a famous professor of comparative literature, once had a dream in which two workmen knocked on his door and announced that they “had come to compare the literature.” Many explanations of what comparative literature is, begin with this anecdote, which raises the central issue: just how does one compare literature?
The terms “Comparative Literature” and “World Literature” are often used to designate a similar course of study. Comparative Literature is the more widely used term in the United States, with many universities having Comparative Literature Departments or Comparative Literature Programs. There are also scholarly associations such as the International Comparative Literature Association (ICLA), the American Comparative Literature Association (ACLA), whose secretariat has been housed at the University of Alabama since August 1998, and the Southern Comparative Literature Association (SCLA). The latter two organizations sponsor annual conferences and publish journals, Comparative Literature and The Comparatist respectively. Other well-known comparative literature journals published in the United States are: Comparative Literature Studies (Penn State University), World Literature Today (University of Oklahoma), and Yearbook of Comparative and General Literature (Indiana University).
At the University of Alabama the Comparative Literature Program underwent a name change and has been known as World Literature for a number of years. The World Literature Program is directed by Dr. Elaine Martin (Modern Languages and Classics) and offers the minor in world literature as well as courses that can be taken for graduate credit. The World Literature faculty is drawn from various disciplines such as Italian, English, German, French, Women’s Studies, and Religious Studies. In addition to the core courses of the World Literature Survey I and II and Major World Authors I and II, the program also offers a wide variety of special topics courses, which may treat a movement (ex. Romanticism), an individual author (ex. Boccaccio; Goethe); issues of influence (ex. Petrarch and Petrarchism); a genre (ex. the novel; lyric poetry; drama), or a specific subject or theme (ex. Representations of Food in Literature and Film).
What is Comparative Literature?
Comparative literature is the discipline of studying literature internationally:
across national borders
across time periods
across languages
across genres
across boundaries between literature and the other arts (music, painting, dance, film, etc.)
across disciplines: literature and psychology, philosophy, science, history, architecture, politics, etc.
Defined most broadly, comparative literature is the study of “literature without walls.”
Comparatists include, for example, people who are:
studying literacy and social status in the Americas
studying medieval epic and romance
studying the links of literature to folklore and mythology
studying colonial and postcolonial writings in different parts of the world
asking fundamental questions about definitions of literature itself
What they share in common is a desire to study literature beyond national boundaries and an interest in languages so that they can read foreign texts in their original form. Many comparatists also share the desire to integrate literary experience with other cultural phenomena such as historical change, philosophical concepts, and social movements.
Why Study Comparative Literature/World Literature?
Diversity: No single definition of comparative literature would easily satisfy any two scholars associated with the discipline. Not surprisingly then, students taking courses or working on a minor in this discipline often have diverse conceptions of the kind of study they are embarking upon. Indeed, comparative literature is a complex discipline in large part because of the diversity of interests of the people engaged in it. As a student in the program, you will be asked to do a number of different things, which reflect the complexities behind the concept of comparative literature.
1.1You will be encouraged to familiarize yourself with literature from at least two different national traditions, studied in their original languages. In its most obvious sense, comparative literature might be seen to start here. By studying different literary traditions, you will begin to be able to imagine what might constitute differences or similarities between those literatures.
2.You will be asked to think about literature not only from differing national traditions, but from widely separated historical periods as well. Thus comparative literature might also involve imagining what historical differences in the conception of literature teach us about its own nature or its function.
3.You will be asked to think about what the verb “compare” means when applied to a specific group of authors or texts from different literatures. What do you compare when you compare authors, or literature, or specific works of literature? What theoretical problems do various acts of comparison raise? When might comparisons be unjust or even misleading?
4.You will be asked to think theoretically about the idea of literature itself, about, for example some of the following questions. How and why is literature divided into different genres or different periods? How is literature situated within a given society? How is literature different from other domains such as philosophy or psychoanalysis or politics? Students interested in literary theory will find much in the study of comparative literature to interest them for example the challenge of confronting Western literary theory (and the Western canon) with previously unexplored non-Western literatures.
Terjemahan :
Dunia Sastra atau Sastra Perbandingan?
Harry Levin, seorang profesor perbandingan sastra terkenal, pernah punya mimpi di mana dua pekerja mengetuk pintu dan mengumumkan bahwa mereka “telah datang untuk membandingkan literatur. Banyak” penjelasan dari perbandingan apa sastra, mulailah dengan anekdot, yang meningkatkan isu sentral: hanya bagaimana cara membandingkan sastra?
Perbandingan Sastra adalah lebih banyak digunakan istilah di Amerika Serikat, dengan banyak universitas yang memiliki Departemen Sastra Perbandingan atau Perbandingan Program Sastra. Ada juga asosiasi ilmiah seperti Asosiasi Internasional Sastra Perbandingan (ICLA), American Association Sastra Perbandingan (ACLA), sekretariat yang telah disimpan di University of Alabama sejak Agustus 1998, dan Perbandingan Sastra Selatan Asosiasi (SCLA). Dua yang terakhir organisasi sponsor konferensi tahunan dan menerbitkan jurnal, Perbandingan Sastra dan Comparatist itu masing-masing. Komparatif sastra lain yang dikenal-baik jurnal diterbitkan di Amerika Serikat adalah: Perbandingan Studi Sastra (Penn State University), Dunia Sastra Hari Ini (University of Oklahoma), dan Yearbook of Perbandingan dan Sastra Umum (Indiana University).
Di Universitas Alabama di Sastra Perbandingan Program mengalami perubahan nama dan telah dikenal sebagai Sastra Dunia untuk beberapa tahun. Program Sastra Dunia diarahkan oleh Dr Elaine Martin (Bahasa Modern dan Klasik) dan menawarkan minor dalam dunia sastra serta program-program yang dapat diambil untuk kredit pascasarjana. Dunia Sastra fakultas yang diambil dari berbagai disiplin ilmu seperti Bahasa Italia, Inggris, Jerman, Perancis, Studi Perempuan, dan Studi Keagamaan. Selain mata kuliah inti dari Sastra Dunia Survey I dan II dan Mayor Penulis Dunia I dan II, program ini juga menawarkan berbagai macam kursus topik khusus, yang dapat mengobati gerakan (ex. Romantisisme), seorang penulis individu (mantan Boccaccio;. Goethe), masalah pengaruh (ex. Petrarch dan Petrarchism); sebuah genre (ex. novel itu, puisi liris, drama), atau topik tertentu atau tema ex. (Representasi Pangan dalam Sastra dan Film).
Apa itu Sastra Perbandingan?
Perbandingan sastra adalah disiplin belajar sastra internasional:
lintas batas negara
seluruh periode waktu
lintas bahasa
di genre
melintasi batas-batas antara sastra dan seni lain (musik, lukisan, tari, film, dll)
di disiplin: sastra dan psikologi, filsafat, ilmu pengetahuan, sejarah, arsitektur, politik, dll
Comparatists meliputi, misalnya, orang-orang yang:
belajar membaca dan status sosial di Amerika
belajar epik abad pertengahan dan asmara
link mempelajari sastra cerita rakyat dan mitologi
studying belajar kolonial dan tulisan-tulisan postkolonial di berbagai belahan dunia
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang definisi sastra itu sendiri
Apa yang mereka berbagi dalam umum adalah keinginan untuk studi literatur di luar batas-batas nasional dan minat dalam bahasa sehingga mereka dapat membaca teks asing dalam bentuk aslinya. Many Banyak comparatists juga berbagi keinginan untuk mengintegrasikan pengalaman sastra dengan fenomena budaya lainnya seperti perubahan historis, konsep filsafat, dan gerakan sosial.
Mengapa Studi Sastra Perbandingan / Sastra Dunia?
Perbedaan: Tidak ada definisi yang tunggal sastra komparatif dengan mudah akan memuaskan setiap dua sarjana yang terkait dengan disiplin. Tidak mengherankan kemudian, mahasiswa yang mengambil kursus atau bekerja pada minor dalam disiplin ini sering memiliki konsep-konsep yang beragam jenis memulai studi mereka di atas. Memang, sastra komparatif adalah disiplin yang kompleks sebagian besar karena keragaman kepentingan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Anda akan diminta untuk melakukan beberapa hal yang berbeda, yang mencerminkan kompleksitas di balik konsep sastra komparatif.
1.Kamu akan didorong untuk membiasakan diri dengan literatur dari setidaknya dua tradisi nasional yang berbeda, belajar dalam bahasa aslinya. Dengan mempelajari tradisi sastra yang berbeda, Anda akan mulai bisa membayangkan apa yang mungkin merupakan perbedaan atau kesamaan antara literatur.
2.Anda akan diminta untuk berpikir tentang sastra tidak hanya dari berbagai tradisi nasional, tapi dari periode sejarah yang terpisah juga. Jadi perbandingan sastra mungkin juga melibatkan membayangkan apa perbedaan historis dalam konsepsi sastra mengajarkan kita tentang alam sendiri atau fungsinya.
3.Anda akan diminta untuk berpikir tentang apa kata “membandingkan” berarti ketika diterapkan pada kelompok tertentu dari penulis atau teks dari literatur yang berbedaApa yang Anda membandingkan ketika Anda membandingkan penulis, atau sastra, atau karya sastra tertentu? Apa masalah teoritis lakukan berbagai tindak meningkatkan perbandingan? Ketika mungkin perbandingan tidak adil atau bahkan menyesatkan?
4.Anda akan diminta untuk berpikir secara teoritis tentang gagasan sastra itu sendiri, tentang, misalnya beberapa pertanyaan berikut. Bagaimana dan mengapa dibagi ke dalam genre literatur yang berbeda atau periode yang berbeda? Bagaimana sastra terletak dalam suatu masyarakat tertentu? Bagaimana sastra berbeda dari domain lain seperti filsafat atau psikoanalisis atau Mahasiswa yang tertarik pada teori sastra akan menemukan banyak dalam studi sastra komparatif untuk kepentingan mereka misalnya tantangan yang dihadapi teori sastra Barat (dan kanon Barat) dengan literatur non-Barat yang sebelumnya belum diselidiki.
Sumber : http://bama.ua.edu/~wlp/clvswl.htm
NAMA : INDAH PURNAMASARI RADIYANTI
NIM : A1B107010
REMEDIAL SASTRA PERBANDINGAN
Comparative literature (sometimes abbreviated “Comp. lit.”) is critical scholarship dealing with the literature of two or more different linguistic, cultural or national groups. While most frequently practiced with works of different languages, it may also be performed on works of the same language if the works originate from different nations or cultures among which that language is spoken. Also included in the range of inquiry are comparisons of different types of art; for example, a comparatist might investigate the relationship of film to literature.
Overview
Students and instructors in the field, usually called “comparatists,” have traditionally been proficient in several languages and acquainted with the literary traditions and major literary texts of those languages. Some of the newer sub-fields, however, stress theoretical acumen and the ability to consider different types of art concurrently, over high linguistic competence.
The interdisciplinary nature of the field means that comparatists typically exhibit some acquaintance with translation studies, sociology, critical theory, cultural studies, religious studies, and history. As a result, comparative literature programs within universities may be designed by scholars drawn from several such departments. This eclecticism has led critics (from within and without) to charge that Comparative Literature is insufficiently well-defined, or that comparatists too easily fall into dilettantism, because the scope of their work is, of necessity, broad. Some question whether this breadth affects the ability of Ph.D.s to find employment in the highly specialized environment of academia and the career market at large, although such concerns do not seem to be borne out by placement data that shows comparative literature graduates to be hired at similar or higher rates than their compeers in English.
The terms “Comparative Literature” and “World Literature” are often used to designate a similar course of study and scholarship. Comparative Literature is the more widely used term in the United States, with many universities having Comparative Literature departments or Comparative Literature programs.
Comparative literature is an interdisciplinary field whose practitioners study literature across national borders, across time periods, across languages, across genres, across boundaries between literature and the other arts (music, painting, dance, film, etc.), across disciplines (literature and psychology, philosophy, science, history, architecture, sociology, politics, etc.). Defined most broadly, comparative literature is the study of “literature without borders.” Scholarship in Comparative Literature include, for example, studying literacy and social status in the Americas, studying medieval epic and romance, studying the links of literature to folklore and mythology, studying colonial and postcolonial writings in different parts of the world, asking fundamental questions about definitions of literature itself. What scholars in Comparative Literature share is a desire to study literature beyond national boundaries and an interest in languages so that they can read foreign texts in their original form. Many comparatists also share the desire to integrate literary experience with other cultural phenomena such as historical change, philosophical concepts, and social movements.
Terjemahan :
Perbandingan sastra adalah beasiswa kritis berurusan dengan sastra dari dua atau lebih yang berbeda bahasa , budaya atau nasional kelompok. Sementara yang paling sering berlatih dengan karya bahasa yang berbeda, namun dapat juga dilakukan pada karya-karya bahasa yang sama jika karya berasal dari negara yang berbeda atau budaya antara mana bahasa yang diucapkan. Juga termasuk dalam rentang penyelidikan adalah perbandingan antara berbagai jenis seni, misalnya, sebuah comparatist mungkin menyelidiki hubungan film untuk sastra .
Ikhtisar
Siswa dan instruktur di lapangan, biasanya disebut “comparatists,” secara tradisional telah mahir dalam beberapa bahasa dan berkenalan dengan tradisi sastra dan teks-teks sastra utama bahasa-bahasa. Beberapa sub-bidang baru, bagaimanapun, stres ketajaman teoritis dan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai jenis seni secara bersamaan, selama kompetensi linguistik tinggi.
Interdisipliner sifat lapangan berarti bahwa comparatists biasanya menunjukkan beberapa kenalan dengan studi terjemahan , sosiologi , teori kritis , kajian budaya, kajian agama , dan sejarah. Akibatnya, program sastra komparatif dalam universitas dapat dirancang oleh para sarjana yang diambil dari beberapa departemen tersebut.. Elektisitas telah menyebabkan kritikus (dari dalam dan tanpa) untuk biaya yang Perbandingan Sastra tidak cukup didefinisikan dengan baik, atau bahwa comparatists terlalu mudah jatuh ke dalam dilettantism, karena lingkup pekerjaan mereka, kebutuhan, luas. Beberapa pertanyaan apakah lebar ini mempengaruhi kemampuan. untuk mencari pekerjaan di lingkungan yang sangat khusus akademis dan karir di pasar besar, meskipun kekhawatiran tersebut tampaknya tidak ditanggung oleh data penempatan yang menunjukkan perbandingan sastra lulusan untuk dipekerjakan pada tingkat yang sama atau lebih tinggi dari compeers mereka dalam bahasa Inggris.
Istilah “Perbandingan Sastra” dan “Dunia Sastra” sering digunakan untuk menentukan program serupa studi dan beasiswa. Perbandingan Sastra adalah lebih banyak digunakan istilah di Amerika Serikat, dengan banyak universitas yang memiliki departemen atau program Sastra Perbandingan Perbandingan Sastra.
Perbandingan sastra adalah bidang interdisipliner yang praktisi studi literatur lintas batas negara, lintas periode waktu, lintas bahasa, lintas genre, melintasi batas-batas antara sastra dan seni lain (musik, lukisan, tari, film, dll), melintasi disiplin (sastra dan psikologi, filsafat, ilmu pengetahuan, sejarah, arsitektur, sosiologi, politik, dll). Ditetapkan paling luas, sastra komparatif adalah studi tentang “sastra tanpa batas. Beasiswa di Perbandingan Sastra meliputi, misalnya, belajar keaksaraan dan status sosial di Amerika, mempelajari epik abad pertengahan dan asmara, mempelajari link sastra cerita rakyat dan mitologi, mempelajari tulisan-tulisan kolonial dan postkolonial di berbagai belahan dunia, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang definisi sastra itu sendiri. Apa sarjana dalam Sastra Perbandingan saham adalah keinginan untuk studi literatur di luar batas-batas nasional dan minat dalam bahasa sehingga mereka dapat membaca teks asing dalam bentuk aslinya. Banyak comparatists juga berbagi keinginan untuk mengintegrasikan pengalaman sastra dengan fenomena budaya lainnya seperti perubahan historis, konsep filsafat, dan gerakan sosial.
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Comparative_literature
Why study Comparative Literature?
Studying literature traditionally meant picking an academic department that reflects the nation state on a basically European model. English, French, and German programs each focus on the canons of their respective national traditions. But literature and readers have both always ranged outside the boundaries of one national language. German literature is brimming with the influences of English and French and Italian and Greek and Roman literature and so on. And even writers who knew nothing of one another may show fascinating similarities and differences; a poem by Stéphane Mallarmé and a poem by Emily Dickinson throw each other into startling relief. A fundamental project of Comparative Literature is to cultivate reading across linguistic boundaries in order to highlight everything that the exclusive focus on a national literature tends to obscure.
Traditionally, too, Asian, African, and Near Eastern literatures (when they were studied at all) were long relegated to the rubric of Area Studies. The European literatures were understood as both aesthetically autonomous and expressive of the “national genius,” while texts from the non-West were read more from an ethnographic, historical, or anthropological perspective than as works of literature in their own right. The field of Comparative Literature also endeavors, then, to overcome this division between “the West” and “the Rest” by combining the formal rigor of European literary studies with the interdisciplinary reach of area studies.
The concentration in Comparative Literature at BU – a new program – is designed for students whose interest in literature embraces works in multiple languages. Students of Comparative Literature trace the transformations and travels of literary genres and texts across time and space. They explore the connections of literature with history, philosophy, politics, and literary theory. And they study the intersections of literature with other cultural forms such as film, drama, the visual arts, music, and new media. In our increasingly globalized age, translation studies are also an important part of the comparative approach to literature. It’s surprisingly tricky to say that even a single sentence in one language is truly “equivalent” to its translation in another language; in what sense, then, can we really translate the complexity and nuance of novels, poems or plays? And yet we all depend on translations sooner or later. Literary translations also have their own kind of history and even politics. Why do some texts get translated and others not, for example? And how have the practice and theory of translation changed over time?
At the core of the concentration in Comparative Literature are courses introducing Western, East Asian, and Middle Eastern literary traditions in comparative perspective. These courses introduce students to the global diversity of literary forms and genres while acquainting them with the methods of comparative literary study. After or in tandem with the introductory courses, students meet with their advisors to put together a program of study that best suits their interests and goals. This will include advanced work in at least one foreign language and its literature and a series of interrelated courses of your choice. One attractive aspect of the Comparative Literature major is its flexibility. In close consultation with your advisor you might decide to focus on anything from the modernist novel to Romantic poetry, postcolonial literature, or Greek and Japanese epics. At the same time you will have the opportunity to take courses listed or cross-listed under the XL rubric (until Fall 2009 this rubric appeared in course listings as “LL,” but for degree purposes LL and XL are identical) that further hone your skills as a comparatist, such as “Gender and Literature,” “Literary Translation,” “Theory of the Novel,” or “Literature and Empire.”
A concentration in Comparative Literature is an excellent foundation for further work at the graduate level. It also prepares students to work in any field where critical thinking, strong writing skills and foreign-language competence and a sophisticated understanding of cultural difference and diversity are called for.
Terjemahan :
Mengapa studi Perbandingan Sastra?
Mempelajari sastra tradisional berarti memilih departemen akademis yang mencerminkan negara bangsa pada dasarnya model Eropa. Inggris, Perancis, dan Jerman masing-masing program berfokus pada aturan dari tradisi nasional masing-masing. Tapi sastra dan pembaca memiliki keduanya selalu berkisar di luar batas satu bahasa nasional. sastra Jerman yang penuh dengan pengaruh bahasa Inggris dan Prancis dan Italia dan Yunani dan Romawi sastra dan sebagainya. Dan bahkan penulis yang tahu apa-apa satu sama lain dapat menunjukkan persamaan dan perbedaan yang menarik, sebuah puisi oleh Stéphane Mallarmé dan sebuah puisi oleh Emily Dickinson saling melempar ke bantuan mengejutkan. Sebuah proyek dasar Perbandingan Sastra adalah untuk menumbuhkan membaca melintasi batas-batas linguistik untuk menyorot semua yang fokus eksklusif pada sastra nasional cenderung mengaburkan.
Secara tradisional, juga, literatur Asia Timur, Afrika, dan Dekat (ketika mereka belajar sama sekali) sudah lama diturunkan ke rubrik Studi Wilayah. Para literatur Eropa dipahami sebagai baik estetis otonom dan ekspresif dari jenius “nasional,” sementara teks dari non-Barat membaca lebih dari perspektif etnografi, sejarah, atau antropologi daripada sebagai karya sastra di kanan mereka sendiri. Bidang Sastra Perbandingan juga usaha, kemudian, untuk mengatasi hal ini pembagian antara “Barat” dan “Istirahat” dengan menggabungkan kekakuan formal studi sastra Eropa dengan jangkauan area studi interdisipliner.
Konsentrasi dalam Sastra Perbandingan di BU – sebuah program baru – dirancang untuk siswa yang tertarik pada karya sastra mencakup dalam berbagai bahasa. Mahasiswa Perbandingan Sastra melacak transformasi dan perjalanan genre sastra dan teks di seluruh ruang dan waktu. Mereka mengeksplorasi hubungan sastra dengan sejarah, filosofi, politik, dan teori sastra. Dan mereka mempelajari persimpangan sastra dengan bentuk-bentuk budaya lainnya seperti film, drama, seni visual, musik, dan media baru. Di zaman kita yang semakin global, studi terjemahan juga merupakan bagian penting dari pendekatan perbandingan terhadap sastra. Ini mengejutkan sulit untuk mengatakan bahwa bahkan satu kalimat dalam satu bahasa benar-benar “setara” untuk terjemahan dalam bahasa lain, dalam arti apa, kemudian, dapat kita benar-benar menerjemahkan kompleksitas dan nuansa novel, puisi atau drama? Namun kita semua tergantung pada terjemahan cepat atau lambat. Terjemahan Sastra juga memiliki jenis mereka sendiri dan bahkan sejarah politik. Dan bagaimana memiliki praktek dan teori terjemahan berubah dari waktu ke waktu?
Pada inti dari konsentrasi dalam Sastra Perbandingan kursus memperkenalkan Barat, Asia Timur, Timur Tengah dan tradisi sastra dalam perspektif komparatif.. Kursus-kursus ini memperkenalkan mahasiswa pada beragam global bentuk sastra dan genre sementara acquainting mereka dengan metode studi sastra komparatif. Setelah atau bersamaan dengan program perkenalan, siswa bertemu dengan penasehat mereka untuk menyusun program studi yang paling sesuai dengan kepentingan dan tujuan mereka. Hal ini mencakup bekerja maju dalam paling tidak satu bahasa asing dan sastra dan serangkaian program yang saling berkaitan dalam pilihan Anda. Salah satu aspek menarik dari Sastra Perbandingan utama adalah fleksibilitas. Dalam konsultasi dengan penasihat Anda, Anda dapat memutuskan untuk fokus pada apa pun dari novel modernis untuk puisi Romantis, sastra postkolonial, atau epos Yunani dan Jepang Pada saat yang sama Anda akan memiliki kesempatan untuk mengambil kursus yang terdaftar atau lintas-terdaftar di bawah rubrik XL (sampai Fall 2009 rubrik ini muncul di daftar kursus sebagai “LL,” tapi untuk tujuan gelar LL dan XL adalah identik) yang lebih lanjut mengasah Anda keterampilan sebagai comparatist, seperti “Jender dan Sastra,” “Literary Translation,” “Teori dari Novel,” atau “Sastra dan Empire.”
Sebuah konsentrasi dalam Sastra Perbandingan merupakan fondasi yang sangat baik untuk bekerja lebih lanjut di tingkat pascasarjana. Ini juga menyiapkan siswa untuk bekerja dalam bidang-bidang di mana pemikiran kritis, kemampuan menulis yang kuat dan kompetensi bahasa asing dan pemahaman yang canggih perbedaan budaya dan keragaman disebut untuk.
Sumber : http://www.bu.edu/mlcl/about/why-study/comp-lit.html
World Literature or Comparative Literature?
Harry Levin, a famous professor of comparative literature, once had a dream in which two workmen knocked on his door and announced that they “had come to compare the literature.” Many explanations of what comparative literature is, begin with this anecdote, which raises the central issue: just how does one compare literature?
The terms “Comparative Literature” and “World Literature” are often used to designate a similar course of study. Comparative Literature is the more widely used term in the United States, with many universities having Comparative Literature Departments or Comparative Literature Programs. There are also scholarly associations such as the International Comparative Literature Association (ICLA), the American Comparative Literature Association (ACLA), whose secretariat has been housed at the University of Alabama since August 1998, and the Southern Comparative Literature Association (SCLA). The latter two organizations sponsor annual conferences and publish journals, Comparative Literature and The Comparatist respectively. Other well-known comparative literature journals published in the United States are: Comparative Literature Studies (Penn State University), World Literature Today (University of Oklahoma), and Yearbook of Comparative and General Literature (Indiana University).
At the University of Alabama the Comparative Literature Program underwent a name change and has been known as World Literature for a number of years. The World Literature Program is directed by Dr. Elaine Martin (Modern Languages and Classics) and offers the minor in world literature as well as courses that can be taken for graduate credit. The World Literature faculty is drawn from various disciplines such as Italian, English, German, French, Women’s Studies, and Religious Studies. In addition to the core courses of the World Literature Survey I and II and Major World Authors I and II, the program also offers a wide variety of special topics courses, which may treat a movement (ex. Romanticism), an individual author (ex. Boccaccio; Goethe); issues of influence (ex. Petrarch and Petrarchism); a genre (ex. the novel; lyric poetry; drama), or a specific subject or theme (ex. Representations of Food in Literature and Film).
What is Comparative Literature?
Comparative literature is the discipline of studying literature internationally:
across national borders
across time periods
across languages
across genres
across boundaries between literature and the other arts (music, painting, dance, film, etc.)
across disciplines: literature and psychology, philosophy, science, history, architecture, politics, etc.
Defined most broadly, comparative literature is the study of “literature without walls.”
Comparatists include, for example, people who are:
studying literacy and social status in the Americas
studying medieval epic and romance
studying the links of literature to folklore and mythology
studying colonial and postcolonial writings in different parts of the world
asking fundamental questions about definitions of literature itself
What they share in common is a desire to study literature beyond national boundaries and an interest in languages so that they can read foreign texts in their original form. Many comparatists also share the desire to integrate literary experience with other cultural phenomena such as historical change, philosophical concepts, and social movements.
Why Study Comparative Literature/World Literature?
Diversity: No single definition of comparative literature would easily satisfy any two scholars associated with the discipline. Not surprisingly then, students taking courses or working on a minor in this discipline often have diverse conceptions of the kind of study they are embarking upon. Indeed, comparative literature is a complex discipline in large part because of the diversity of interests of the people engaged in it. As a student in the program, you will be asked to do a number of different things, which reflect the complexities behind the concept of comparative literature.
1.1You will be encouraged to familiarize yourself with literature from at least two different national traditions, studied in their original languages. In its most obvious sense, comparative literature might be seen to start here. By studying different literary traditions, you will begin to be able to imagine what might constitute differences or similarities between those literatures.
2.You will be asked to think about literature not only from differing national traditions, but from widely separated historical periods as well. Thus comparative literature might also involve imagining what historical differences in the conception of literature teach us about its own nature or its function.
3.You will be asked to think about what the verb “compare” means when applied to a specific group of authors or texts from different literatures. What do you compare when you compare authors, or literature, or specific works of literature? What theoretical problems do various acts of comparison raise? When might comparisons be unjust or even misleading?
4.You will be asked to think theoretically about the idea of literature itself, about, for example some of the following questions. How and why is literature divided into different genres or different periods? How is literature situated within a given society? How is literature different from other domains such as philosophy or psychoanalysis or politics? Students interested in literary theory will find much in the study of comparative literature to interest them for example the challenge of confronting Western literary theory (and the Western canon) with previously unexplored non-Western literatures.
Terjemahan :
Dunia Sastra atau Sastra Perbandingan?
Harry Levin, seorang profesor perbandingan sastra terkenal, pernah punya mimpi di mana dua pekerja mengetuk pintu dan mengumumkan bahwa mereka “telah datang untuk membandingkan literatur. Banyak” penjelasan dari perbandingan apa sastra, mulailah dengan anekdot, yang meningkatkan isu sentral: hanya bagaimana cara membandingkan sastra?
Perbandingan Sastra adalah lebih banyak digunakan istilah di Amerika Serikat, dengan banyak universitas yang memiliki Departemen Sastra Perbandingan atau Perbandingan Program Sastra. Ada juga asosiasi ilmiah seperti Asosiasi Internasional Sastra Perbandingan (ICLA), American Association Sastra Perbandingan (ACLA), sekretariat yang telah disimpan di University of Alabama sejak Agustus 1998, dan Perbandingan Sastra Selatan Asosiasi (SCLA). Dua yang terakhir organisasi sponsor konferensi tahunan dan menerbitkan jurnal, Perbandingan Sastra dan Comparatist itu masing-masing. Komparatif sastra lain yang dikenal-baik jurnal diterbitkan di Amerika Serikat adalah: Perbandingan Studi Sastra (Penn State University), Dunia Sastra Hari Ini (University of Oklahoma), dan Yearbook of Perbandingan dan Sastra Umum (Indiana University).
Di Universitas Alabama di Sastra Perbandingan Program mengalami perubahan nama dan telah dikenal sebagai Sastra Dunia untuk beberapa tahun. Program Sastra Dunia diarahkan oleh Dr Elaine Martin (Bahasa Modern dan Klasik) dan menawarkan minor dalam dunia sastra serta program-program yang dapat diambil untuk kredit pascasarjana. Dunia Sastra fakultas yang diambil dari berbagai disiplin ilmu seperti Bahasa Italia, Inggris, Jerman, Perancis, Studi Perempuan, dan Studi Keagamaan. Selain mata kuliah inti dari Sastra Dunia Survey I dan II dan Mayor Penulis Dunia I dan II, program ini juga menawarkan berbagai macam kursus topik khusus, yang dapat mengobati gerakan (ex. Romantisisme), seorang penulis individu (mantan Boccaccio;. Goethe), masalah pengaruh (ex. Petrarch dan Petrarchism); sebuah genre (ex. novel itu, puisi liris, drama), atau topik tertentu atau tema ex. (Representasi Pangan dalam Sastra dan Film).
Apa itu Sastra Perbandingan?
Perbandingan sastra adalah disiplin belajar sastra internasional:
lintas batas negara
seluruh periode waktu
lintas bahasa
di genre
melintasi batas-batas antara sastra dan seni lain (musik, lukisan, tari, film, dll)
di disiplin: sastra dan psikologi, filsafat, ilmu pengetahuan, sejarah, arsitektur, politik, dll
Comparatists meliputi, misalnya, orang-orang yang:
belajar membaca dan status sosial di Amerika
belajar epik abad pertengahan dan asmara
link mempelajari sastra cerita rakyat dan mitologi
studying belajar kolonial dan tulisan-tulisan postkolonial di berbagai belahan dunia
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang definisi sastra itu sendiri
Apa yang mereka berbagi dalam umum adalah keinginan untuk studi literatur di luar batas-batas nasional dan minat dalam bahasa sehingga mereka dapat membaca teks asing dalam bentuk aslinya. Many Banyak comparatists juga berbagi keinginan untuk mengintegrasikan pengalaman sastra dengan fenomena budaya lainnya seperti perubahan historis, konsep filsafat, dan gerakan sosial.
Mengapa Studi Sastra Perbandingan / Sastra Dunia?
Perbedaan: Tidak ada definisi yang tunggal sastra komparatif dengan mudah akan memuaskan setiap dua sarjana yang terkait dengan disiplin. Tidak mengherankan kemudian, mahasiswa yang mengambil kursus atau bekerja pada minor dalam disiplin ini sering memiliki konsep-konsep yang beragam jenis memulai studi mereka di atas. Memang, sastra komparatif adalah disiplin yang kompleks sebagian besar karena keragaman kepentingan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Anda akan diminta untuk melakukan beberapa hal yang berbeda, yang mencerminkan kompleksitas di balik konsep sastra komparatif.
1.Kamu akan didorong untuk membiasakan diri dengan literatur dari setidaknya dua tradisi nasional yang berbeda, belajar dalam bahasa aslinya. Dengan mempelajari tradisi sastra yang berbeda, Anda akan mulai bisa membayangkan apa yang mungkin merupakan perbedaan atau kesamaan antara literatur.
2.Anda akan diminta untuk berpikir tentang sastra tidak hanya dari berbagai tradisi nasional, tapi dari periode sejarah yang terpisah juga. Jadi perbandingan sastra mungkin juga melibatkan membayangkan apa perbedaan historis dalam konsepsi sastra mengajarkan kita tentang alam sendiri atau fungsinya.
3.Anda akan diminta untuk berpikir tentang apa kata “membandingkan” berarti ketika diterapkan pada kelompok tertentu dari penulis atau teks dari literatur yang berbedaApa yang Anda membandingkan ketika Anda membandingkan penulis, atau sastra, atau karya sastra tertentu? Apa masalah teoritis lakukan berbagai tindak meningkatkan perbandingan? Ketika mungkin perbandingan tidak adil atau bahkan menyesatkan?
4.Anda akan diminta untuk berpikir secara teoritis tentang gagasan sastra itu sendiri, tentang, misalnya beberapa pertanyaan berikut. Bagaimana dan mengapa dibagi ke dalam genre literatur yang berbeda atau periode yang berbeda? Bagaimana sastra terletak dalam suatu masyarakat tertentu? Bagaimana sastra berbeda dari domain lain seperti filsafat atau psikoanalisis atau Mahasiswa yang tertarik pada teori sastra akan menemukan banyak dalam studi sastra komparatif untuk kepentingan mereka misalnya tantangan yang dihadapi teori sastra Barat (dan kanon Barat) dengan literatur non-Barat yang sebelumnya belum diselidiki.
Sumber : http://bama.ua.edu/~wlp/clvswl.htm
NAMA : INDAH PURNAMASARI RADIYANTI
NIM : A1B107010
REMEDIAL SASTRA PERBANDINGAN
Comparative literature (sometimes abbreviated “Comp. lit.”) is critical scholarship dealing with the literature of two or more different linguistic, cultural or national groups. While most frequently practiced with works of different languages, it may also be performed on works of the same language if the works originate from different nations or cultures among which that language is spoken. Also included in the range of inquiry are comparisons of different types of art; for example, a comparatist might investigate the relationship of film to literature.
Overview
Students and instructors in the field, usually called “comparatists,” have traditionally been proficient in several languages and acquainted with the literary traditions and major literary texts of those languages. Some of the newer sub-fields, however, stress theoretical acumen and the ability to consider different types of art concurrently, over high linguistic competence.
The interdisciplinary nature of the field means that comparatists typically exhibit some acquaintance with translation studies, sociology, critical theory, cultural studies, religious studies, and history. As a result, comparative literature programs within universities may be designed by scholars drawn from several such departments. This eclecticism has led critics (from within and without) to charge that Comparative Literature is insufficiently well-defined, or that comparatists too easily fall into dilettantism, because the scope of their work is, of necessity, broad. Some question whether this breadth affects the ability of Ph.D.s to find employment in the highly specialized environment of academia and the career market at large, although such concerns do not seem to be borne out by placement data that shows comparative literature graduates to be hired at similar or higher rates than their compeers in English.
The terms “Comparative Literature” and “World Literature” are often used to designate a similar course of study and scholarship. Comparative Literature is the more widely used term in the United States, with many universities having Comparative Literature departments or Comparative Literature programs.
Comparative literature is an interdisciplinary field whose practitioners study literature across national borders, across time periods, across languages, across genres, across boundaries between literature and the other arts (music, painting, dance, film, etc.), across disciplines (literature and psychology, philosophy, science, history, architecture, sociology, politics, etc.). Defined most broadly, comparative literature is the study of “literature without borders.” Scholarship in Comparative Literature include, for example, studying literacy and social status in the Americas, studying medieval epic and romance, studying the links of literature to folklore and mythology, studying colonial and postcolonial writings in different parts of the world, asking fundamental questions about definitions of literature itself. What scholars in Comparative Literature share is a desire to study literature beyond national boundaries and an interest in languages so that they can read foreign texts in their original form. Many comparatists also share the desire to integrate literary experience with other cultural phenomena such as historical change, philosophical concepts, and social movements.
Terjemahan :
Perbandingan sastra adalah beasiswa kritis berurusan dengan sastra dari dua atau lebih yang berbeda bahasa , budaya atau nasional kelompok. Sementara yang paling sering berlatih dengan karya bahasa yang berbeda, namun dapat juga dilakukan pada karya-karya bahasa yang sama jika karya berasal dari negara yang berbeda atau budaya antara mana bahasa yang diucapkan. Juga termasuk dalam rentang penyelidikan adalah perbandingan antara berbagai jenis seni, misalnya, sebuah comparatist mungkin menyelidiki hubungan film untuk sastra .
Ikhtisar
Siswa dan instruktur di lapangan, biasanya disebut “comparatists,” secara tradisional telah mahir dalam beberapa bahasa dan berkenalan dengan tradisi sastra dan teks-teks sastra utama bahasa-bahasa. Beberapa sub-bidang baru, bagaimanapun, stres ketajaman teoritis dan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai jenis seni secara bersamaan, selama kompetensi linguistik tinggi.
Interdisipliner sifat lapangan berarti bahwa comparatists biasanya menunjukkan beberapa kenalan dengan studi terjemahan , sosiologi , teori kritis , kajian budaya, kajian agama , dan sejarah. Akibatnya, program sastra komparatif dalam universitas dapat dirancang oleh para sarjana yang diambil dari beberapa departemen tersebut.. Elektisitas telah menyebabkan kritikus (dari dalam dan tanpa) untuk biaya yang Perbandingan Sastra tidak cukup didefinisikan dengan baik, atau bahwa comparatists terlalu mudah jatuh ke dalam dilettantism, karena lingkup pekerjaan mereka, kebutuhan, luas. Beberapa pertanyaan apakah lebar ini mempengaruhi kemampuan. untuk mencari pekerjaan di lingkungan yang sangat khusus akademis dan karir di pasar besar, meskipun kekhawatiran tersebut tampaknya tidak ditanggung oleh data penempatan yang menunjukkan perbandingan sastra lulusan untuk dipekerjakan pada tingkat yang sama atau lebih tinggi dari compeers mereka dalam bahasa Inggris.
Istilah “Perbandingan Sastra” dan “Dunia Sastra” sering digunakan untuk menentukan program serupa studi dan beasiswa. Perbandingan Sastra adalah lebih banyak digunakan istilah di Amerika Serikat, dengan banyak universitas yang memiliki departemen atau program Sastra Perbandingan Perbandingan Sastra.
Perbandingan sastra adalah bidang interdisipliner yang praktisi studi literatur lintas batas negara, lintas periode waktu, lintas bahasa, lintas genre, melintasi batas-batas antara sastra dan seni lain (musik, lukisan, tari, film, dll), melintasi disiplin (sastra dan psikologi, filsafat, ilmu pengetahuan, sejarah, arsitektur, sosiologi, politik, dll). Ditetapkan paling luas, sastra komparatif adalah studi tentang “sastra tanpa batas. Beasiswa di Perbandingan Sastra meliputi, misalnya, belajar keaksaraan dan status sosial di Amerika, mempelajari epik abad pertengahan dan asmara, mempelajari link sastra cerita rakyat dan mitologi, mempelajari tulisan-tulisan kolonial dan postkolonial di berbagai belahan dunia, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang definisi sastra itu sendiri. Apa sarjana dalam Sastra Perbandingan saham adalah keinginan untuk studi literatur di luar batas-batas nasional dan minat dalam bahasa sehingga mereka dapat membaca teks asing dalam bentuk aslinya. Banyak comparatists juga berbagi keinginan untuk mengintegrasikan pengalaman sastra dengan fenomena budaya lainnya seperti perubahan historis, konsep filsafat, dan gerakan sosial.
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Comparative_literature
Why study Comparative Literature?
Studying literature traditionally meant picking an academic department that reflects the nation state on a basically European model. English, French, and German programs each focus on the canons of their respective national traditions. But literature and readers have both always ranged outside the boundaries of one national language. German literature is brimming with the influences of English and French and Italian and Greek and Roman literature and so on. And even writers who knew nothing of one another may show fascinating similarities and differences; a poem by Stéphane Mallarmé and a poem by Emily Dickinson throw each other into startling relief. A fundamental project of Comparative Literature is to cultivate reading across linguistic boundaries in order to highlight everything that the exclusive focus on a national literature tends to obscure.
Traditionally, too, Asian, African, and Near Eastern literatures (when they were studied at all) were long relegated to the rubric of Area Studies. The European literatures were understood as both aesthetically autonomous and expressive of the “national genius,” while texts from the non-West were read more from an ethnographic, historical, or anthropological perspective than as works of literature in their own right. The field of Comparative Literature also endeavors, then, to overcome this division between “the West” and “the Rest” by combining the formal rigor of European literary studies with the interdisciplinary reach of area studies.
The concentration in Comparative Literature at BU – a new program – is designed for students whose interest in literature embraces works in multiple languages. Students of Comparative Literature trace the transformations and travels of literary genres and texts across time and space. They explore the connections of literature with history, philosophy, politics, and literary theory. And they study the intersections of literature with other cultural forms such as film, drama, the visual arts, music, and new media. In our increasingly globalized age, translation studies are also an important part of the comparative approach to literature. It’s surprisingly tricky to say that even a single sentence in one language is truly “equivalent” to its translation in another language; in what sense, then, can we really translate the complexity and nuance of novels, poems or plays? And yet we all depend on translations sooner or later. Literary translations also have their own kind of history and even politics. Why do some texts get translated and others not, for example? And how have the practice and theory of translation changed over time?
At the core of the concentration in Comparative Literature are courses introducing Western, East Asian, and Middle Eastern literary traditions in comparative perspective. These courses introduce students to the global diversity of literary forms and genres while acquainting them with the methods of comparative literary study. After or in tandem with the introductory courses, students meet with their advisors to put together a program of study that best suits their interests and goals. This will include advanced work in at least one foreign language and its literature and a series of interrelated courses of your choice. One attractive aspect of the Comparative Literature major is its flexibility. In close consultation with your advisor you might decide to focus on anything from the modernist novel to Romantic poetry, postcolonial literature, or Greek and Japanese epics. At the same time you will have the opportunity to take courses listed or cross-listed under the XL rubric (until Fall 2009 this rubric appeared in course listings as “LL,” but for degree purposes LL and XL are identical) that further hone your skills as a comparatist, such as “Gender and Literature,” “Literary Translation,” “Theory of the Novel,” or “Literature and Empire.”
A concentration in Comparative Literature is an excellent foundation for further work at the graduate level. It also prepares students to work in any field where critical thinking, strong writing skills and foreign-language competence and a sophisticated understanding of cultural difference and diversity are called for.
Terjemahan :
Mengapa studi Perbandingan Sastra?
Mempelajari sastra tradisional berarti memilih departemen akademis yang mencerminkan negara bangsa pada dasarnya model Eropa. Inggris, Perancis, dan Jerman masing-masing program berfokus pada aturan dari tradisi nasional masing-masing. Tapi sastra dan pembaca memiliki keduanya selalu berkisar di luar batas satu bahasa nasional. sastra Jerman yang penuh dengan pengaruh bahasa Inggris dan Prancis dan Italia dan Yunani dan Romawi sastra dan sebagainya. Dan bahkan penulis yang tahu apa-apa satu sama lain dapat menunjukkan persamaan dan perbedaan yang menarik, sebuah puisi oleh Stéphane Mallarmé dan sebuah puisi oleh Emily Dickinson saling melempar ke bantuan mengejutkan. Sebuah proyek dasar Perbandingan Sastra adalah untuk menumbuhkan membaca melintasi batas-batas linguistik untuk menyorot semua yang fokus eksklusif pada sastra nasional cenderung mengaburkan.
Secara tradisional, juga, literatur Asia Timur, Afrika, dan Dekat (ketika mereka belajar sama sekali) sudah lama diturunkan ke rubrik Studi Wilayah. Para literatur Eropa dipahami sebagai baik estetis otonom dan ekspresif dari jenius “nasional,” sementara teks dari non-Barat membaca lebih dari perspektif etnografi, sejarah, atau antropologi daripada sebagai karya sastra di kanan mereka sendiri. Bidang Sastra Perbandingan juga usaha, kemudian, untuk mengatasi hal ini pembagian antara “Barat” dan “Istirahat” dengan menggabungkan kekakuan formal studi sastra Eropa dengan jangkauan area studi interdisipliner.
Konsentrasi dalam Sastra Perbandingan di BU – sebuah program baru – dirancang untuk siswa yang tertarik pada karya sastra mencakup dalam berbagai bahasa. Mahasiswa Perbandingan Sastra melacak transformasi dan perjalanan genre sastra dan teks di seluruh ruang dan waktu. Mereka mengeksplorasi hubungan sastra dengan sejarah, filosofi, politik, dan teori sastra. Dan mereka mempelajari persimpangan sastra dengan bentuk-bentuk budaya lainnya seperti film, drama, seni visual, musik, dan media baru. Di zaman kita yang semakin global, studi terjemahan juga merupakan bagian penting dari pendekatan perbandingan terhadap sastra. Ini mengejutkan sulit untuk mengatakan bahwa bahkan satu kalimat dalam satu bahasa benar-benar “setara” untuk terjemahan dalam bahasa lain, dalam arti apa, kemudian, dapat kita benar-benar menerjemahkan kompleksitas dan nuansa novel, puisi atau drama? Namun kita semua tergantung pada terjemahan cepat atau lambat. Terjemahan Sastra juga memiliki jenis mereka sendiri dan bahkan sejarah politik. Dan bagaimana memiliki praktek dan teori terjemahan berubah dari waktu ke waktu?
Pada inti dari konsentrasi dalam Sastra Perbandingan kursus memperkenalkan Barat, Asia Timur, Timur Tengah dan tradisi sastra dalam perspektif komparatif.. Kursus-kursus ini memperkenalkan mahasiswa pada beragam global bentuk sastra dan genre sementara acquainting mereka dengan metode studi sastra komparatif. Setelah atau bersamaan dengan program perkenalan, siswa bertemu dengan penasehat mereka untuk menyusun program studi yang paling sesuai dengan kepentingan dan tujuan mereka. Hal ini mencakup bekerja maju dalam paling tidak satu bahasa asing dan sastra dan serangkaian program yang saling berkaitan dalam pilihan Anda. Salah satu aspek menarik dari Sastra Perbandingan utama adalah fleksibilitas. Dalam konsultasi dengan penasihat Anda, Anda dapat memutuskan untuk fokus pada apa pun dari novel modernis untuk puisi Romantis, sastra postkolonial, atau epos Yunani dan Jepang Pada saat yang sama Anda akan memiliki kesempatan untuk mengambil kursus yang terdaftar atau lintas-terdaftar di bawah rubrik XL (sampai Fall 2009 rubrik ini muncul di daftar kursus sebagai “LL,” tapi untuk tujuan gelar LL dan XL adalah identik) yang lebih lanjut mengasah Anda keterampilan sebagai comparatist, seperti “Jender dan Sastra,” “Literary Translation,” “Teori dari Novel,” atau “Sastra dan Empire.”
Sebuah konsentrasi dalam Sastra Perbandingan merupakan fondasi yang sangat baik untuk bekerja lebih lanjut di tingkat pascasarjana. Ini juga menyiapkan siswa untuk bekerja dalam bidang-bidang di mana pemikiran kritis, kemampuan menulis yang kuat dan kompetensi bahasa asing dan pemahaman yang canggih perbedaan budaya dan keragaman disebut untuk.
Sumber : http://www.bu.edu/mlcl/about/why-study/comp-lit.html
World Literature or Comparative Literature?
Harry Levin, a famous professor of comparative literature, once had a dream in which two workmen knocked on his door and announced that they “had come to compare the literature.” Many explanations of what comparative literature is, begin with this anecdote, which raises the central issue: just how does one compare literature?
The terms “Comparative Literature” and “World Literature” are often used to designate a similar course of study. Comparative Literature is the more widely used term in the United States, with many universities having Comparative Literature Departments or Comparative Literature Programs. There are also scholarly associations such as the International Comparative Literature Association (ICLA), the American Comparative Literature Association (ACLA), whose secretariat has been housed at the University of Alabama since August 1998, and the Southern Comparative Literature Association (SCLA). The latter two organizations sponsor annual conferences and publish journals, Comparative Literature and The Comparatist respectively. Other well-known comparative literature journals published in the United States are: Comparative Literature Studies (Penn State University), World Literature Today (University of Oklahoma), and Yearbook of Comparative and General Literature (Indiana University).
At the University of Alabama the Comparative Literature Program underwent a name change and has been known as World Literature for a number of years. The World Literature Program is directed by Dr. Elaine Martin (Modern Languages and Classics) and offers the minor in world literature as well as courses that can be taken for graduate credit. The World Literature faculty is drawn from various disciplines such as Italian, English, German, French, Women’s Studies, and Religious Studies. In addition to the core courses of the World Literature Survey I and II and Major World Authors I and II, the program also offers a wide variety of special topics courses, which may treat a movement (ex. Romanticism), an individual author (ex. Boccaccio; Goethe); issues of influence (ex. Petrarch and Petrarchism); a genre (ex. the novel; lyric poetry; drama), or a specific subject or theme (ex. Representations of Food in Literature and Film).
What is Comparative Literature?
Comparative literature is the discipline of studying literature internationally:
across national borders
across time periods
across languages
across genres
across boundaries between literature and the other arts (music, painting, dance, film, etc.)
across disciplines: literature and psychology, philosophy, science, history, architecture, politics, etc.
Defined most broadly, comparative literature is the study of “literature without walls.”
Comparatists include, for example, people who are:
studying literacy and social status in the Americas
studying medieval epic and romance
studying the links of literature to folklore and mythology
studying colonial and postcolonial writings in different parts of the world
asking fundamental questions about definitions of literature itself
What they share in common is a desire to study literature beyond national boundaries and an interest in languages so that they can read foreign texts in their original form. Many comparatists also share the desire to integrate literary experience with other cultural phenomena such as historical change, philosophical concepts, and social movements.
Why Study Comparative Literature/World Literature?
Diversity: No single definition of comparative literature would easily satisfy any two scholars associated with the discipline. Not surprisingly then, students taking courses or working on a minor in this discipline often have diverse conceptions of the kind of study they are embarking upon. Indeed, comparative literature is a complex discipline in large part because of the diversity of interests of the people engaged in it. As a student in the program, you will be asked to do a number of different things, which reflect the complexities behind the concept of comparative literature.
1. 1You will be encouraged to familiarize yourself with literature from at least two different national traditions, studied in their original languages. In its most obvious sense, comparative literature might be seen to start here. By studying different literary traditions, you will begin to be able to imagine what might constitute differences or similarities between those literatures.
2. You will be asked to think about literature not only from differing national traditions, but from widely separated historical periods as well. Thus comparative literature might also involve imagining what historical differences in the conception of literature teach us about its own nature or its function.
3. You will be asked to think about what the verb “compare” means when applied to a specific group of authors or texts from different literatures. What do you compare when you compare authors, or literature, or specific works of literature? What theoretical problems do various acts of comparison raise? When might comparisons be unjust or even misleading?
4. You will be asked to think theoretically about the idea of literature itself, about, for example some of the following questions. How and why is literature divided into different genres or different periods? How is literature situated within a given society? How is literature different from other domains such as philosophy or psychoanalysis or politics? Students interested in literary theory will find much in the study of comparative literature to interest them for example the challenge of confronting Western literary theory (and the Western canon) with previously unexplored non-Western literatures.
Terjemahan :
Dunia Sastra atau Sastra Perbandingan?
Harry Levin, seorang profesor perbandingan sastra terkenal, pernah punya mimpi di mana dua pekerja mengetuk pintu dan mengumumkan bahwa mereka “telah datang untuk membandingkan literatur. Banyak” penjelasan dari perbandingan apa sastra, mulailah dengan anekdot, yang meningkatkan isu sentral: hanya bagaimana cara membandingkan sastra?
Perbandingan Sastra adalah lebih banyak digunakan istilah di Amerika Serikat, dengan banyak universitas yang memiliki Departemen Sastra Perbandingan atau Perbandingan Program Sastra. Ada juga asosiasi ilmiah seperti Asosiasi Internasional Sastra Perbandingan (ICLA), American Association Sastra Perbandingan (ACLA), sekretariat yang telah disimpan di University of Alabama sejak Agustus 1998, dan Perbandingan Sastra Selatan Asosiasi (SCLA). Dua yang terakhir organisasi sponsor konferensi tahunan dan menerbitkan jurnal, Perbandingan Sastra dan Comparatist itu masing-masing. Komparatif sastra lain yang dikenal-baik jurnal diterbitkan di Amerika Serikat adalah: Perbandingan Studi Sastra (Penn State University), Dunia Sastra Hari Ini (University of Oklahoma), dan Yearbook of Perbandingan dan Sastra Umum (Indiana University).
Di Universitas Alabama di Sastra Perbandingan Program mengalami perubahan nama dan telah dikenal sebagai Sastra Dunia untuk beberapa tahun. Program Sastra Dunia diarahkan oleh Dr Elaine Martin (Bahasa Modern dan Klasik) dan menawarkan minor dalam dunia sastra serta program-program yang dapat diambil untuk kredit pascasarjana. Dunia Sastra fakultas yang diambil dari berbagai disiplin ilmu seperti Bahasa Italia, Inggris, Jerman, Perancis, Studi Perempuan, dan Studi Keagamaan. Selain mata kuliah inti dari Sastra Dunia Survey I dan II dan Mayor Penulis Dunia I dan II, program ini juga menawarkan berbagai macam kursus topik khusus, yang dapat mengobati gerakan (ex. Romantisisme), seorang penulis individu (mantan Boccaccio;. Goethe), masalah pengaruh (ex. Petrarch dan Petrarchism); sebuah genre (ex. novel itu, puisi liris, drama), atau topik tertentu atau tema ex. (Representasi Pangan dalam Sastra dan Film).
Apa itu Sastra Perbandingan?
Perbandingan sastra adalah disiplin belajar sastra internasional:
lintas batas negara
seluruh periode waktu
lintas bahasa
di genre
melintasi batas-batas antara sastra dan seni lain (musik, lukisan, tari, film, dll)
di disiplin: sastra dan psikologi, filsafat, ilmu pengetahuan, sejarah, arsitektur, politik, dll
Comparatists meliputi, misalnya, orang-orang yang:
belajar membaca dan status sosial di Amerika
belajar epik abad pertengahan dan asmara
link mempelajari sastra cerita rakyat dan mitologi
studying belajar kolonial dan tulisan-tulisan postkolonial di berbagai belahan dunia
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang definisi sastra itu sendiri
Apa yang mereka berbagi dalam umum adalah keinginan untuk studi literatur di luar batas-batas nasional dan minat dalam bahasa sehingga mereka dapat membaca teks asing dalam bentuk aslinya. Many Banyak comparatists juga berbagi keinginan untuk mengintegrasikan pengalaman sastra dengan fenomena budaya lainnya seperti perubahan historis, konsep filsafat, dan gerakan sosial.
Mengapa Studi Sastra Perbandingan / Sastra Dunia?
Perbedaan: Tidak ada definisi yang tunggal sastra komparatif dengan mudah akan memuaskan setiap dua sarjana yang terkait dengan disiplin. Tidak mengherankan kemudian, mahasiswa yang mengambil kursus atau bekerja pada minor dalam disiplin ini sering memiliki konsep-konsep yang beragam jenis memulai studi mereka di atas. Memang, sastra komparatif adalah disiplin yang kompleks sebagian besar karena keragaman kepentingan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Anda akan diminta untuk melakukan beberapa hal yang berbeda, yang mencerminkan kompleksitas di balik konsep sastra komparatif.
1. Kamu akan didorong untuk membiasakan diri dengan literatur dari setidaknya dua tradisi nasional yang berbeda, belajar dalam bahasa aslinya. Dengan mempelajari tradisi sastra yang berbeda, Anda akan mulai bisa membayangkan apa yang mungkin merupakan perbedaan atau kesamaan antara literatur.
2. Anda akan diminta untuk berpikir tentang sastra tidak hanya dari berbagai tradisi nasional, tapi dari periode sejarah yang terpisah juga. Jadi perbandingan sastra mungkin juga melibatkan membayangkan apa perbedaan historis dalam konsepsi sastra mengajarkan kita tentang alam sendiri atau fungsinya.
3. Anda akan diminta untuk berpikir tentang apa kata “membandingkan” berarti ketika diterapkan pada kelompok tertentu dari penulis atau teks dari literatur yang berbedaApa yang Anda membandingkan ketika Anda membandingkan penulis, atau sastra, atau karya sastra tertentu? Apa masalah teoritis lakukan berbagai tindak meningkatkan perbandingan? Ketika mungkin perbandingan tidak adil atau bahkan menyesatkan?
4. Anda akan diminta untuk berpikir secara teoritis tentang gagasan sastra itu sendiri, tentang, misalnya beberapa pertanyaan berikut. Bagaimana dan mengapa dibagi ke dalam genre literatur yang berbeda atau periode yang berbeda? Bagaimana sastra terletak dalam suatu masyarakat tertentu? Bagaimana sastra berbeda dari domain lain seperti filsafat atau psikoanalisis atau Mahasiswa yang tertarik pada teori sastra akan menemukan banyak dalam studi sastra komparatif untuk kepentingan mereka misalnya tantangan yang dihadapi teori sastra Barat (dan kanon Barat) dengan literatur non-Barat yang sebelumnya belum diselidiki.
Sumber : http://bama.ua.edu/~wlp/clvswl.htm
Nama : Rahmi Agustina
NIM : A1B107235
Program Studi : PBSI
Mata Kuliah : Sastra Perbandingan (Reg. B)
Tugas : Remedial UTS-(Mencari tiga buah abstak yang berkenaan mata kuliah sastra perbandingan)
1). http://docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1280&context=clcweb
CLCWeb: Sastra Perbandingan dan Budaya
Abstrak: Dalam makalahnya, “Estetika dan Audiovisual Metafora dalam Media Persepsi,” Kathrin
Fahlenbrach presents a model of audiovisual analysis where focus is on audiovisual aesthetics Fahlenbrach menyajikan model analisis audiovisual di mana fokus adalah pada estetika audiovisual
perceived physically and affectively. dirasakan secara fisik dan afektif. Fahlenbrach starts out from the assumption that image and Fahlenbrach bertolak dari asumsi bahwa gambar dan
sound are inseparable in audiovisual media and must be treated as a unit, a “synchresis” (Chion). suara yang tak terpisahkan dalam media audiovisual dan harus diperlakukan sebagai sebuah unit, sebuah synchresis “” (Chion).
Fahlenbrach proposes that only this premise is able to cover the pre-consciously perceived Fahlenbrach mengusulkan bahwa hanya premis ini mampu menutupi pra-sadar dirasakan
elements sufficiently, namely the sensorial and affective structures of audiovisual aesthetics. cukup unsur, yaitu pancaindra dan afektif struktur estetika audiovisual.
Fahlenbrach articulates some aspects for an audiovisual aesthetics that concentrate on the Fahlenbrach mengartikulasikan beberapa aspek untuk estetika audiovisual yang berkonsentrasi pada
interfaces between audiovisual perception and audiovisual design and employs to this end the antarmuka antara persepsi audiovisual dan desain audiovisual dan mempekerjakan akhir ini
Aristotelian concept of aisthesis. Konsep Aristotelian aisthesis. Following the theory of cognitive metaphors (Lakoff and Johnson), Setelah teori metafora kognitif (Lakoff dan Johnson),
Fahlenbrach assumes that audiovisual codes and signs always rely fundamentally on schemata of Fahlenbrach mengasumsikan bahwa kode audiovisual dan tanda-tanda selalu bergantung pada skema yang mendasar
physical and affective experience. fisik dan afektif pengalaman. Following George Lakoff and Mark Johnson, Fahlenbrach regards Setelah George Lakoff dan Mark Johnson, Fahlenbrach salam
the mapping of physical schemata onto acoustic, visual, and, respectively, audiovisual elements in pemetaan dari skema fisik ke akustik, visual, dan masing-masing, unsur audiovisual dalam
the media as a metaphorical process. media sebagai proses metafora. Drawing on an example of film sound, she explains how Menggambar pada contoh suara film, ia menjelaskan bagaimana
filmmakers project acoustic qualities onto visual Gestalt patterns and thereby construct audiovisual proyek film kualitas akustik ke pola Gestalt visual dan dengan demikian membangun audiovisual
metaphors that we recognize immediately and long before we reflect on them, that is, they metafora bahwa kita mengakui segera dan jauh sebelum kita merenungkan mereka, yaitu, mereka
activate meanings that rely on basic experiences of our body. mengaktifkan makna yang mengandalkan pengalaman dasar dari tubuh kita.
Kathrin FAHLENBRACH
Estetika dan Metafora dalam Media Audiovisual Persepsi
Translated from the German by Benjamin Kraft Diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Benjamin Kraft
Ketika membalik-balik saluran televisi dengan remote kita, kita baik tertarik atau ditolak oleh
the tiny fragments of sounds and images. fragmen yang kecil suara dan gambar. The complex set of acoustic and visual information Set kompleks dan informasi visual akustik
lasting only seconds triggers sensory sensations, affects, associations, and particles of knowledge detik hanya berlangsung memicu sensasi sensorik, mempengaruhi, asosiasi, dan partikel pengetahuan
that already influence our decision to stay either on one channel or to continue the flipping yang telah mempengaruhi keputusan kita untuk tetap baik pada satu saluran atau untuk melanjutkan membalik
through the channels. melalui saluran. It is not only the highly conventionalized and socio-cultural codes we have Hal ini tidak hanya sangat conventionalized dan kode sosial-budaya kita
that allow such a quick classification. yang memungkinkan seperti klasifikasi cepat. On a deeper level, it is the audio-visual direction of primary Pada tingkat yang lebih dalam, itu adalah arah audio visual primer
sensory features that, within fragments of seconds, can be analyzed in their succinctness by our indra fitur itu, dalam fragmen detik, dapat dianalisis dalam kekompakan mereka dengan kami
system of perception in a psycho-sensory and affective manner. sistem persepsi dalam sensorik dan afektif secara psiko. Cutting rhythm, color intensity, Pemotongan irama, intensitas warna,
visual and acoustic tone color, visual and acoustic surface textures, that is, primary sensory visual dan nada warna akustik, akustik permukaan tekstur dan visual, yaitu, primer indra
stimuli, which control perception in a first step and which are experienced especially intensely in rangsangan, yang mengendalikan persepsi pada langkah pertama dan yang sangat berpengalaman terutama di
their audio-visual heightening. audio-visual mereka menegang. In this study, I present criteria with which an aesthetics of Dalam studi ini, saya mempresentasikan kriteria dengan mana sebuah estetika
audiovisual media can be described; described as an aesthetics of perception that occurs along our media audiovisual dapat dijelaskan; digambarkan sebagai estetika persepsi yang terjadi sepanjang kami
sensory and affective experience. pengalaman sensori dan afektif. I propose that such a model of aesthetics could be understood Saya mengusulkan agar seperti model estetika bisa dipahami
as located prior to the workings of cultural codes, schemas, and plots which in fact orient viewers sebagai terletak sebelum kode budaya kerja, skema, dan plot yang berorientasi fakta pemirsa
cognitively to look at the television or movie screen. kognitif untuk melihat televisi atau film layar. I also attempt to show how structural Saya juga berusaha menunjukkan bagaimana struktur
interfaces between the primary psycho-sensory process and the technical and aesthetical (artistic) antarmuka antara proses psiko-sensorik primer dan teknis dan estetika (seni)
forms of audiovisual media occur. bentuk media audiovisual terjadi. In order to ground my understanding of interfaces between Dalam rangka ke tanah pemahaman saya tentang antarmuka antara
aesthetic perception and aesthetic experience, I introduce the concept of aisthesis, a notion that persepsi estetis dan pengalaman estetis, saya memperkenalkan konsep aisthesis, gagasan yang
has received, more recently, new significance and relevance in the study of media aesthetics. telah menerima, akhir-akhir ini, makna baru dan relevansi dalam studi media estetika.
Further, I develop in my paper the concept of audiovisual metaphors based on the theory of Selanjutnya, saya mengembangkan di koran saya konsep metafora audiovisual berdasarkan teori
cognitive metaphors by George Lakoff and Mark Johnson. metafora kognitif oleh George Lakoff dan Mark Johnson. Following a brief discussion of some Setelah diskusi singkat dari beberapa
recent approaches in cognitive film psychology, in the last part of my paper I illustrate the pendekatan baru dalam film psikologi kognitif, di bagian terakhir kertas saya mengilustrasikan
proposed model of audiovisual metaphors with regard to film. model yang diusulkan metafora audiovisual berkaitan dengan film.
2). http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0408103-104408/unrestricted/Boldor_thesis.pdf.
SASTRA ON PERSPEKTIF PERBANDINGAN
Sebuah Tesis
Submitted to the Graduate Faculty of the Diserahkan kepada Fakultas Pascasarjana dari
Louisiana State University Louisiana State University
and Agricultural and Mechanical College dan Pertanian dan Mekanik College
in partial fulfillment of untuk memenuhi sebagian
the requirements for the degree of persyaratan untuk tingkat
Master of Arts Sarjana sastra
in di
The Interdepartmental Program Program Antar
in Comparative Literature dalam Sastra Perbandingan
oleh
Alexandru Boldor Alexandru Boldor
BA, Babes-Bolyai University, Cluj BA, Babes-Bolyai University, Cluj
May 2003 Mei 2003
Abstrak
The main objective of this dissertation was to provide Tujuan utama dari disertasi ini adalah untuk memberikan
researchers interested in the history and evolution of peneliti tertarik pada sejarah dan evolusi
“comparative literature” with a collection of references “Sastra perbandingan” dengan koleksi referensi
delineating melukiskan
the itu
evolution evolusi
of dari
the itu
concept konsep
and dan
the itu
development of academic departments dedicated to its study. pengembangan departemen akademis yang didedikasikan untuk penelitian itu.
The paper includes a first section describing the main Makalah ini mencakup bagian pertama menggambarkan utama
issues contributing to the “identity crisis” with which masalah kontribusi terhadap krisis identitas “” dengan yang
studies studi
and dan
departments departemen
defining mendefinisikan
themselves diri
as sebagai
“comparative” were consistently confronted ever since the “Perbandingan” secara konsisten dihadapkan sejak
term was coined. istilah diciptakan.
The “preliminary concepts” section offers an overview The “konsep awal” bagian menawarkan gambaran
of the elements that usually confer a “comparative” quality unsur-unsur yang biasanya memberi suatu “perbandingan” kualitas
to a literary study, such as interdisciplinarity and sebuah studi sastra, seperti interdisciplinarity dan
multiculturalism, together with a few relevant definitions multikulturalisme, bersama-sama dengan beberapa definisi yang relevan
(in chronological order) describing the commonly accepted (Dalam urutan kronologis) yang menggambarkan umum diterima
meaning of the term at a particular point in time. arti istilah tersebut pada titik tertentu dalam waktu.
The next chapter, “chronological overview”, continues Bab selanjutnya, “kronologis”, terus
the itu
analysis analisa
with dengan
additional tambahan
details, rincian,
references referensi
and dan
comments also in chronological order, dividing the matter komentar juga dalam urutan kronologis, membagi masalah
in sub-chapters dedicated to as many historical periods, di sub-bab didedikasikan sebagai periode sejarah yang banyak,
from the Antiquity until the mid-20 dari Kuno sampai pertengahan 20
th th
century. abad. A separate Sebuah terpisah
section, offers a review of the most important institutions bagian, menawarkan review dari institusi yang paling penting.
3). http://www.blogs.uni-osnabrueck.de/dondelillo/participants/cvs-abstracts/
Silvia Caporale Bizzini
Silvia Caporale Bizzini received her PhD from the University of Alicante with the thesis “On power and ideology: Foucault, Barthes and the construction of gender in contemporary novel in English”. Silvia Caporale Bizzini menerima gelar PhD dari University of Alicante dengan tesis “Pada kekuatan dan ideologi: Foucault, Barthes dan pembangunan gender dalam novel kontemporer di” bahasa Inggris. Silvia has carried on her research at the Universities of Oxford, Ulster at Colleraine, and Sheffield, and has been visiting professor at the Universities of Pittsburgh and York (Toronto, Canada). Silvia telah dibawa penelitiannya di Universitas Oxford, Ulster di Colleraine, dan Sheffield, dan telah mengunjungi profesor di Universitas Pittsburgh dan York (Toronto, Kanada). Since 1997, she has been Associate Professor at the University of Alicante, where she teaches English Literature and Cultural Theory. Sejak 1997, ia telah Associate Professor di University of Alicante, di mana dia mengajar Sastra Inggris dan Teori Budaya. From 2002 till 2006, she was the Director of the Women’s Studies Centre there. Sejak tahun 2002 hingga 2006, dia adalah Direktur Pusat Studi Perempuan di sana. Her most recent publications include We, the “Other Victorians”. paling publikasi terbaru nya meliputi Kami, “Victoria Lain”. Considering the Heritage of 19th-Century Thought (2003), Discursos teóricos en torno a la(s) maternidad(es) (2005) and Narrating Motherhoods, Breaking the Silence: Other Mothers, Other Voices (2006). Mengingat Warisan Pemikiran Abad ke-19 (2003) Discursos teóricos, en torno a la (s) maternidad (es) (2005) dan menceritakan Motherhoods, Breaking the Silence: Ibu Lainnya, Suara lain (2006). She has also published a number of articles in national and international academic journals and is currently editing with Andrea O’Really, From the Personal to the Political: Towards a New Reading of Maternal Autobiographies . Dia juga telah menerbitkan sejumlah artikel dalam jurnal akademik internasional dan nasional dan saat mengedit dengan Andrea O’Really, Dari pribadi ke Politik: Menuju Baru Membaca dari Ibu otobiografi.
ABSTRACT: ABSTRAK:
Grieving and Memory in Don DeLillo’s Falling Man Berduka dan Memori Don DeLillo Falling Man
In his critical work on Don DeLillo, Joseph Dewey (2006) points out that “[t]he problem, as Delillo has articulated now across five decades of fiction, is the loss of the authentic self after a half-century assault of images from film, television, tabloids, and advertising that have produced a shallow culture too enamored of simulations, unable to respond to authentic emotional moments without recourse to media models” (6). Dalam karya kritis pada Don DeLillo, Joseph Dewey (2006) menunjukkan bahwa “[] t dia masalahnya, sebagai Delillo telah diartikulasikan sekarang di lima dekade fiksi, adalah hilangnya diri-sejati setelah serangan setengah abad gambar dari film, televisi, tabloid, dan iklan yang telah menghasilkan budaya dangkal terlalu terpikat simulasi, tak mampu menanggapi saat-saat emosional otentik tanpa bantuan model media “(6). Yet in Falling Man , with the tragedy of the Twin Towers in the landscape, such preoccupations seems to fade in order to bring in a group of characters that, instead of trying to locate themselves as individuals within the society of the spectacle, struggle to carry out an introspective process to recover their traumatized self. Namun dalam Falling Man, dengan tragedi Menara Kembar di lanskap, keasyikan tersebut tampaknya memudar dalam rangka membawa sekelompok karakter yang, bukannya berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai individu dalam masyarakat tontonan itu, perjuangan untuk membawa dari proses mawas diri untuk memulihkan diri mereka trauma. After September 11, the(ir) old identitary points of reference are shaken; as a result, in Hanna Arendt’s terms, there arises the need of revising, analysing and recuperating one’s history and traditions to escape ontological chaos. Setelah 11 September itu ir () poin identitary lama referensi terguncang; sebagai akibatnya, dalam hal Hanna Arendt, muncul kebutuhan merevisi, menganalisis dan memulihkan sejarah seseorang dan tradisi untuk menghindari kekacauan ontologis. Each of the characters struggles to come to terms with the meaning of what has happened. Masing-masing karakter perjuangan untuk berdamai dengan makna dari apa yang telah terjadi. My point is that Falling Man , in spite of retaining most of DeLillo’s fictional themes and theoretical nodal points, does not aim at being a narrative centred on the spectacle of terrorism and terror. Maksud saya adalah bahwa Falling Man, meskipun sebagian besar mempertahankan tema fiksi’s DeLillo dan titik nodal teoritis, tidak bertujuan menjadi sebuah narasi yang berpusat pada tontonan terorisme dan teror. This novel epitomizes a reflection on how we react to terror and how we seek to come to terms with a reality that is physically, and not only metaphorically, falling into pieces. Novel ini melambangkan sebuah refleksi tentang bagaimana kita bereaksi terhadap teror dan bagaimana kita berusaha untuk berdamai dengan kenyataan bahwa secara fisik, dan bukan hanya kiasan, jatuh menjadi potongan-potongan. Writing becomes, once more, the means of reconstructing tradition and the Real as well as the point of contact between characters that inhabit different existential spheres. Menulis menjadi, sekali lagi, cara merekonstruksi tradisi dan Real serta titik kontak antara karakter yang menghuni lingkungan eksistensial yang berbeda. In Falling Man , the essential elements that define DeLillo’s narrative are not used to represent a collective paranoia but to understand the events that took place on September 11, transform them into collective memory and start the process of healing. Dalam Falling Man, unsur-unsur penting yang mendefinisikan’s naratif DeLillo tidak digunakan untuk mewakili sebuah paranoia kolektif tetapi untuk memahami peristiwa yang terjadi pada tanggal 11 September, mengubah mereka ke dalam memori kolektif dan memulai proses penyembuhan.
Nama: Eva Faurina Hayati
NIM: A1B107004 Reg A
Sir Thomas Wyatt and Henry Howard, the earl of Surrey
Genre: All of these are technically “lyric verse,” except Wyatt’s verse satire (“Mine Own John Poins”) and Surrey’s translation from Virgil’s Aeneid II. The term comes from Greek poetry where it defined poems made to be sung to the strumming of a lyre or small harp. The English favored the lute, a cousin of the guitar, so many of these poems might better be called “lute songs.” If they actually had music, it has been lost, however, so they exist only as shadows of their original composition. The lute song, Wyatt’s most common genre, may be in varying rhyme schemes and meters but generally tends toward short, trimeter or tetrameter lines with refrains. The sonnet (from French, “little song”), which both Wyatt and Surrey adapted from Petrarch, is a lyric probably not meant for instrumental accompaniment and reliably composed of fourteen lines of iambic pentameter. For a guide to the growth of `1the sonnet, including comparisons between Petrarch’s sonnets in Italian, a Modern English translation, and Wyatt’s and Surrey’s adaptation in Early Modern English.
Characters: The “character” of the lyric’s speaker is a curious thing. T.S. Eliot, in “The Three Voices of Poetry,” argued that the first or lyric voice was like that of the poet, him or herself, but overheard in the act of speaking to some other hearer, to an allegorized idea, or to some inanimate part of the world. Wyatt, for instance, appears to talk to his lute (“My Lute, Awake”) and Surrey utters a strikingly familiar warrior’s “boast” of loyalty in the presence of “Love,” whom he calls “my lord.” Sometimes the lyric’s speaker declares madness, rejection, hatred, as well as passionate love, but in all instances the author’s position must be treated as something necessarily separate from the speaker’s. The division may be tissue thin (see “Who list his ease and wealth maintain” p. 534) but these are not testimonies under oath.
Plot Summary: All the poems imply or express dramatic circumstances, but many require interpretation to make them intelligible. For instance, in “Whoso list tohunt,” the chilling inscription on the “hind”‘s collar mentioned above would be far less emotionally impressive for a reader who did not realize that it was expressing the perfectly lethal will of Henry VIII. Thus, the poem mimics the whispered, metaphorical advice given by an experienced courtier to a newcomer who first had caught sight of the most beautiful and free-thinking woman at court.
Sumber: http://faculty.goucher.edu/eng211/thomas_wyatt_and_henry_howard.htm
Terjemah:
Tuan Thomas Wyatt dan Henry Howard, pangeran Surrey
Aliran: Semua teknis “lirik syair” kecuali karangan Wyatt (Mine Own John Ponit) dan terjemahan Surrey darri Virgil’s Aeneid II. Masa itu datang dari puisi Yunani yang mendefinisikan bahwa puisi dibuat untuk menjadi lagu dengan memetik sebagian lirik atau nada (kecapi) kecil. Nada (kecapi) favorit di inggris adalah suara gitar, banyak syair yang disebut dengan “nyanyian kecapi”. Jika pada kenyataannya mereka mempunyai musik, walaupun mereka sudah kehilangan, kehadiran mereka tetap seperti gubahan (musik) asli. Lagu kecapi milik Wyatt hanya merupakan aliran paling biasa dalam ragam bagan rima dan ukuran, tetapi secara umum cenderung pendek, ukuran garis dengan ulangan. Sneta (dari prancis, little song), Wyatt dan Surrey keduanya mengadaptasi dari Petrach, mungkin lirik tidak berarti untuk membangun iringan (bunyi-bunyian) dan dipercaya berisi 40 garis nada atau berimakan (deretan pertentangan bunyi lemah dan keras). Untuk perjalanan perkemangan sonata, memasukkan bandingan antara sonata milik Petrarch di Italia, terjemahan Inggris modern dan adaptasi dalam Wyatt dan Surrey.
Tokoh: Tokoh dari pembicaraan lirik merupakan rasa keingintahuan. T.S, dalam The Three Voices Of Poetry, mendebatkan yang pertama atau terbentuknya suara lirik seperti puisi, dia atau kehidupannya, tetapi eksploitasi dalam tingkah laku berbicara untuk beberapa orang pendengar, untuk ide kiasan atau untuk beberapa bagian (benda) yang mati di dunia. Instansi Wyatt terlihat berbicara dalam nadanya (My Lute Awake) dan Surrey sama sekali terbiasa menggunakan alat-alat musik dengan membanggakan kesetiaan pada kehadiran “cinta” yang mereka sebut “duniaku”. Beberapa pembicaraan lirik mengungkapakan kegilaan, penolakan, kebencian, sama baiknya dengan penuh gairah cinta, tetapi semua instansi memposisikan pengarang harus pada pijakan (tempat awal) seperti beberapa kebutuhan salinan dari pembicaraan. Divisi boleh jadi jaringan tipis (lihat “ Who List His and Walth Mintain” hlm. 534) tetapi disini bukan kesaksian di bawah sumpah.
Ringkasan alur: Semua puisi menyatakan secara tidak langsung atau mengekspresikan keadaan dramatik, tetapi banyak menuntut penafsiran untuk membuat pemahaman mereka. Untuk instansi dalam “Whoso List Tohunt”, menggoreskan diatas “leher rusa betina” mengatakan di atas dapat jauh lebih kecil secara emosional mengesankan untuk pembaca siapa yang tidak menyadari yang telah mengemukakan dengan lancar mematikan Henry VIII. Dengan demikian, mimik puisi berbisik, nasehat menggunakan metafora memberikan pengalaman pegawai istana untuk pendatang baru siapa yang pertama mempunyai penglihatan lebih indah dan bebas berpikir wanita di pengadailan.
Pejelasan:
Sir Thomas Wyatt and Henry Howard, the earl of Surrey di atas menjelaskan mengenai awal terbentuknya lirik lagu. Mereka beranggapan lirik lagu terbentuk dari syair puisi. Lagu milik Wyatt hanya merupakan aliran paling biasa dalam ragam bagan rima dan ukuran, tetapi secara umum cenderung pendek, ukuran garis dengan ulangan. Sneta (dari prancis, little song), Wyatt dan Surrey keduanya mengadaptasi dari Petrach. Semua lirik puisi menyatakan secara tidak langsung atau mengekspresikan keadaan dramatik, tetapi banyak menuntut penafsiran untuk membuat pemahaman mereka. Mereka menggunakan lirik untuk mengutarakan perasaannya seperti: mengungkapakan kegilaan, penolakan, kebencian, penuh gairah cinta dan sebagainya.
Comparative Canadian Literature and Italian-Canadian Writing by Joseph J. Pivato
While at Athabasca University I have been able to publish three books and many articles in literary journals. In addition to brief descriptions about these books, I include here some of the latest information on publications in ethnic minority writing in Canada.
In 1985 I edited Contrasts: Comparative Essays on Italian-Canadian Writing. This was the first book of critical studies on the literature of Canadians of Italian background, and was republished in 1991. The topics explored in this book are: ethnic identity, writing in French and in Italian, the short story, ethnic poetry, exile and the role of the writer. In addition to the introduction I contributed two essays to this book which includes articles by novelists: Frank Paci, Dino Minni and Alexandre Amprimoz. Some Italian-Canadian writers who live in Quebec publish in French and three of them contributed essays in English translation: Antonio D’Alfonso, Fulvio Caccia and Filippo Salvatore. In addition to English and French some of these writers work in Italian. And you may be surprised to learn that there are more than 90 works of literature in Italian published in Canada.
Dr. Steven Totosy de Zepetnek initially established a CLC Web journal for Comparative Literature and Culture, which is now maintained by Purdue University. In addition to the web journal, Purdue University maintains an extensive on-line library including directories, cumulative bibliographies, research tools, submission guidelines, publication objectives, listserves and other information for use when studying, researching, and publishing Comparative Literature.
Sumber: http://www2.athabascau.ca/cll/english/faculty/jpivato/ethnic.php
Terjemah:
Perbandingan Sastra Canada dan Menulis Italian-Canada oleh Joseph J. Pivato
Ketika di Universitas Athabasca saya telah mampu membuat tiga buku dan banyak artikel dalam jurnal sastra. Dalam deskripsi singkat tentang buku ini. Beberapa informasi terakhir dalam menulis etnik kecil di Canada.
Tahun 1985 saya mengedit perbandingan: Perbandingan Menulis Esaay di Italia-Canada. Ini merupakan buku pertama dari mempelajari kritik sastra Canada dari latar belakang bangsa Italia dan telah dipublikasikan tahun 1991. Topik yang diangkat adalah: identitas etnik, menulis Prancis dan Italia, cerita pendek, puisi etnik pengasingan dan peranan menulis. Dalam tambahan untuk memperkenalkan menyumbangkan dua esay untuk buku ini yang mana mencakup artikel oleh novelis: Frank Paci, Dinno Minni, Alexander Amprimoz. Beberapa penulis Italia-Canada hidup dalam menerbitkan Quebec di Prancis dan tiga diantaranya menyumbangkan esay dalam terjemahan Inggris. Tambahan lagi untuk Inggris dan Prancis ada beberapa penulisbekerja di Italia. Dan kamu boleh terkejut untuk mempelajari lebih dari 90 pekerja sastra di Italia diterbitkan di Canada.
Dr. Steven Totosy de Zepetnek pada awalnya memantapkan Web jurnal CLC untuk Sastra Bandingan dan Budaya, yang mana sekarang diteruskan Universitas Purdue. Tambahan lagi untuk web jurnal, universitas Purdue meneruskan dengan luas perpustakaan online termasuk direktori, daftar buku yang semakin menumpuk, alat penelitian, pengarahan, penerbitan yang objektif, daftar pelayanan dan informasi lainnya untuk menggunakan pelajaran, penelitian, dan penerbitan sastra bandingan.
Penjelasan:
Perbandingan Sastra Canada dan Menulis Italian-Canada oleh Joseph J. Pivato di atas menjelasakan mengenai esay-esay dan buku-buku yang pernah dihasilkan oleh Joseph. Topik yang pernah diangkatnya seperti: identitas etnik, menulis Prancis dan Italia, cerita pendek, puisi etnik pengasingan dan peranan menulis, meninjau masalah terjemahan, tradisi lisan dari cerita rakyat dan musik, suara wanita, gambar dari keluarga, kebencian diri, menulis dalam Quebec dan Sastra Bandingan. Joseph juga memantapkan Web jurnal CLC untuk Sastra Bandingan dan Budaya yang sekarang diteruskan Universitas Purdue.
The Princeton Sourcebook in Comparative Literature:
From the European Enlightenment to the Global Present
Edited by David Damrosch, Natalie Melas & Mbongiseni Buthelezi
As comparative literature reshapes it self in today’s globalizing age, it is essential for students and teachers to look deeply into the discipline’s history and its present possibilities. The Princeton Sourcebook in Comparative Literature is a wide-ranging anthology of classic essays and important recent statements on the mission and methods of comparative literary studies. This pioneering collection brings together thirty-two pieces, from foundational statements by Herder, Madame de Staël, and Nietzsche to work by a range of the most influential comparatists writing today, including Lawrence Venuti, Gayatri Chakravorty Spivak, and Franco Moretti. Gathered here are manifestos and counterarguments, essays in definition, and debates on method by scholars and critics from the United States, Europe, Asia, Africa, and Latin America, giving a unique overview of comparative study in the words of some of its most important practitioners. With selections extending from the beginning of comparative study through the years of intensive theoretical inquiry and on to contemporary discussions of the world’s literatures, The Princeton Sourcebook in Comparative Literature helps readers navigate a rapidly evolving discipline in a dramatically changing world.
Sumber: http://press.princeton.edu/titles/9031.html
Terjemah:
The Princeton Sourcebook in Comparative Literature:
From the European Enlightenment to the Global Present
Edited by David Damrosch, Natalie Melas & Mbongiseni Buthelezi
Sastra Bandingan dibahas secara global hari ini, kebutuhan penting untuk siswa dan guru untuk melihat sangat ke dalam sejarah disiplin dan menghadirkan berbagai kemungkinan. The Princeton Sourcebook in Comparative Literature merupakan antologi luas dari esay klasik dan pernyataan penting yang mutakhir dengan misi dan metode dari pelajaran Sastra Bandingan. Pelopor ini membawa koleksi bersama 32 buah. Pendirian pernyataan oleh Herder, Madame de Staël, and Nietzsche untuk bekerja oleh jangkauaan yang sangat mempengaruhi perbandingan menulis hari ini, mencakup Lawrence Venuti, Gayatri Chakravorty Spivak, and Franco Moretti. Gathered disini adalah manifestor dan pusat pendapat, definisi esay, debat dan metode oleh cendikiawan dan kritik dati Unuted Stated, Eropa, Asia, afrika dan amerika Latin, memberi keunikan dalam mempelajari bandingan di dunia dari beberapa yang terpenting dari penelitian. Dengan memilih memperluas dengan memulai mempelajari perbandingan dengan cermat dari tahun ke tahun secara intensif menurut teori penyelidikan dan untuk yang sejaman dari dunia sastra, The Princeton Sourcebook in Comparative Literature membantu pembaca dengan cepat berkembang disiplin secara dramatis mengganti dunia.
Penjelasan:
Princeton Sourcebook in Comparative Literature merupakan antologi dari esay klasik dan pernyataan penting yang mutakhir dengan misi dan metode dari pelajaran Sastra Bandingan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa sastra bandingan memilik keunikan penelitian yang dilakukan di dunia. Dengan mempelajari sastra bandingan dengan cermat, maka akan membantu pembaca berkembang disiplin secara dramatis untuk perubahan dunia.
NORHAPIKA (A1B107006) Reg A
Sumber: http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/5%2520sartini%2520baru.pdf
Abstract
The aim of this research, first is to recognize some linguistic features that has a role as a code marker of the language spoken by Chinese society. Secondly, to understand what language is spoken by Chinese family, among Chinese people or between Chinese and other ethnic groups.
In theory, this research obtained some linguistic features at phonology level such as some changing sounds of /r/ becomes /l/, /t/ becomes /k/. Certainly not all sounds have such alternation. This can be identified from the age and the level generation of that Chinese society. At morphology level, the communication always been enriched by some Chinese greeting words. In the word formation, there are some word combinations between Indonesian for instance the attachment of suffix –e which similar to the suffix in Indonesia. Moreover, another special characteristic is the use of the prepotition dek / ndI? / ‘at/ in’. The pronunciation alteration of a word can be seen in this example, the word pergi changes into pigi. In their daily communication with local societ, the Chinese society in Surabaya apply language cmbination of Javanese and Indonesian. Among Chinese people in Surabaya, they speak some languages, namely Indoensian, Hokkian, Mandarin, Javanese, and the combination of those languages. A full- blooded Chinese always speak a language that consist of.
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep. 2004.
Terjemah:
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui varietas bahasa masyarakat Cina dan bahasa yang digunakan bila berkomunikasi dengan etnik setempat dan sesama suku.
Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan mencari ciri-ciri linguistik yang khas pada masyarakat ini.
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Cina memiliki varietas bahasa yang unik seperti pencampuran antara bahasa Indonesia seperti sufiks –e, mengubah kata-kata tertentu sesuai dengan dialek mereka seperti kata pergi menjadi pigi, menggunakan preposisi /dek/ atau /ndeq/ ‘di’, tetap menggunakan sapaan-sapaan dalam bahasa Mandarin seperti tacik, koko, meme dan sebagainya. Masyarakat Cina bila berkomunikasi antarsuku cenderung menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia, Mandarin, Hokkian. Namun bila berkomunikasi dengan masyarakat setempat atau antaretnik lebih memilih bahasa masyarakat setempat seperti bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Sumber: Chttp://www.gradschool.umd.edu/catalog/programs/cmlt.htmomparative Literature (CMLT) printable version
Abstract
A separate degree program in the English Department, the Comparative Literature Program is committed to the comparative and transnational study of literature and other media. Combining its own dynamic resources with the particular strengths of the English Department and other units in the College of Arts and Humanities, the Program focuses especially on Western Hemispheric and Transatlantic Studies and on Diasporic and Postcolonial Studies. Students in the Program work in at least two languages and national literatures, one of them Anglophone. The Comparative Literature PhD Program complements the current PhD Program in English, giving students a place to pursue true comparative studies. Students seeking admission to the PhD Program in Comparative Literature must demonstrate advanced language proficiency before entry into the Program, and commit themselves to achieving a high degree of intellectual expertise in two or more languages and national literatures. Graduates are as likely to find academic positions in departments of foreign languages as they are to find them in English. A doctoral degree in Comparative Literature can uniquely prepare them for a profession that more and more studies literatures and cultures within a globalized, transnational context. Students entering this small, elite PhD program will already hold an MA degree either in English or in another language/literature; students seeking admission with the BA will be directed to the appropriate MA language/literature program at Maryland, and, upon admission and completion of the MA program, could then apply for the PhD in Comparative Literature. People interested in the Program should apply directly to Comparative Literature, not English.
Terjemah:
Abstrak
Suatu memisahkan program derajat tingkat pemerintahan orang-orang Inggris, Program sastra bandingan melakukan ilmu bahasa perbandingan dan bidang internasional dari kesusastraan media lain. Menyatukan sumber daya yang dinamis sendiri dengan pemerintahan orang-orang inggris dan unit lain di College atau Perguruan Tinggi College(Perguruan Tinggi Art/Seni dan Humanas), Program ini terutama memusat pada belahan bumi Barat Dan Melintasi samodera atlantik Studies dan pada Diasporic Dan Postcolonial Studies. Para Siswa di Program memasukkan sedikitnya dua bahasa dan kesusastraan nasional, salah satu dari Anglophone. Dokter ilmu filsafat program sastra bandingan untuk melengkapi dokter filsafat Program arus dalam Bahasa Inggris, memberikan para siswa suatu tempat untuk mengejar studi perbandingan yang benar. Para Siswa yang mencari-cari kesempatan untuk masuk di kedokteran filasafat ilmu sastra bandingan yang harus menampilkan kepandaian berbahasa tingkat lanjut sebelum masukan ke dalam bidang ini dan mengapdikan diri mereka agar menuju keberhasilan atau keahlian intelektual di dalam menggunakan dua atau lebih bahasa dan kesusastraan nasional. Lulusan seperti ini dapat memungkinkan posisi yang akademis di dalam bidang pemerintahan bahasa asing sebagaimana adanya ditemukan di dalam Bahasa Inggris.
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa siswa yang ingin memasuki perguraaan tinggi ilmu filsafat sastra bandingan di inggris ini harus mempunyai bakat menggunakan dua atau lebih bahasa dan mempunyai pengetahuan kesusastraan. Nantinya lulusan dibidang ini akan pempunya posisi yang akademis dibidang pemerintahan bahasa asing.
Sumber: http://docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1086&context=clcweb
CLCWeb Volume 2 Issue 4 (December 2000) Article 3
Karl S.Y. Kao,
“Comparative Literature and the Ideology of Metaphor, East and West”
Contents of CLCWeb: Comparative Literature and Culture 2.4 (2000)
Thematic Issue Histories and Concepts of Comparative Literature Edited by Steven Tötösy de Zepetnek <>
Abstract:
In his article, “Comparative Literature and the Ideology of Metaphor, East and West,” Karl S.Y. Kao offers a comparative reading of the ideological function of metaphor within Eastern and Western thinking. Nietzsche is recognized as the earliest serious challenger to the concepts of meaning and truth within the West, whilst Derrida and de Man are discussed with respect to their
conception that figurality is inherent within — and integral to — Western philosophical and literary discourse. Parallel to this conception of conceptuality is the Eastern view of language and literature. Kao notes that the Western opposition between logic and rhetoric is not inherent within or integral to Eastern thought. He examines various rhetorical figures within Eastern philosophy and literature and a contrasting between affective (expressive; East) and mimetic (representational; West) is urged and interrogated. Eastern thought may be distinguished by an awareness of the problematical status of the conceptuality of thought. Despite this awareness, parallel problems threaten to emerge — whilst the West has tried to inaugurate a distinction between metaphor and concept, the East has tended to subsume them. On the one hand, we encounter a problematical distinction between meaning and truth; on the other hand, we encounter a problematic equivocation. Karl S.Y. Kao, “Comparative Literature and the Ideology of Metaphor, East and West” page 2 of 9 CLCWeb: Comparative Literature and Culture 2.4 (2000):
Terjemah:
Abstrak:
Di dalam artikel ini,” Bacaan Sastra Bandingan dan Ideologi dari Gaya Bahasa, Timur dan Barat,” Karl S.Y. Kao menawarkan suatu perbandingan bacaan dari fungsi ideologis tentang bahasa kiasan yang didalam bahasa Ketimuran dan Pemikiran bahasa orang barat. Nietzsche dikenali sebagai penantang serius paling awal ia mempunyai konsep dari arti suatua bahasa dan kebenaran di dalam bahasa Barat, sedangkan menurut Derrida dan menurut orang yang membahas bahasa mengenai konsepsi mereka yang figuralas adalah tidak bisa dipisahkan di dalam suatu permaslahan dan integral untuk bahasa dalam berceramah yang berkaitan dengan kesusasteraan dan filosofis barat. Parallel Pada konsepsi ini dari conceptualas adalah Ketimuran pandangan dari bahasa dan kesustraan. Kao mencatat bahwa Oposisi yang barat secara logika dan retorik tidaklah bisa dipisahkan di dalam atau integral bahasa ke Ketimuran yang dipikirkan. Ia menguji berbagai figur yang retoris di dalam filosofis Ketimurannya dan bacaan suatu membandingkan antara bahasa secara cenderung (ekspersif; bahasa Tmur) dan meniru (representional; bahasa Barat) untuk dapat dibahasa dan ditanyakan. Bahasa Ketimuran yang digunakan mungkin dibedakan oleh suatu kesadaran dari status ketidak pastian suatu pemikiran. Di samping kesadaran ini, permasalahan yang paralel mengancam untuk selalu ada. Bangsa Barat telah mencoba untuk memulai suatu pembedaan antara kiasan dan konsep, bangsa Timur telah cenderung untuk menggolongkan pada suatu pihak, kita menghadapi suatu pembedaan yang meragukan setiap arti dan kebenaran; pada sisi lain, kita menghadapi suatu pemutaran lidah yang meragukan. Karl S.Y. Kao, Comparative Literature and the Ideology of Metaphor,ketimuran and barat ” page 2 of 9 CLCWeb: Comparative Literature and Culture 2.4 (2000):
Nama : NORHAPIKA
NIM : A1B107006 Reg A
Sumber: http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/5%2520sartini%2520baru.pdf
Abstract
The aim of this research, first is to recognize some linguistic features that has a role as a code marker of the language spoken by Chinese society. Secondly, to understand what language is spoken by Chinese family, among Chinese people or between Chinese and other ethnic groups.
In theory, this research obtained some linguistic features at phonology level such as some changing sounds of /r/ becomes /l/, /t/ becomes /k/. Certainly not all sounds have such alternation. This can be identified from the age and the level generation of that Chinese society. At morphology level, the communication always been enriched by some Chinese greeting words. In the word formation, there are some word combinations between Indonesian for instance the attachment of suffix –e which similar to the suffix in Indonesia. Moreover, another special characteristic is the use of the prepotition dek / ndI? / ‘at/ in’. The pronunciation alteration of a word can be seen in this example, the word pergi changes into pigi. In their daily communication with local societ, the Chinese society in Surabaya apply language cmbination of Javanese and Indonesian. Among Chinese people in Surabaya, they speak some languages, namely Indoensian, Hokkian, Mandarin, Javanese, and the combination of those languages. A full- blooded Chinese always speak a language that consist of.
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep. 2004.
Terjemah:
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui varietas bahasa masyarakat Cina dan bahasa yang digunakan bila berkomunikasi dengan etnik setempat dan sesama suku.
Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan mencari ciri-ciri linguistik yang khas pada masyarakat ini.
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Cina memiliki varietas bahasa yang unik seperti pencampuran antara bahasa Indonesia seperti sufiks –e, mengubah kata-kata tertentu sesuai dengan dialek mereka seperti kata pergi menjadi pigi, menggunakan preposisi /dek/ atau /ndeq/ ‘di’, tetap menggunakan sapaan-sapaan dalam bahasa Mandarin seperti tacik, koko, meme dan sebagainya. Masyarakat Cina bila berkomunikasi antarsuku cenderung menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia, Mandarin, Hokkian. Namun bila berkomunikasi dengan masyarakat setempat atau antaretnik lebih memilih bahasa masyarakat setempat seperti bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Sumber: Chttp://www.gradschool.umd.edu/catalog/programs/cmlt.htmomparative Literature (CMLT) printable version
Abstract
A separate degree program in the English Department, the Comparative Literature Program is committed to the comparative and transnational study of literature and other media. Combining its own dynamic resources with the particular strengths of the English Department and other units in the College of Arts and Humanities, the Program focuses especially on Western Hemispheric and Transatlantic Studies and on Diasporic and Postcolonial Studies. Students in the Program work in at least two languages and national literatures, one of them Anglophone. The Comparative Literature PhD Program complements the current PhD Program in English, giving students a place to pursue true comparative studies. Students seeking admission to the PhD Program in Comparative Literature must demonstrate advanced language proficiency before entry into the Program, and commit themselves to achieving a high degree of intellectual expertise in two or more languages and national literatures. Graduates are as likely to find academic positions in departments of foreign languages as they are to find them in English. A doctoral degree in Comparative Literature can uniquely prepare them for a profession that more and more studies literatures and cultures within a globalized, transnational context. Students entering this small, elite PhD program will already hold an MA degree either in English or in another language/literature; students seeking admission with the BA will be directed to the appropriate MA language/literature program at Maryland, and, upon admission and completion of the MA program, could then apply for the PhD in Comparative Literature. People interested in the Program should apply directly to Comparative Literature, not English.
Terjemah:
Abstrak
Suatu memisahkan program derajat tingkat pemerintahan orang-orang Inggris, Program sastra bandingan melakukan ilmu bahasa perbandingan dan bidang internasional dari kesusastraan media lain. Menyatukan sumber daya yang dinamis sendiri dengan pemerintahan orang-orang inggris dan unit lain di College atau Perguruan Tinggi College(Perguruan Tinggi Art/Seni dan Humanas), Program ini terutama memusat pada belahan bumi Barat Dan Melintasi samodera atlantik Studies dan pada Diasporic Dan Postcolonial Studies. Para Siswa di Program memasukkan sedikitnya dua bahasa dan kesusastraan nasional, salah satu dari Anglophone. Dokter ilmu filsafat program sastra bandingan untuk melengkapi dokter filsafat Program arus dalam Bahasa Inggris, memberikan para siswa suatu tempat untuk mengejar studi perbandingan yang benar. Para Siswa yang mencari-cari kesempatan untuk masuk di kedokteran filasafat ilmu sastra bandingan yang harus menampilkan kepandaian berbahasa tingkat lanjut sebelum masukan ke dalam bidang ini dan mengapdikan diri mereka agar menuju keberhasilan atau keahlian intelektual di dalam menggunakan dua atau lebih bahasa dan kesusastraan nasional. Lulusan seperti ini dapat memungkinkan posisi yang akademis di dalam bidang pemerintahan bahasa asing sebagaimana adanya ditemukan di dalam Bahasa Inggris.
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa siswa yang ingin memasuki perguraaan tinggi ilmu filsafat sastra bandingan di inggris ini harus mempunyai bakat menggunakan dua atau lebih bahasa dan mempunyai pengetahuan kesusastraan. Nantinya lulusan dibidang ini akan pempunya posisi yang akademis dibidang pemerintahan bahasa asing.
Sumber: http://docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1086&context=clcweb
CLCWeb Volume 2 Issue 4 (December 2000) Article 3
Karl S.Y. Kao,
“Comparative Literature and the Ideology of Metaphor, East and West”
Contents of CLCWeb: Comparative Literature and Culture 2.4 (2000)
Thematic Issue Histories and Concepts of Comparative Literature Edited by Steven Tötösy de Zepetnek <>
Abstract:
In his article, “Comparative Literature and the Ideology of Metaphor, East and West,” Karl S.Y. Kao offers a comparative reading of the ideological function of metaphor within Eastern and Western thinking. Nietzsche is recognized as the earliest serious challenger to the concepts of meaning and truth within the West, whilst Derrida and de Man are discussed with respect to their
conception that figurality is inherent within — and integral to — Western philosophical and literary discourse. Parallel to this conception of conceptuality is the Eastern view of language and literature. Kao notes that the Western opposition between logic and rhetoric is not inherent within or integral to Eastern thought. He examines various rhetorical figures within Eastern philosophy and literature and a contrasting between affective (expressive; East) and mimetic (representational; West) is urged and interrogated. Eastern thought may be distinguished by an awareness of the problematical status of the conceptuality of thought. Despite this awareness, parallel problems threaten to emerge — whilst the West has tried to inaugurate a distinction between metaphor and concept, the East has tended to subsume them. On the one hand, we encounter a problematical distinction between meaning and truth; on the other hand, we encounter a problematic equivocation. Karl S.Y. Kao, “Comparative Literature and the Ideology of Metaphor, East and West” page 2 of 9 CLCWeb: Comparative Literature and Culture 2.4 (2000):
Terjemah:
Abstrak:
Di dalam artikel ini,” Bacaan Sastra Bandingan dan Ideologi dari Gaya Bahasa, Timur dan Barat,” Karl S.Y. Kao menawarkan suatu perbandingan bacaan dari fungsi ideologis tentang bahasa kiasan yang didalam bahasa Ketimuran dan Pemikiran bahasa orang barat. Nietzsche dikenali sebagai penantang serius paling awal ia mempunyai konsep dari arti suatua bahasa dan kebenaran di dalam bahasa Barat, sedangkan menurut Derrida dan menurut orang yang membahas bahasa mengenai konsepsi mereka yang figuralas adalah tidak bisa dipisahkan di dalam suatu permaslahan dan integral untuk bahasa dalam berceramah yang berkaitan dengan kesusasteraan dan filosofis barat. Parallel Pada konsepsi ini dari conceptualas adalah Ketimuran pandangan dari bahasa dan kesustraan. Kao mencatat bahwa Oposisi yang barat secara logika dan retorik tidaklah bisa dipisahkan di dalam atau integral bahasa ke Ketimuran yang dipikirkan. Ia menguji berbagai figur yang retoris di dalam filosofis Ketimurannya dan bacaan suatu membandingkan antara bahasa secara cenderung (ekspersif; bahasa Tmur) dan meniru (representional; bahasa Barat) untuk dapat dibahasa dan ditanyakan. Bahasa Ketimuran yang digunakan mungkin dibedakan oleh suatu kesadaran dari status ketidak pastian suatu pemikiran. Di samping kesadaran ini, permasalahan yang paralel mengancam untuk selalu ada. Bangsa Barat telah mencoba untuk memulai suatu pembedaan antara kiasan dan konsep, bangsa Timur telah cenderung untuk menggolongkan pada suatu pihak, kita menghadapi suatu pembedaan yang meragukan setiap arti dan kebenaran; pada sisi lain, kita menghadapi suatu pemutaran lidah yang meragukan. Karl S.Y. Kao, Comparative Literature and the Ideology of Metaphor,ketimuran and barat ” page 2 of 9 CLCWeb: Comparative Literature and Culture 2.4 (2000):
Nama : Nani Wardani
NIM : A1B107011
Tugas Mata Kuliah : Resensi Buku Sastra Bandingan
1.Judul Buku : Comperative Literature : theory, method, application
a. Sumber :
http://books.google.co.id/books?id=PYV87r9cB0QC&source=gbs_navlinks_s
b.Resensi :
This book serves several purposes, all very much needed in today’s embattled situation of the humanities and the study of literature. First, in Chapter One, the author proposes that the discipline of Comparative Literature is a most advantageous approach for the study of literature and culture as it is a priori a discipline of cross-disciplinarity and of international dimensions. After a “Manifesto” for a New Comparative Literature, he proceeds to offer several related theoretical frameworks as a composite method for the study of literature and culture he designates and explicates as the “systemic and empirical approach.” Following the introduction of the proposed New Comparative Literature, the author applies his method to a wide variety of literary and cultural areas of inquiry such as “Literature and Cultural Participation” where he discusses several aspects of reading and readership (Chapter Two), “Comparative Literature as/and Interdisciplinarity” (Chapter Three) where he deals with theory and application for film and literature and medicine and literature, “Cultures, Peripheralities, and Comparative Literature” (Chapter Four) where he proposes a theoretical designation he terms “inbetween peripherality” for the study of East Central European literatures and cultures as well as ethnic minority writing, “Women’s Literature and Men Writing about Women”(Chapter Five) where he analyses texts written by women and texts about women written by men in the theoretical context of Ethical Constructivism, “The Study of Translation and Comparative Literature” (Chapter Six) where after a theoretical introduction he presents a new version of Anton Popovic’s dictionary for literary translation as a taxonomy for the study of translation, and “The Study of Literature and the Electronic Age” (Chapter Seven), where he discusses the impact of new technologies on the study of literature and culture. The analyses in their various applications of the proposed New Comparative Literature involve modern and contemporary authors and their works such as Dorothy Richardson, Margit Kaffka, Mircea Cartarescu, Robert Musil, Alfred Döblin, Hermann Hesse, Péter Esterházy, Dezsö Kosztolányi, Michael Ondaatje, Endre Kukorelly, Else Seel, and others.
c. Terjemahan :
Buku ini menyediakan beberapa tujuan, yang semuanya sangat banyak diperlukan dalam situasi masa kini yang berhubungan dengan memerangi ras manusia dan sebagai pembelajaran sastra. Pertama, di dalam Bab satu, pengarang mengusulkan bahwa ilmu disiplian sastra bandingan adalah suatu pendekatan yang paling menguntungkan untuk literatur studi tentang kebudayaan dan karena itu adanya berdasar pada prasangka pelajaran campuran dan dimensi pelajaran internasional. Setelah “Manifesto” untuk sesuatu yang baru tentang sastra bandingan, penulis mulai menawarkan beberapa kerangka teoritis berkaitan dengan metode gabungan untuk studi kultur dan literatur yang mengangkatnya dan menjelaskan secara lengkap sebagai ” pendekatan empiris dan sistemik.”
Berikutnya pengenalan hal baru yang diusulkan dari sastra bandingan,pengarang menerapkan metodenya untuk area pemeriksaan budaya dan berkaitan dengan kesusasteraan yang luas seperti ” Partisipasi budaya dan sastra” di mana ia mendiskusikan beberapa aspek jumlah pembacanya dan bacaan Bab Dua, “sastra bandingan adalah antara pelajaran” ( Bab Tiga) di mana ia berhubungan dengan aplikasi dan teori untuk literatur dan obat/kedokteran dan literatur dan film, “Kultur, Diskusi, dan Sastra Bandingan”, Bab Empat dimana ia mengusulkan tujuan teoritis menyangkut terminologi “ditengahnya diskusi” untuk studi timur pusat pada kultur dan literatur Mengenai Eropa seperti halnya menulis kesukuan minoritas, “Seorang (laki-laki) dan Literatur tentang Wanita yang menulis tentang Wanita” Bab Lima ia meneliti dimana teks yang ditulisnya dan wanita tentang wanita-wanita yang tertulis oleh seorang laki-laki berkaitan dengan teoritis tentang Etis Konstruktivisme, “Studi Terjemahan dan Sastra Bandingan” Bab Enam di mana setelah pengenalan teoritis ia menghadiahi suatu kamus baru versi Anton Popovic’s untuk menerjemahkan yang berkaitan dengan kesusasteraan sebagai taksonomi untuk studi terjemahan, dan “Studi sastra dan Zaman elektronik”, Bab tujuh di mana ia mendiskusikan dampak dari teknologi baru pada studi kultur dan literatur. Analisa di dalam aplikasi mereka berhubungan dengan hal baru diusulkan dengan sastra bandingan yang melibatkan pengarang zaman ini, zaman modern dan pekerjaan mereka seperti Dorothy Richardson, Margit Kaffka, Mircea Cartarescu, Robert Musil, Döblin Alfred, Hermann Hesse, Péter Esterházy, Dezsö Kosztolányi, Michael Ondaatje, Endre Kukorelly, Else Seel, dan lain-lain.
d. Kesimpulan :
Di dalam Bab I, pengarang pada buku ini mengusulkan bahwa ilmu disiplin sastra bandingan adalah suatu pendekatan yang paling menguntungkan untuk mempelajari sastra tentang kebudayaan dan itu karena adanya berdasarkan prasangka pelajaran campuran dan dimensi pelajaran internasional. Dalam buku ini juga menawarkan beberapa kerangka teoritis berkaitan dengan metode gabungan. Metode ini diterapkan untuk area pemeriksaan budaya dan berkaitan dengan kesusasteraan yang luas seperti ” partisipasi budaya dan sastra”.
2. Comparative Literature in an Age of Globalization (Paperback)
Judul Buku : Comparative Literature in an Age of Globalization (Paperback)
a. Sumber :
b.Resensi :
As an academic discipline built upon Enlightenment thought and a cosmopolitan worldview — not grounded in the literary tradition of any single language or nation — comparative literature has benefited from regular reexamination of its basic principles and practices. The American Comparative Literature Association 1993 report on the state of the discipline, prepared under the leadership of Charles Bernheimer, focused on the influence of multiculturalism as a concept transforming literary and cultural studies. That report and the vigorous responses it generated, published together as Comparative Literature in the Age of Multiculturalism, offered a comprehensive survey of comparative criticism in the 1990s.
In the first decade of the twenty-first century, globalization has emerged as a defining paradigm in nearly every area of human activity. This latest report from the ACLA demonstrates that comparative critical strategies today can provide unique insights into the world’s changing — and, increasingly, colliding — cultures. Incorporating an even wider range of voices than had its predecessor, the report examines how the condition (or myth) of globalization in all its modes and moods, affirms or undercuts the intuitions of comparative literature; how world literatures whether seen as utopian project or as classroom practice, intersect with the canons and interpretive styles of national literatures, and how material conditions of practice such as language, media, history, gender, and culture appear under the conditions of the present moment.
Responding to the frequent attacks against contemporary literary studies, Comparative Literature in an Age of Globalization establishes the continuing vitality of the discipline and its rigorous intellectual engagement with the issues facing today’s global society.
c. Terjemahan
Sebagai suatu disiplin ilmu akademis yang dibangun atas pikiran dari penerangan dan sebagai warganegara dunia yang tidak mendasarkan pada tradisi yang berkaitan kesusasteraan tentang segala bangsa atau bahasa tunggal – sastra bandingan telah menguntungkan pemeriksaan kembali secara teratur. Prinsip dasar dan Asosiasi praktek sastra bandingan di Amerika 1993 melaporkan atas status dari disiplin, yang disiapkan di bawah kepemimpinan Charles Bernheimer, terpusat pada pengaruh multikulturalisme sebagai konsep yang menjelmakan menjadi studi budaya dan berkaitan dengan kesusasteraan. Laporan itu dan tanggapan yang menghasilkan, menerbitkan bersama-sama sebagai sastra bandingan di zaman Multikulturalisme, menawarkan survei yang menyeluruh tentang kritik perbandingan di tahun 1990an.
Dalam dekade pertama abad duapuluhsatu, globalisasi telah memunculkan penjelasan paradigma di hampir tiap-tiap area aktivitas manusia. Laporan terakhir dari ACLA menunjukkan hal strategi perbandingan kritis hari ini dapat menyediakan pengertian yang unik dalam mengubah dunia dan, terus meningkat, menabrak kultur. Menemani bahkan menjangkau suara yang lebih luas dibandingkan pendahulu yang dimengerti, seperti laporan uji bagaimana kondisi tentang globalisasi dalam semua suasana hati dan gayanya, menyatakan atau mengobral intuisi sastra bandingan; bagaimana literatur dunia apakah dilihat sama dengan proyek yang berupa kayalan atau seperti kelas praktek, tumpang tindih dengan aturan dan interpretasi gaya literatur nasional, dan bagaimana praktek kondisi material seperti bahasa, media, sejarah, jenis kelamin, dan kultur yang nampak di bawah kondisi-kondisi pada saat sekarang.
Menjawab serangan yang sering melawan studi yang berkaitan dengan kesusasteraan zaman ini, Umur sastra bandingan di era Globalisasi menetapkan vitalitas disiplin yang berlanjut dan perikatan intelektual yang kaku dengan isu menghadapi masyarakat global dimasa kini.
d. Kesimpulan :
Sebagai suatu disiplin ilmu akademis yang dibangun atas pikiran dari penerangan dan sebagai warganegara dunia yang tidak mendasarkan pada tradisi yang berkaitan kesusasteraan tentang segala bangsa atau bahasa tunggal – sastra bandingan telah menguntungkan pemeriksaan kembali secara teratur. Dalam buku ini juga membahas bagaimana literatur dunia apakah dilihat sama dengan proyek yang berupa kayalan atau seperti kelas praktek, tumpang tindih dengan aturan dan interpretasi gaya literatur nasional, dan bagaimana praktek kondisi material seperti bahasa, media, sejarah, jenis kelamin, dan kultur yang nampak di bawah kondisi-kondisi pada saat sekarang.
3.Judul Buku : The Princeton Sourcebook in Comparative Literature:
From the European Enlightenment to the Global Present
a. Sumber :
http://press.princeton.edu/titles/9031.html
b.Resensi :
.As comparative literature reshapes itself in today’s globalizing age, it is essential for students and teachers to look deeply into the discipline’s history and its present possibilities. The Princeton Sourcebook in Comparative Literature is a wide-ranging anthology of classic essays and important recent statements on the mission and methods of comparative literary studies. This pioneering collection brings together thirty-two pieces, from foundational statements by Herder, Madame de Staël, and Nietzsche to work by a range of the most influential comparatists writing today, including Lawrence Venuti, Gayatri Chakravorty Spivak, and Franco Moretti. Gathered here are manifestos and counterarguments, essays in definition, and debates on method by scholars and critics from the United States, Europe, Asia, Africa, and Latin America, giving a unique overview of comparative study in the words of some of its most important practitioners. With selections extending from the beginning of comparative study through the years of intensive theoretical inquiry and on to contemporary discussions of the world’s literatures, The Princeton Sourcebook in Comparative Literature helps readers navigate a rapidly evolving discipline in a dramatically changing world.
c. Terjemahan
Ketika sastra bandingan membentuk dirinya sendiri di dalam zaman globalisasi masa kini, sangat penting bagi siswa dan guru untuk melihat ke dalam disiplin sejarah dan berbagai kemungkinan yang hadir. Princeton Sourcebook di dalam sastra bandingan suatu kumpulan puisi yang meliputi banyak hal dari esai klasik dan pernyataan terbaru terpenting pada metode dan misi studi bandingan yang berkaitan dengan kesusasteraan.
Hal ini mempelopori bersama-sama membawa tigapuluh dua potongan koleksi, dari pernyataan dasar dari Herder, Nyonya Madame de Staël, dan Nietzsche untuk bekerja dengan bidang pedoman yang paling berpengaruh membandingkan tulisan hari ini, termasuk Lawrence Venuti, Gayatri Chakravorty Spivak, dan Franco Moretti. yang dikumpulkan di sini adalah manifesto dan membandingkan argumen, esai dalam hal definisinya, dan berdebat atas metode dengan kritikus dan sarjana dari Amerika Serikat, Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Latin, memberi suatu ikhtisar studi perbandingan yang unik dalam kata-kata sebagian dari praktisi paling utama. Dengan pemilihan memperpanjang dari awal studi dengan membandingkan melalui pemeriksaan teoritis intensif dan diskusi di zaman sastra dunia, Sumber buku Princeton di dalam perbandingan Pembaca membantu sesuatu literatur dengan cepat melalui pengembangan disiplin secara dramatis untuk mengubah dunia.
d. kesimpulan
Ketika sastra bandingan membentuk dirinya sendiri di dalam zaman globalisasi masa kini, sangat penting bagi siswa dan guru untuk melihat ke dalam disiplin sejarah dan berbagai kemungkinan yang hadir. Dengan pemilihan memperpanjang dari awal studi dengan membandingkan melalui pemeriksaan teoritis intensif dan diskusi di zaman sastra dunia, Sumber buku Princeton di dalam perbandingan Pembaca membantu sesuatu literatur dengan cepat melalui pengembangan disiplin secara dramatis untuk mengubah dunia.
Nama: Eva Faurina Hayati
NIM: A1B107004 Reg A
Sir Thomas Wyatt and Henry Howard, the earl of Surrey
Genre: All of these are technically “lyric verse,” except Wyatt’s verse satire (“Mine Own John Poins”) and Surrey’s translation from Virgil’s Aeneid II. The term comes from Greek poetry where it defined poems made to be sung to the strumming of a lyre or small harp. The English favored the lute, a cousin of the guitar, so many of these poems might better be called “lute songs.” If they actually had music, it has been lost, however, so they exist only as shadows of their original composition. The lute song, Wyatt’s most common genre, may be in varying rhyme schemes and meters but generally tends toward short, trimeter or tetrameter lines with refrains. The sonnet (from French, “little song”), which both Wyatt and Surrey adapted from Petrarch, is a lyric probably not meant for instrumental accompaniment and reliably composed of fourteen lines of iambic pentameter. For a guide to the growth of `1the sonnet, including comparisons between Petrarch’s sonnets in Italian, a Modern English translation, and Wyatt’s and Surrey’s adaptation in Early Modern English.
Characters: The “character” of the lyric’s speaker is a curious thing. T.S. Eliot, in “The Three Voices of Poetry,” argued that the first or lyric voice was like that of the poet, him or herself, but overheard in the act of speaking to some other hearer, to an allegorized idea, or to some inanimate part of the world. Wyatt, for instance, appears to talk to his lute (“My Lute, Awake”) and Surrey utters a strikingly familiar warrior’s “boast” of loyalty in the presence of “Love,” whom he calls “my lord.” Sometimes the lyric’s speaker declares madness, rejection, hatred, as well as passionate love, but in all instances the author’s position must be treated as something necessarily separate from the speaker’s. The division may be tissue thin (see “Who list his ease and wealth maintain” p. 534) but these are not testimonies under oath.
Plot Summary: All the poems imply or express dramatic circumstances, but many require interpretation to make them intelligible. For instance, in “Whoso list tohunt,” the chilling inscription on the “hind”‘s collar mentioned above would be far less emotionally impressive for a reader who did not realize that it was expressing the perfectly lethal will of Henry VIII. Thus, the poem mimics the whispered, metaphorical advice given by an experienced courtier to a newcomer who first had caught sight of the most beautiful and free-thinking woman at court.
Sumber: http://faculty.goucher.edu/eng211/thomas_wyatt_and_henry_howard.htm
Terjemah:
Tuan Thomas Wyatt dan Henry Howard, pangeran Surrey
Aliran: Semua teknis “lirik syair” kecuali karangan Wyatt (Mine Own John Ponit) dan terjemahan Surrey darri Virgil’s Aeneid II. Masa itu datang dari puisi Yunani yang mendefinisikan bahwa puisi dibuat untuk menjadi lagu dengan memetik sebagian lirik atau nada (kecapi) kecil. Nada (kecapi) favorit di inggris adalah suara gitar, banyak syair yang disebut dengan “nyanyian kecapi”. Jika pada kenyataannya mereka mempunyai musik, walaupun mereka sudah kehilangan, kehadiran mereka tetap seperti gubahan (musik) asli. Lagu kecapi milik Wyatt hanya merupakan aliran paling biasa dalam ragam bagan rima dan ukuran, tetapi secara umum cenderung pendek, ukuran garis dengan ulangan. Sneta (dari prancis, little song), Wyatt dan Surrey keduanya mengadaptasi dari Petrach, mungkin lirik tidak berarti untuk membangun iringan (bunyi-bunyian) dan dipercaya berisi 40 garis nada atau berimakan (deretan pertentangan bunyi lemah dan keras). Untuk perjalanan perkemangan sonata, memasukkan bandingan antara sonata milik Petrarch di Italia, terjemahan Inggris modern dan adaptasi dalam Wyatt dan Surrey.
Tokoh: Tokoh dari pembicaraan lirik merupakan rasa keingintahuan. T.S, dalam The Three Voices Of Poetry, mendebatkan yang pertama atau terbentuknya suara lirik seperti puisi, dia atau kehidupannya, tetapi eksploitasi dalam tingkah laku berbicara untuk beberapa orang pendengar, untuk ide kiasan atau untuk beberapa bagian (benda) yang mati di dunia. Instansi Wyatt terlihat berbicara dalam nadanya (My Lute Awake) dan Surrey sama sekali terbiasa menggunakan alat-alat musik dengan membanggakan kesetiaan pada kehadiran “cinta” yang mereka sebut “duniaku”. Beberapa pembicaraan lirik mengungkapakan kegilaan, penolakan, kebencian, sama baiknya dengan penuh gairah cinta, tetapi semua instansi memposisikan pengarang harus pada pijakan (tempat awal) seperti beberapa kebutuhan salinan dari pembicaraan. Divisi boleh jadi jaringan tipis (lihat “ Who List His and Walth Mintain” hlm. 534) tetapi disini bukan kesaksian di bawah sumpah.
Ringkasan alur: Semua puisi menyatakan secara tidak langsung atau mengekspresikan keadaan dramatik, tetapi banyak menuntut penafsiran untuk membuat pemahaman mereka. Untuk instansi dalam “Whoso List Tohunt”, menggoreskan diatas “leher rusa betina” mengatakan di atas dapat jauh lebih kecil secara emosional mengesankan untuk pembaca siapa yang tidak menyadari yang telah mengemukakan dengan lancar mematikan Henry VIII. Dengan demikian, mimik puisi berbisik, nasehat menggunakan metafora memberikan pengalaman pegawai istana untuk pendatang baru siapa yang pertama mempunyai penglihatan lebih indah dan bebas berpikir wanita di pengadailan.
Pejelasan:
Sir Thomas Wyatt and Henry Howard, the earl of Surrey di atas menjelaskan mengenai awal terbentuknya lirik lagu. Mereka beranggapan lirik lagu terbentuk dari syair puisi. Lagu milik Wyatt hanya merupakan aliran paling biasa dalam ragam bagan rima dan ukuran, tetapi secara umum cenderung pendek, ukuran garis dengan ulangan. Sneta (dari prancis, little song), Wyatt dan Surrey keduanya mengadaptasi dari Petrach. Semua lirik puisi menyatakan secara tidak langsung atau mengekspresikan keadaan dramatik, tetapi banyak menuntut penafsiran untuk membuat pemahaman mereka. Mereka menggunakan lirik untuk mengutarakan perasaannya seperti: mengungkapakan kegilaan, penolakan, kebencian, penuh gairah cinta dan sebagainya.
Comparative Canadian Literature and Italian-Canadian Writing by Joseph J. Pivato
While at Athabasca University I have been able to publish three books and many articles in literary journals. In addition to brief descriptions about these books, I include here some of the latest information on publications in ethnic minority writing in Canada.
In 1985 I edited Contrasts: Comparative Essays on Italian-Canadian Writing. This was the first book of critical studies on the literature of Canadians of Italian background, and was republished in 1991. The topics explored in this book are: ethnic identity, writing in French and in Italian, the short story, ethnic poetry, exile and the role of the writer. In addition to the introduction I contributed two essays to this book which includes articles by novelists: Frank Paci, Dino Minni and Alexandre Amprimoz. Some Italian-Canadian writers who live in Quebec publish in French and three of them contributed essays in English translation: Antonio D’Alfonso, Fulvio Caccia and Filippo Salvatore. In addition to English and French some of these writers work in Italian. And you may be surprised to learn that there are more than 90 works of literature in Italian published in Canada.
Dr. Steven Totosy de Zepetnek initially established a CLC Web journal for Comparative Literature and Culture, which is now maintained by Purdue University. In addition to the web journal, Purdue University maintains an extensive on-line library including directories, cumulative bibliographies, research tools, submission guidelines, publication objectives, listserves and other information for use when studying, researching, and publishing Comparative Literature.
Sumber: http://www2.athabascau.ca/cll/english/faculty/jpivato/ethnic.php
Terjemah:
Perbandingan Sastra Canada dan Menulis Italian-Canada oleh Joseph J. Pivato
Ketika di Universitas Athabasca saya telah mampu membuat tiga buku dan banyak artikel dalam jurnal sastra. Dalam deskripsi singkat tentang buku ini. Beberapa informasi terakhir dalam menulis etnik kecil di Canada.
Tahun 1985 saya mengedit perbandingan: Perbandingan Menulis Esaay di Italia-Canada. Ini merupakan buku pertama dari mempelajari kritik sastra Canada dari latar belakang bangsa Italia dan telah dipublikasikan tahun 1991. Topik yang diangkat adalah: identitas etnik, menulis Prancis dan Italia, cerita pendek, puisi etnik pengasingan dan peranan menulis. Dalam tambahan untuk memperkenalkan menyumbangkan dua esay untuk buku ini yang mana mencakup artikel oleh novelis: Frank Paci, Dinno Minni, Alexander Amprimoz. Beberapa penulis Italia-Canada hidup dalam menerbitkan Quebec di Prancis dan tiga diantaranya menyumbangkan esay dalam terjemahan Inggris. Tambahan lagi untuk Inggris dan Prancis ada beberapa penulisbekerja di Italia. Dan kamu boleh terkejut untuk mempelajari lebih dari 90 pekerja sastra di Italia diterbitkan di Canada.
Dr. Steven Totosy de Zepetnek pada awalnya memantapkan Web jurnal CLC untuk Sastra Bandingan dan Budaya, yang mana sekarang diteruskan Universitas Purdue. Tambahan lagi untuk web jurnal, universitas Purdue meneruskan dengan luas perpustakaan online termasuk direktori, daftar buku yang semakin menumpuk, alat penelitian, pengarahan, penerbitan yang objektif, daftar pelayanan dan informasi lainnya untuk menggunakan pelajaran, penelitian, dan penerbitan sastra bandingan.
Penjelasan:
Perbandingan Sastra Canada dan Menulis Italian-Canada oleh Joseph J. Pivato di atas menjelasakan mengenai esay-esay dan buku-buku yang pernah dihasilkan oleh Joseph. Topik yang pernah diangkatnya seperti: identitas etnik, menulis Prancis dan Italia, cerita pendek, puisi etnik pengasingan dan peranan menulis, meninjau masalah terjemahan, tradisi lisan dari cerita rakyat dan musik, suara wanita, gambar dari keluarga, kebencian diri, menulis dalam Quebec dan Sastra Bandingan. Joseph juga memantapkan Web jurnal CLC untuk Sastra Bandingan dan Budaya yang sekarang diteruskan Universitas Purdue.
The Princeton Sourcebook in Comparative Literature:
From the European Enlightenment to the Global Present
Edited by David Damrosch, Natalie Melas & Mbongiseni Buthelezi
As comparative literature reshapes it self in today’s globalizing age, it is essential for students and teachers to look deeply into the discipline’s history and its present possibilities. The Princeton Sourcebook in Comparative Literature is a wide-ranging anthology of classic essays and important recent statements on the mission and methods of comparative literary studies. This pioneering collection brings together thirty-two pieces, from foundational statements by Herder, Madame de Staël, and Nietzsche to work by a range of the most influential comparatists writing today, including Lawrence Venuti, Gayatri Chakravorty Spivak, and Franco Moretti. Gathered here are manifestos and counterarguments, essays in definition, and debates on method by scholars and critics from the United States, Europe, Asia, Africa, and Latin America, giving a unique overview of comparative study in the words of some of its most important practitioners. With selections extending from the beginning of comparative study through the years of intensive theoretical inquiry and on to contemporary discussions of the world’s literatures, The Princeton Sourcebook in Comparative Literature helps readers navigate a rapidly evolving discipline in a dramatically changing world.
Sumber: http://press.princeton.edu/titles/9031.html
Terjemah:
The Princeton Sourcebook in Comparative Literature:
From the European Enlightenment to the Global Present
Edited by David Damrosch, Natalie Melas & Mbongiseni Buthelezi
Sastra Bandingan dibahas secara global hari ini, kebutuhan penting untuk siswa dan guru untuk melihat sangat ke dalam sejarah disiplin dan menghadirkan berbagai kemungkinan. The Princeton Sourcebook in Comparative Literature merupakan antologi luas dari esay klasik dan pernyataan penting yang mutakhir dengan misi dan metode dari pelajaran Sastra Bandingan. Pelopor ini membawa koleksi bersama 32 buah. Pendirian pernyataan oleh Herder, Madame de Staël, and Nietzsche untuk bekerja oleh jangkauaan yang sangat mempengaruhi perbandingan menulis hari ini, mencakup Lawrence Venuti, Gayatri Chakravorty Spivak, and Franco Moretti. Gathered disini adalah manifestor dan pusat pendapat, definisi esay, debat dan metode oleh cendikiawan dan kritik dati Unuted Stated, Eropa, Asia, afrika dan amerika Latin, memberi keunikan dalam mempelajari bandingan di dunia dari beberapa yang terpenting dari penelitian. Dengan memilih memperluas dengan memulai mempelajari perbandingan dengan cermat dari tahun ke tahun secara intensif menurut teori penyelidikan dan untuk yang sejaman dari dunia sastra, The Princeton Sourcebook in Comparative Literature membantu pembaca dengan cepat berkembang disiplin secara dramatis mengganti dunia.
Penjelasan:
Princeton Sourcebook in Comparative Literature merupakan antologi dari esay klasik dan pernyataan penting yang mutakhir dengan misi dan metode dari pelajaran Sastra Bandingan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa sastra bandingan memilik keunikan penelitian yang dilakukan di dunia. Dengan mempelajari sastra bandingan dengan cermat, maka akan membantu pembaca berkembang disiplin secara dramatis untuk perubahan dunia.
Nama: Eva Faurina Hayati
NIM: A1B107004 Reg A
Sir Thomas Wyatt and Henry Howard, the earl of Surrey
Genre: All of these are technically “lyric verse,” except Wyatt’s verse satire (“Mine Own John Poins”) and Surrey’s translation from Virgil’s Aeneid II. The term comes from Greek poetry where it defined poems made to be sung to the strumming of a lyre or small harp. The English favored the lute, a cousin of the guitar, so many of these poems might better be called “lute songs.” If they actually had music, it has been lost, however, so they exist only as shadows of their original composition. The lute song, Wyatt’s most common genre, may be in varying rhyme schemes and meters but generally tends toward short, trimeter or tetrameter lines with refrains. The sonnet (from French, “little song”), which both Wyatt and Surrey adapted from Petrarch, is a lyric probably not meant for instrumental accompaniment and reliably composed of fourteen lines of iambic pentameter. For a guide to the growth of `1the sonnet, including comparisons between Petrarch’s sonnets in Italian, a Modern English translation, and Wyatt’s and Surrey’s adaptation in Early Modern English.
Characters: The “character” of the lyric’s speaker is a curious thing. T.S. Eliot, in “The Three Voices of Poetry,” argued that the first or lyric voice was like that of the poet, him or herself, but overheard in the act of speaking to some other hearer, to an allegorized idea, or to some inanimate part of the world. Wyatt, for instance, appears to talk to his lute (“My Lute, Awake”) and Surrey utters a strikingly familiar warrior’s “boast” of loyalty in the presence of “Love,” whom he calls “my lord.” Sometimes the lyric’s speaker declares madness, rejection, hatred, as well as passionate love, but in all instances the author’s position must be treated as something necessarily separate from the speaker’s. The division may be tissue thin (see “Who list his ease and wealth maintain” p. 534) but these are not testimonies under oath.
Plot Summary: All the poems imply or express dramatic circumstances, but many require interpretation to make them intelligible. For instance, in “Whoso list tohunt,” the chilling inscription on the “hind”‘s collar mentioned above would be far less emotionally impressive for a reader who did not realize that it was expressing the perfectly lethal will of Henry VIII. Thus, the poem mimics the whispered, metaphorical advice given by an experienced courtier to a newcomer who first had caught sight of the most beautiful and free-thinking woman at court.
Sumber: http://faculty.goucher.edu/eng211/thomas_wyatt_and_henry_howard.htm
Terjemah:
Tuan Thomas Wyatt dan Henry Howard, pangeran Surrey
Aliran: Semua teknis “lirik syair” kecuali karangan Wyatt (Mine Own John Ponit) dan terjemahan Surrey darri Virgil’s Aeneid II. Masa itu datang dari puisi Yunani yang mendefinisikan bahwa puisi dibuat untuk menjadi lagu dengan memetik sebagian lirik atau nada (kecapi) kecil. Nada (kecapi) favorit di inggris adalah suara gitar, banyak syair yang disebut dengan “nyanyian kecapi”. Jika pada kenyataannya mereka mempunyai musik, walaupun mereka sudah kehilangan, kehadiran mereka tetap seperti gubahan (musik) asli. Lagu kecapi milik Wyatt hanya merupakan aliran paling biasa dalam ragam bagan rima dan ukuran, tetapi secara umum cenderung pendek, ukuran garis dengan ulangan. Sneta (dari prancis, little song), Wyatt dan Surrey keduanya mengadaptasi dari Petrach, mungkin lirik tidak berarti untuk membangun iringan (bunyi-bunyian) dan dipercaya berisi 40 garis nada atau berimakan (deretan pertentangan bunyi lemah dan keras). Untuk perjalanan perkemangan sonata, memasukkan bandingan antara sonata milik Petrarch di Italia, terjemahan Inggris modern dan adaptasi dalam Wyatt dan Surrey.
Tokoh: Tokoh dari pembicaraan lirik merupakan rasa keingintahuan. T.S, dalam The Three Voices Of Poetry, mendebatkan yang pertama atau terbentuknya suara lirik seperti puisi, dia atau kehidupannya, tetapi eksploitasi dalam tingkah laku berbicara untuk beberapa orang pendengar, untuk ide kiasan atau untuk beberapa bagian (benda) yang mati di dunia. Instansi Wyatt terlihat berbicara dalam nadanya (My Lute Awake) dan Surrey sama sekali terbiasa menggunakan alat-alat musik dengan membanggakan kesetiaan pada kehadiran “cinta” yang mereka sebut “duniaku”. Beberapa pembicaraan lirik mengungkapakan kegilaan, penolakan, kebencian, sama baiknya dengan penuh gairah cinta, tetapi semua instansi memposisikan pengarang harus pada pijakan (tempat awal) seperti beberapa kebutuhan salinan dari pembicaraan. Divisi boleh jadi jaringan tipis (lihat “ Who List His and Walth Mintain” hlm. 534) tetapi disini bukan kesaksian di bawah sumpah.
Ringkasan alur: Semua puisi menyatakan secara tidak langsung atau mengekspresikan keadaan dramatik, tetapi banyak menuntut penafsiran untuk membuat pemahaman mereka. Untuk instansi dalam “Whoso List Tohunt”, menggoreskan diatas “leher rusa betina” mengatakan di atas dapat jauh lebih kecil secara emosional mengesankan untuk pembaca siapa yang tidak menyadari yang telah mengemukakan dengan lancar mematikan Henry VIII. Dengan demikian, mimik puisi berbisik, nasehat menggunakan metafora memberikan pengalaman pegawai istana untuk pendatang baru siapa yang pertama mempunyai penglihatan lebih indah dan bebas berpikir wanita di pengadailan.
Pejelasan:
Sir Thomas Wyatt and Henry Howard, the earl of Surrey di atas menjelaskan mengenai awal terbentuknya lirik lagu. Mereka beranggapan lirik lagu terbentuk dari syair puisi. Lagu milik Wyatt hanya merupakan aliran paling biasa dalam ragam bagan rima dan ukuran, tetapi secara umum cenderung pendek, ukuran garis dengan ulangan. Sneta (dari prancis, little song), Wyatt dan Surrey keduanya mengadaptasi dari Petrach. Semua lirik puisi menyatakan secara tidak langsung atau mengekspresikan keadaan dramatik, tetapi banyak menuntut penafsiran untuk membuat pemahaman mereka. Mereka menggunakan lirik untuk mengutarakan perasaannya seperti: mengungkapakan kegilaan, penolakan, kebencian, penuh gairah cinta dan sebagainya.
Comparative Canadian Literature and Italian-Canadian Writing by Joseph J. Pivato
While at Athabasca University I have been able to publish three books and many articles in literary journals. In addition to brief descriptions about these books, I include here some of the latest information on publications in ethnic minority writing in Canada.
In 1985 I edited Contrasts: Comparative Essays on Italian-Canadian Writing. This was the first book of critical studies on the literature of Canadians of Italian background, and was republished in 1991. The topics explored in this book are: ethnic identity, writing in French and in Italian, the short story, ethnic poetry, exile and the role of the writer. In addition to the introduction I contributed two essays to this book which includes articles by novelists: Frank Paci, Dino Minni and Alexandre Amprimoz. Some Italian-Canadian writers who live in Quebec publish in French and three of them contributed essays in English translation: Antonio D’Alfonso, Fulvio Caccia and Filippo Salvatore. In addition to English and French some of these writers work in Italian. And you may be surprised to learn that there are more than 90 works of literature in Italian published in Canada.
Dr. Steven Totosy de Zepetnek initially established a CLC Web journal for Comparative Literature and Culture, which is now maintained by Purdue University. In addition to the web journal, Purdue University maintains an extensive on-line library including directories, cumulative bibliographies, research tools, submission guidelines, publication objectives, listserves and other information for use when studying, researching, and publishing Comparative Literature.
Sumber: http://www2.athabascau.ca/cll/english/faculty/jpivato/ethnic.php
Terjemah:
Perbandingan Sastra Canada dan Menulis Italian-Canada oleh Joseph J. Pivato
Ketika di Universitas Athabasca saya telah mampu membuat tiga buku dan banyak artikel dalam jurnal sastra. Dalam deskripsi singkat tentang buku ini. Beberapa informasi terakhir dalam menulis etnik kecil di Canada.
Tahun 1985 saya mengedit perbandingan: Perbandingan Menulis Esaay di Italia-Canada. Ini merupakan buku pertama dari mempelajari kritik sastra Canada dari latar belakang bangsa Italia dan telah dipublikasikan tahun 1991. Topik yang diangkat adalah: identitas etnik, menulis Prancis dan Italia, cerita pendek, puisi etnik pengasingan dan peranan menulis. Dalam tambahan untuk memperkenalkan menyumbangkan dua esay untuk buku ini yang mana mencakup artikel oleh novelis: Frank Paci, Dinno Minni, Alexander Amprimoz. Beberapa penulis Italia-Canada hidup dalam menerbitkan Quebec di Prancis dan tiga diantaranya menyumbangkan esay dalam terjemahan Inggris. Tambahan lagi untuk Inggris dan Prancis ada beberapa penulisbekerja di Italia. Dan kamu boleh terkejut untuk mempelajari lebih dari 90 pekerja sastra di Italia diterbitkan di Canada.
Dr. Steven Totosy de Zepetnek pada awalnya memantapkan Web jurnal CLC untuk Sastra Bandingan dan Budaya, yang mana sekarang diteruskan Universitas Purdue. Tambahan lagi untuk web jurnal, universitas Purdue meneruskan dengan luas perpustakaan online termasuk direktori, daftar buku yang semakin menumpuk, alat penelitian, pengarahan, penerbitan yang objektif, daftar pelayanan dan informasi lainnya untuk menggunakan pelajaran, penelitian, dan penerbitan sastra bandingan.
Penjelasan:
Perbandingan Sastra Canada dan Menulis Italian-Canada oleh Joseph J. Pivato di atas menjelasakan mengenai esay-esay dan buku-buku yang pernah dihasilkan oleh Joseph. Topik yang pernah diangkatnya seperti: identitas etnik, menulis Prancis dan Italia, cerita pendek, puisi etnik pengasingan dan peranan menulis, meninjau masalah terjemahan, tradisi lisan dari cerita rakyat dan musik, suara wanita, gambar dari keluarga, kebencian diri, menulis dalam Quebec dan Sastra Bandingan. Joseph juga memantapkan Web jurnal CLC untuk Sastra Bandingan dan Budaya yang sekarang diteruskan Universitas Purdue.
The Princeton Sourcebook in Comparative Literature:
From the European Enlightenment to the Global Present
Edited by David Damrosch, Natalie Melas & Mbongiseni Buthelezi
As comparative literature reshapes it self in today’s globalizing age, it is essential for students and teachers to look deeply into the discipline’s history and its present possibilities. The Princeton Sourcebook in Comparative Literature is a wide-ranging anthology of classic essays and important recent statements on the mission and methods of comparative literary studies. This pioneering collection brings together thirty-two pieces, from foundational statements by Herder, Madame de Staël, and Nietzsche to work by a range of the most influential comparatists writing today, including Lawrence Venuti, Gayatri Chakravorty Spivak, and Franco Moretti. Gathered here are manifestos and counterarguments, essays in definition, and debates on method by scholars and critics from the United States, Europe, Asia, Africa, and Latin America, giving a unique overview of comparative study in the words of some of its most important practitioners. With selections extending from the beginning of comparative study through the years of intensive theoretical inquiry and on to contemporary discussions of the world’s literatures, The Princeton Sourcebook in Comparative Literature helps readers navigate a rapidly evolving discipline in a dramatically changing world.
Sumber: http://press.princeton.edu/titles/9031.html
Terjemah:
The Princeton Sourcebook in Comparative Literature:
From the European Enlightenment to the Global Present
Edited by David Damrosch, Natalie Melas & Mbongiseni Buthelezi
Sastra Bandingan dibahas secara global hari ini, kebutuhan penting untuk siswa dan guru untuk melihat sangat ke dalam sejarah disiplin dan menghadirkan berbagai kemungkinan. The Princeton Sourcebook in Comparative Literature merupakan antologi luas dari esay klasik dan pernyataan penting yang mutakhir dengan misi dan metode dari pelajaran Sastra Bandingan. Pelopor ini membawa koleksi bersama 32 buah. Pendirian pernyataan oleh Herder, Madame de Staël, and Nietzsche untuk bekerja oleh jangkauaan yang sangat mempengaruhi perbandingan menulis hari ini, mencakup Lawrence Venuti, Gayatri Chakravorty Spivak, and Franco Moretti. Gathered disini adalah manifestor dan pusat pendapat, definisi esay, debat dan metode oleh cendikiawan dan kritik dati Unuted Stated, Eropa, Asia, afrika dan amerika Latin, memberi keunikan dalam mempelajari bandingan di dunia dari beberapa yang terpenting dari penelitian. Dengan memilih memperluas dengan memulai mempelajari perbandingan dengan cermat dari tahun ke tahun secara intensif menurut teori penyelidikan dan untuk yang sejaman dari dunia sastra, The Princeton Sourcebook in Comparative Literature membantu pembaca dengan cepat berkembang disiplin secara dramatis mengganti dunia.
Penjelasan:
Princeton Sourcebook in Comparative Literature merupakan antologi dari esay klasik dan pernyataan penting yang mutakhir dengan misi dan metode dari pelajaran Sastra Bandingan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa sastra bandingan memilik keunikan penelitian yang dilakukan di dunia. Dengan mempelajari sastra bandingan dengan cermat, maka akan membantu pembaca berkembang disiplin secara dramatis untuk perubahan dunia.
Nama: Juhrani
NIM (A1B107047)
1.) Comparative Literature
The Department of Comparative Literature at Yale is proud of a long tradition of excellence. We have long been a leading graduate program for the study of literature across the boundaries of national literatures and of other disciplines: law, history, the visual arts, and film. The Literature Major extends the department’s interdisciplinary study to Yale College students. The department encourages students to develop their skills of textual analysis while it challenges them to reflect theoretically on the acts of writing and reading, on the connections between literature and other realms of human experience. The guidelines of our programs allow students great flexibility in shaping their course of study and to pursue their individual intellectual interests.
Comparative Literature enjoys the cooperation of other stellar literature-teaching departments at Yale, and, in addition to our strong faculty, our students can work with professors in English, French, Spanish, Germanic Languages and Literatures, Italian, Slavic Languages and Literatures, Classics, East Asian Languages and Literature, Near Eastern Languages and Civilizations, African American Studies, Film Studies, and with Renaissance Studies. Yale’s superb libraries offer inexhaustible resources for research.
The Department of Comparative Literature and Yale as a larger whole provide a welcoming environment and social community for graduate study. Graduate students in the department organize the annual Baldwin-Dahl lecture which brings noted critics and thinkers to campus. Students and faculty share their work-in-progress in the ongoing Open Forum series. Our Ph.Ds have enjoyed excellent success in finding academic positions. Since 2005, our graduates have found tenure-track positions in Comparative Literature, English, French, German, Romance Languages, Russian, Classics, Film Studies, Humanities, and other fields at New York University, Penn State, University of Oregon, Claremont College, Notre Dame University, University of Rochester, University of Mary Washington, SUNY-Purchase College, University of Arizona, Texas A & M University, Dartmouth College, University of Chicago, and Bilkent University.
http://www.yale.edu/complit/index.html
Terjemahan:
Departemen Sastra Perbandingan di Yale memiliki tradisi panjang yang diunggulkan. Departemen Sastra Perbandingan di Yale telah lama menjadi program pascasarjana terkemuka untuk kajian sastra bandingan. Departemen ini mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan mereka menganalisis teks selain itu menantang mereka untuk merefleksikan secara teoritis tentang tindakan menulis dan membaca, hubungan antara sastra dan pengalaman yang dialami manusia. Pedoman program kami memungkinkan siswa lebih fleksibilitas dalam membentuk program studi mereka dan untuk membantu mencapai cita-cita mereka. Perbandingan Sastra senang bekerjasama dengan departemen lain untuk mengajar sastra bandingan di Yale, di samping fakultas kami diunggulkan, siswa dapat bekerja sama dengan profesor dalam pelajaran bahasa dan sastra Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, Italia, Slavia, Asia Timur, Dekat Bahasa dan Peradaban Timur, Studi Afrika Amerika, Studi Film, dan Studi Renaisans. Perpustakaan Yale yang luar biasa menawarkan sumber daya untuk penelitian.
Departemen Sastra Perbandingan di Yale secara keseluruhan menyediakan lingkungan yang ramah dan komunitas sosial untuk studi pascasarjana. Mahasiswa Pascasarjana di departemen mengorganisir kuliah Baldwin-Dahl tahunan yang berisi kritikkan dan pemikiran untuk kampus. Mahasiswa dan fakultas berbagi pekerjaan untuk kemajuan kampus. Kami telah menikmati kesuksesan yang sangat baik dalam menemukan posisi akademik. Sejak tahun 2005, lulusan kami telah menemukan jalur posisi jabatan di Perbandingan Sastra, Inggris, Perancis, Jerman, Bahasa Roma, Rusia, Klasik, Film Studies, Humaniora, dan bidang lainnya di New York University, Penn State, University of Oregon, Claremont College, Universitas Notre Dame, University of Rochester, University of Washington Maria,-Pembelian SUNY College, University of Arizona, Texas A & M University, Dartmouth College, University of Chicago, dan Universitas Bilkent.
2.) Comparative Literature
Comparative literature is the study of literature and other cultural expressions across linguistic and cultural boundaries. At Brown, the Department of Comparative Literature is distinct in its conviction that literary research and instruction must be international in character, and its undergraduate and graduate programs are considered among the finest in the country. Undergraduate students study a generous range of literary works – from Western cultures, both ancient and modern, to Chinese, Japanese, and Arabic – to develop a focused critical understanding of how cultures differ from one another.
The graduate program is a vigorous and comprehensive study of literature and culture, utilizing a range of materials from several literatures to foster an understanding of individual authors, influences, literary movements, forms, and genres in a comparative critical context. The program is flexible enough to accommodate a wide range of individual emphases in literature and culture, periods, genres, history, criticism, and theory.
http://www.brown.edu/Departments/Comparative_Literature/
Terjamahan:
Perbandingan sastra adalah studi sastra dan ekspresi budaya lain di seluruh batas-batas linguistik dan budaya. Pada Brown, Departemen Perbandingan Sastra berbeda dalam keyakinannya, bahwa penelitian sastra dan instruksi harus internasional dalam karakter, dan sarjana dan program pascasarjana dianggap salah satu yang terbaik di negara ini. Siswa mempelajari berbagai karya sastra murah – dari budaya Barat, baik kuno dan modern, untuk Cina, Jepang, dan Arab – untuk mengembangkan pemahaman kritis terfokus bagaimana budaya berbeda satu sama lain.
Program pascasarjana merupakan studi kuat dan komprehensif sastra dan budaya, memanfaatkan berbagai bahan dari beberapa literatur untuk mengembangkan pemahaman tentang penulis individu, pengaruh, gerakan sastra, bentuk, dan genre dalam konteks komparatif kritis. Program ini cukup fleksibel untuk mengakomodasi berbagai penekanan individu dalam sastra dan budaya, periode, genre, sejarah, kritik, dan teori.
3.) American Comparative Literature Association
The American Comparative Literature Association (ACLA) was founded in 1960 and is dedicated to facilitating scholarship within the fields of comparative literature and culture, including work which aims to reflect on the very practice of cross-cultural literary study. The Association’s well-organised website is divided into sections on: the Annual Meeting; Resources; Prizes; information for Graduate Students; and Membership Details. The Annual Meeting aims to bring together an international community of comparative literature scholars to discuss such topics as: Global Ethnic Networks; translation issues; and Caribbean literature. Calls for papers and other information on the Annual Meetings are provided on the site. The Association also awards annual prizes for work already published in comparative literature and for the work of graduate students; information on how to apply for these prizes and/or how to nominate the work of others is posted on the site.
The Resources section includes a useful gateway to free online journals such as Limen, the journal for the theory and practice of liminal phenomena, while the section for Graduate Students provides access to an electronic discussion forum for students of comparative literature as well as information on how to apply for the Association’s travel funds. This is a useful and well-maintained resource for students and faculty with an interest in comparative literature.
http://www.intute.ac.uk/cgi-bin/fullrecord.pl?handle=humbul10451
Terjemahan:
Sastra Perbandingan di Amerika didirikan pada tahun 1960 dan didedikasikan untuk memfasilitasi beasiswa dalam bidang sastra komparatif dan budaya, termasuk pekerjaan yang bertujuan untuk merefleksikan praktek sangat studi sastra lintas budaya. Website Asosiasi terorganisir dengan baik dibagi menjadi beberapa bagian pada: Rapat Tahunan; Sumber; Hadiah; informasi untuk Mahasiswa Pascasarjana; dan Rincian Keanggotaan. Pertemuan Tahunan ini bertujuan untuk membawa bersama-sama sebuah komunitas internasional sarjana sastra komparatif untuk membahas topik-topik seperti: Global Etnik Networks; masalah terjemahan dan literatur Karibia. Panggilan untuk kertas dan informasi lainnya pada Rapat Tahunan disediakan di situs. Asosiasi juga penghargaan hadiah tahunan untuk pekerjaan yang telah diterbitkan dalam sastra komparatif dan bagi pekerjaan mahasiswa pascasarjana; informasi tentang bagaimana mengaplikasikan untuk hadiah ini dan / atau bagaimana untuk mencalonkan pekerjaan orang lain yang diposting di situs.
Bagian Sumber Daya termasuk gateway berguna untuk jurnal online gratis seperti Limen, jurnal untuk teori dan praktek fenomena liminal, sedangkan bagian untuk Mahasiswa Pascasarjana menyediakan akses ke sebuah forum diskusi elektronik bagi siswa sastra komparatif serta informasi tentang bagaimana mengajukan permohonan untuk dana perjalanan Asosiasi. Ini adalah sumber daya yang berguna dan terawat dengan baik bagi mahasiswa dan fakultas yang memiliki kepentingan dalam sastra komparatif.
Expression as Becoming: A Poetics of the Virtual in the works of Christian Prigent, Dominique Fourcade, Olivier Cadiot, and Hubert Lucot
In my dissertation I show how the poems and prose of Christian Prigent, Dominique Fourcade, Olivier Cadiot, and Hubert Lucot form an important, radicalised moment of French literary modernity. This is the first study of these authors in English. I look at how their poetry and prose determine subjectivity and identity as contingent and transient process rather than as substance or nature. This contention requires a reflection on the question of time and on how it has informed French modernity since Baudelaire gave substance to this notion.
To that end, I assess the key concepts of Gilles Deleuze’s ontological constructivism (multiplicity, becoming, line, arrangement, rhizome, de- and re-territorialisation) and I show how Deleuze’s theory of expression locates literature in a semiotics (a theory of signs in general) rather than in a semiology (a theory of linguistic signs in particular). In addition, I establish how Deleuzian semiotics is structured around the play of the virtual and the becoming. Whilst the virtual is the infinite of meaning, the becoming – or actualisation – is the specific yet precarious forms that meaning takes. The virtual hence presupposes a non-chronological temporality that Deleuze, after Nietzsche, calls Aiôn or the Aiônic, and in which the infinite of meaning insists or persists in actual forms.
From this theoretical standpoint, I single out the crucial notions of percepts and affects which differ respectively from those of perception and affection in that they are impersonal, that is to say autonomised from the human, biographic, substratum in which they first appear. They are pure sensations exceeding any lived experience and memory. Affects relate to the non-human becomings of man when percepts are made of the non-human landscapes of nature, making those who experience them sensitive to the forces of becoming.
By a complex labour on language transforming signifiers into affects and percepts, creative literature is then defined as that which frees (or de-territorialises) meaning from preset signifieds and thus reveals the power of the virtual which usually remains over-shadowed in conventional uses of language. I argue that such a complex labour on language is nothing else than literary style, which I define as the ability to grasp Life amongst the living – i.e., percepts – and to produce unknown, impersonal becomings – i.e., affects – rather than to narrate one’s personal feelings or deeds. Far from being a specific essence, literature is just the most intense use of language (materialistic rather than spiritualist definition of literature). Identifying affects and percepts in the specific formal features of literary texts and studying their forces thus constitutes the core of the Deleuzian criticism of literature that I put forward and that I call a poetics of the virtual.
I then look at the writings of my four authors. The poetic writings of Christian Prigent and Dominique Fourcade present a productivist subjectivity by addressing the body, contingency, and language inrelation to the theme of desire.
Olivier Cadiot’s and Hubert Lucot’s narratives tell the evolution of a subjectivity that, instead of being fixed and rigid, always remains in process. These critical objectives are achieved by close readings isolating the features of style, semantics, and syntax that destructure subjectivity and identity into a non-personal writing.
Studying these different writings together has allowed me to explore the general pertinence of the poetics of the virtual as critical paradigm and it has substantiated my overall argument by confronting it to a diversity of styles – the constructivist and non-chronological aspect of the real, of subjectivity, of meaning itself can only be apprehended in the interior movement of a text. In a genealogical approach, I argue that these four writers re-contextualise the key questions of modernity – the present as mix of pure past and contingent new – by exposing the constructibility of being and history via affects and percepts arranged in semantic andsyntactic inventions.
In conclusion, contemporary French literature presents subjectivity and identity as a pure productivism and such a determination takes part in a new political radicalism. The originality of my thesis lies in its ability to relate contemporary – and previously unstudied – texts to a major philosophy of modernity, so as to show how part of contemporary literature is an original radicalisation of the key-elements of literary modernity whose political implications are far-reaching.
Terjemahan
Ungkapan kelayakan: Puisi Virtual dalam karya Christian Prigent, Dominique Fourcade, Olivier Cadiot, and Hubert Lucot
Dalam disertasi saya, saya menunjukkan bagaimana puisi dan prosa Christian Prigent, Dominique Fourcade, Olivier Cadiot, dan Hubert Lucot merupakan sesuatu yang penting, radikal modernitas sastra Perancis. Ini adalah studi pertama dari penulis ini dalam bahasa Inggris. Aku melihat bagaimana puisi mereka dan prosa menentukan subjektivitas dan identitas sebagai proses kontinjensi dan sementara daripada sebagai zat atau alam. Pendapat ini membutuhkan refleksi mengenai masalah waktu dan bagaimana ia telah menginformasikan modernitas Prancis sejak Baudelaire memberi substansi pada gagasan ini.
Untuk itu, saya menilai konsep-konsep kunci dari konstruktivisme ontologis Gilles Deleuze’s (keragaman, layak, baris, pengaturan, rimpang, de-dan re-territorialisation) dan saya menunjukkan bagaimana teori ekspresi Deleuze dalam menempatkan sastra di suatu semiotika (teori tanda secara umum), bukan dalam semiologi (teori tanda linguistik pada khususnya). Selain itu, saya menetapkan bagaimana Deleuzian semiotika disusun berdasarkan permainan virtual dan kelayakan. Sementara virtual adalah tak terbatas makna, kelayakan – atau aktualisasi – adalah bentuk-bentuk khusus belum genting yang artinya membutuhkan. Virtual mengandaikan suatu temporalitas non-kronologis yang Deleuze, setelah Nietzsche, panggilan Aiôn atau Aiônic, dan di mana tak terbatas makna tegas atau berkelanjutan dalam bentuk yang sebenarnya.
Dari sudut pandang teoretis, saya memilih konsep-konsep penting dari persepsi dan pengaruh masing-masing yang berbeda dari persepsi dan kasih sayang bahwa mereka impersonal, artinya autonomised dari manusia, biografi, substratum di mana mereka pertama kali muncul. Mereka murni melebihi sensasi pengalaman hidup dan memori. Pengaruh berhubungan dengan non-manusia menjadi manusia ketika persepsi terbuat dari pemandangan yang non-manusia alam, membuat orang-orang yang yang mengalaminya sensitif terhadap kekuatan yang datang.
Dengan tenaga kerja yang kompleks pada bahasa penanda berubah menjadi mempengaruhi dan persepsi, sastra kreatif kemudian didefinisikan sebagai yang membebaskan (atau de-territorialises) makna dari signifieds preset dan dengan demikian mengungkapkan kekuatan virtual yang biasanya tetap selama-gelap dalam menggunakan konvensional bahasa. Saya berpendapat bahwa seperti tenaga kerja yang kompleks pada bahasa tidak lain dari gaya sastra, yang saya definisikan sebagai kemampuan untuk memahami Hidup di antara hidup – yaitu, persepsi – dan untuk menghasilkan diketahui, becomings impersonal – yakni, mempengaruhi – bukan untuk menceritakan seseorang perasaan pribadi atau perbuatan. Jauh dari menjadi esensi tertentu, sastra adalah penggunaan bahasa yang paling intens (definisi materialistis spiritualis daripada sastra). Mengidentifikasi mempengaruhi dan persepsi dalam fitur formal khusus teks sastra dan mempelajari kekuatan mereka sehingga merupakan inti dari Deleuzian kritik sastra yang
saya diajukan dan yang saya sebut puisi virtual.
Saya kemudian melihat tulisan-tulisan keempat penulis. Tulisan-tulisan puitis Christian Prigent dan Dominique Fourcade menyajikan subjektivitas productivist dengan mengatasi tubuh, kontingensi, dan inrelation bahasa dengan tema keinginan.
Olivier Cadiot dan narasi Hubert Lucot memberitahukan evolusi dari subjektivitas itu, bukannya tetap dan kaku, selalu masih dalam proses. Tujuan-tujuan penting yang dicapai oleh pembacaan dekat mengisolasi fitur gaya, semantik, dan sintaks yang destructure subjektivitas dan identitas ke dalam tulisan non-pribadi.
Mempelajari tulisan-tulisan yang berbeda bersama telah memungkinkan saya untuk menjelajahi kejituan umum puisi paradigma virtual kritis dan memiliki argumen saya secara keseluruhan didukung oleh menghadapinya dengan keragaman gaya – yang konstruktivis dan aspek non-kronologis yang nyata, dari subjektivitas, makna itu sendiri hanya dapat ditangkap dalam gerakan interior teks. Dalam pendekatan silsilah, saya berpendapat bahwa keempat penulis contextualise kembali pertanyaan-pertanyaan kunci dari modernitas – sekarang sebagai campuran murni baru dan kontinjensi – oleh mengekspos kelayakan constructibility dan sejarah melalui pengaruh dan persepsiyang diatur dalam penemuan andsyntactic semantik.
Sebagai kesimpulan, sastra Prancis kontemporer menyajikan subjektivitas dan identitas sebagai productivism murni dan tekad seperti mengambil bagian dalam sebuah radikalisme politik baru. Keaslian tesis saya terletak pada kemampuannya untuk menghubungkan kontemporer – dan sebelumnya tidak dipelajari – teks ke filosofi utama dari modernitas, sehingga untuk menunjukkan bagaimana bagian dari sastra kontemporer adalah radikalisasi asli-elemen kunci dari modernitas politik sastra yang implikasinya jauh jangkauannya.
Kesimpulan
Sastra Prancis kontemporer menyajikan subjektivitas dan identitas sebagai productivism murni dan tekad seperti mengambil bagian dalam sebuah radikalisme politik baru. Pada abstrak tesis ini dijelaskan bahwa yangh dilakukan penulis adalah menghubungkan kontemporer – dan sebelumnya tidak dipelajari – teks ke filosofi utama dari modernitas, sehingga untuk menunjukkan bagaimana bagian dari sastra kontemporer adalah radikalisasi asli-elemen kunci dari modernitas politik sastra yang implikasinya jauh jangkauannya.
Penulis, dalam hal ini pembuat tesis, berusaha membandingkan tulisan-tulisan puitis Christian Prigent dan Dominique Fourcade yang menyajikan subjektivitas productivist dengan mengatasi tubuh, kontingensi, dan inrelation bahasa dengan tema keinginan dengan tulisan-tulisan puitis Olivier Cadiot dan narasi Hubert Lucot yang memberitahukan evolusi dari subjektivitas itu, bukannya tetap dan kaku, selalu masih dalam proses. Pisau bedah yang digunakannya dalam memebandingkan tulisan-tulisan/ puisi keempat tokoh tersebut adalah kosep pengaruh dan teori ekspresi Deleuze.
http://www.ucl.ac.uk/mellon-program/fellows/jerome/abstract.shtml
Jurnal
Bryn Mawr Review of Comparative Literature
Volume 7, Number 1 (Fall 2008)
TABLE OF CONTENTS
This issue opens with Carlo Salzani’s review essay on Samuel Weber’s book on Walter Benjamin. Salzani finds Benjamin’s -abilities “brilliantly textual” in the close attention it pays both to Benjamin’s language (the German text and “the problems and inconsistencies of the English translation”) and to his theory of language. As Salzani notes, Weber analyzes Benjamin’s marked “tendency to form concepts by recourse to the suffix barkeit” (4) [which in English can be written either -ibility or -ability] “as the sign of a deeper connection between the linguistic constructions and Benjamin’s mode of philosophizing.”
A term like iterability becomes crucial in delineating Benjamin’s resistance to hierarchical oppositions, most notably to subordinating possibility to actuality. For Weber, Benjamin’s nominalizations offer a concept of the virtual, “inseparable from time insofar as it involves an ongoing, ever-unfinished, and unpredictable process” (7). While in Benjamin’s own estimation, texts had to be understood not only in the context of their own time but also in their transformation and continual reworking in the constellation with our present, Weber’s re-reading of Benjamin’s writing as a permanence or reiteration of virtuality is problematic, Salzani contends. That is, it appears to stress the impossibility to translate, to interpret, and read at the expense of Benjamin’s own outline of a methodology for reading his work and of his emphasis on actuality and actualization. In Salzani’s view, Benjamin’s method is not static in its effort to reach for coherence. Rather, it “almost prescribes a reading that will be polarized by,” and “put into a constellation with our present.” Further, “[a]s a cultural artefact, it asks to be violated and read against the grain of its time and our own and thus re-inscribed in new practices, re-assembled and re-made always anew.”
A second review essay in this issue also focuses on how translation and theories of language and textuality matter for an understanding of history and the historical work’s transformation and continued life in the constellation with our present. As Jon Solomon’s review suggests, The Clash of Empires is noteworthy not only for its reading of British-Chinese international relations, but for its presentation of the ways in which semiotic theory deepens our understanding of colonialism, post-colonialism, international law, feminism, comparative grammar and (in a coda) the imperial throne, in place or looted, as fetish. The key to Liu’s approach to British-Chinese relations lies largely in Peirce’s semiotic theory. Liu’s historically grounded argument links semiotics to “the novel military technology of telegraphic communication in the second half of the nineteenth century.” Liu’s reading of empire provides “theoretical and historical grids . . . [for] the issues of intersubjectivity [and foreignness], indexicality, and violence in the light of work” by Peirce, Foucault, Bataille, and other theorists.
For Liu as well, the dramatized “first encounter” of Defoe’s Robinson Crusoe with Friday, in which deixis and indexicality — Crusoe’s pointing finger extends to his gun — represent a “familiar ritual of subjugation and fetishism in the European imagining of first encounter.” This episode helps advance Liu’s argument to the “clash” symbolized in “the translation of the written Chinese character “yi” at the time of the Opium War.” Did “yi” mean “foreigner”? “barbarian”? “stranger”? “non-Chinese”? The British believed that the Chinese character pronounced “yi” meant “barbarian” — despite the Greek etymology of the latter term — that it was directed at them, and therefore ensured that it was banned in two separate articles of the Treaty of Tianjin of 1858. As Liu writes, “A good deal is at stake when it comes to identifying the ‘true barbarian’ for civilization. The stakes rise higher with the scandal of the word “yi” because its enunciation issues forth from the language of a non-European society which is regarded as less than civilized by the British. In other words, the Chinese character “yi” appears to have thrown the barbarian back onto civilization itself and turned into its double and mirror image.”
In this imperial encounter, we see the creation of a tripartite super-sign, the parts separated by slashes: 夷/”yi”/barbarian. Liu regards this as a “linguistic monstrosity,” a “hetero-cultural signifying chain, a fantastic hybrid of translated concepts.” From the realm of positive signs,” we have been transported — or translated — “into the realm of enchanted meanings, excesses of signification,” and more.
Reviews of three texts in this issue mark the persistent interest in the liminal quality of experience and artifacts, situated at the border between human and nonhuman. As Dorian Stuber writes in his review of Daniel Heller-Roazen’s Echolalias: On the Forgetting of Language and The Inner Touch: Archaeology of a Sensation, “[t]ogether they explore the relation of rationality to its excess, where rationality is defined as the conjunction of language and consciousness, and … excess is …whatever troubles, undoes, and yet grounds that rationality.” In Echolalias “excess inheres at the pre-verbal borders of language; in The Inner Touch excess inheres in … the sense common to all beings that allows them to feel themselves as sensing and thus as living.”
Daniel Nisa Cáceres situates Elaine Freedgood’s The Ideas in Things within the now expansive field of object studies or thing theory, an interdisciplinary body of work that continues to test the rigid border between people and things that has guided much of Western culture. Invoking Bill Brown’s A Sense of Things: The Object Matter of American Literature (2003) (and Gustavus Stadler’s review of that text in Volume 5, Number 1 [Spring 2005] of BMRCL), Cáceres illuminates how Freedgood “retrieves the cultural, historical, social and material qualities” of “seemingly unimportant objects of consumption.” For Cáceres, Freedgood performs a “strong metonymic” reading of manufactured goods (evoked in Jane Eyre, Mary Barton and Great Expectations) “by taking a literary thing literally and relying on ‘mediations'” — “those of historians of textiles and tobacco, of forestry and furniture” (5) — that can illuminate [a thing’s] past.” As such, her study eschews “the routinized literary figuration that precludes the interpretation of most things of realism” (5), and underscores how things are not “indentured to a metaphorical relation in which they must give up most of their qualities in the service of a symbolic relation” (10).
Martin Seel’s Aesthetics of Appearing offers a meditation on the liminal encounters that inform our experience of objects, surroundings, people, and atmospheres. Even if, as Mario Wenning notes, Seel’s work departs from studies that are wary of searches for the “essence of art and aesthetic experience,” aesthetic appearing nonetheless underscores provisional borders and relations: “[it] enables us with the awareness of the ephemeral nature of reality and our place in this reality.” An awareness of reality and our place in it raises profound ethical and political questions. Although, for Wenning, Seel does not explore these as directly and fully as he might, such questions emerge persistently, especially when Seel argues that the meaning of the violence that occurs, for instance, between a perpetrator and victim “cannot be understood independently of the additional position of … spectators” (188) (since such acts “are often committed with the perspective of a present or absent spectator in mind”).
As Megan Craig notes, “[a]lthough the title” of R. Clifton Spargo’s Vigilant Memory: Emmanuel Levinas, the Holocaust, and the Unjust Death “suggests it is a study of Levinas in light of the Holocaust, it is also a multifaceted defense and critique of Levinas, a response to Alain Badiou’s criticism of Levinas’s ethics as apolitical, a warning against the “fallacies of Western democratic culture…” (120). Vigilant Memory squarely aims “to test the viability and the limits of Levinasian ethics in the twenty-first century and to ask “in what sense an ethics would be said to have force in a political world” (18).
Two texts reviewed in this issue demonstrate the importance of understanding genre or specific genres in broad terms. For Gregory Byala, Martin Puchner’s Poetry of the Revolution: Marx, Manifestoes and the Avant-Garde presents a highly original examination of the formidable influence that The Communist Manifesto exerted on the shape of modern art. As Puchner describes it, Marx and Engels developed the form “that would help revolutionary modernity to know itself, to arrive at itself, to make and to manifest itself” (1). Focusing on the translation and distribution of The Communist Manifesto, its more explicit “modulation from political into artistic form,” and the manifesto’s “notions of futurity, theatricality, and performativity … Poetry of the Revolution reveal[s] how the manifesto moved from a socialist document, to an artistic genre, to a form of art.”
As Byala points out, analyzing a seminal political work in terms of a category — genre — that it was perhaps thought to transcend allows Puchner to chart the expansive artistic influence of The Manifesto. Rita Felski’s collection of essays, Rethinking Tragedy, likewise exhibits an understanding of genre that eschews “rigid taxonomies.” As Verna Foster notes, while Felski’s collection “retains a sense of the aesthetic form that contains and shapes the tragic as experience,” the more inclusive concept of “mode” allows the essays to address the tragic as both a philosophical idea and a component of many contemporary art forms and fields. As such, the collection moves beyond the conventional constraints of many studies to consider the persistence of the tragic in contemporary expression and in forms and fields other than drama — namely, film, popular culture, philosophy, and politics.
In this issue, we append a list of Books Received in 2008. We would be glad to hear from readers interested in reviewing any of them.
Terjemahan
Bryn Mawr
Resensi Sastra Bandingan
Volume 7, Nomor 1 (Fall 2008)
Indeks
Masalah ini dibuka dengan resensi esai Carlo Salzani di buku Samuel Weber pada Walter Benjamin. Salzani-Benjamin menemukan kemampuan “brilian tekstual” dalam ketelitian perhatiannya mengamati kedua-duanya bahasa Benjamin (teks Jerman dan “masalah dan inkonsistensi dari terjemahan bahasa Inggris”) dan teori bahasa. Sebagai catatan Salzani, Weber meneliti penanda Benjamin yakni “kecenderungan untuk membentuk konsep dengan jalan lain untuk barkeit akhiran” (4) [yang dalam bahasa Inggris dapat ditulis baik-ibility atau kemampuan] “sebagai tanda hubungan yang lebih dalam antara konstruksi linguistik dan cara berfilsafat Benjamin. ”
Sebuah istilah seperti iterability menjadi penting dalam melukiskan perlawanan Benjamin untuk oposisi hierarkis, terutama untuk mensubordinasi kemungkinan aktualitas. Bagi Weber, nominalizations Benjamin menawarkan konsep virtual, “tak terpisahkan dari waktu sejauh yang melibatkan, berkelanjutan terus yang belum selesai, dan proses tidak terduga” (7). Sementara di estimasi sendiri Benjamin, teks harus dipahami tidak hanya dalam konteks waktu mereka sendiri tetapi juga dalam perubahan mereka dan mengerjakan ulang terus menerus dalam konstelasi dengan kami saat ini, kembali Weber-membaca tulisan Benjamin sebagai keabadian atau pengulangan virtuality adalah bermasalah, Salzani berpendapat. Itulah, tampaknya menekankan ketidakmungkinan untuk menerjemahkan, menafsirkan, dan membaca dengan mengorbankan garis Benjamin sendiri metodologi untuk membaca karyanya dan penekanannya pada aktualitas dan aktualisasi. Dalam pandangan Salzani’s, metode Benjamin tidak statis dalam upaya untuk meraih koherensi. Sebaliknya, itu “hampir menganjurkan membaca yang akan terpolarisasi oleh,” dan “dimasukkan ke dalam konstelasi dengan kita sekarang.” Lebih jauh, “[sebuah artefak sa] budaya, ia meminta untuk dilanggar dan membaca terhadap butir waktu dan kita sendiri dan dengan demikian kembali tertulis dalam praktek baru, kembali berkumpul dan kembali dibuat selalu baru.”
Sebuah resensi esai kedua dalam edisi ini juga berfokus pada bagaimana terjemahan dan teori bahasa dan materi tekstualitas untuk memahami sejarah dan transformasi karya sejarah dan hidup terus di rasi dengan kita sekarang. Sebagai review Jon Salomo menunjukkan, The Clash of Empires dicatat tidak hanya untuk membaca dengan hubungan internasional Inggris-Cina, namun untuk presentasi dengan cara di mana teori semiotik memperdalam pemahaman kita tentang kolonialisme, pasca-kolonialisme, hukum internasional, feminisme, perbandingan tata bahasa dan (dalam koda a) tahta kekaisaran, di tempat atau dijarah, sebagai jimat. Kunci untuk pendekatan Liu untuk hubungan Inggris-Cina terletak sebagian besar dalam teori semiotik Peirce. Liu historis didasarkan link semiotika argumen untuk “teknologi komunikasi militer novel telegraphic pada paruh kedua abad kesembilan belas.” Liu membaca kerajaan menyediakan “grid teoritis dan sejarah… [untuk] masalah [intersubjektivitas dan] keasingan, indexicality, dan kekerasan dalam terang pekerjaan” oleh Peirce, Foucault, Bataille, dan teoretikus lain.
Untuk Liu juga, yang “mendramatisir pertemuan pertama” dari Defoe, Robinson Crusoe dengan Jumat, di mana deixis dan indexicality – jari menunjuk Crusoe meluas ke pistolnya – merupakan ritual “akrab penaklukan dan fetisisme di Eropa membayangkan pertemuan pertama . ” Episode ini membantu muka Liu argumen untuk “benturan” yang disimbolkan dalam “terjemahan dari karakter Cina tertulis” yi “pada saat Perang Opium.” Apakah “yi” berarti “asing”? “Barbar”? “Asing”? “Non-Cina”? Inggris percaya bahwa karakter Cina diucapkan “yi” berarti “barbar” – meskipun etimologi Yunani istilah terakhir – bahwa itu ditujukan pada mereka, dan karena itu memastikan bahwa itu dilarang di dua artikel terpisah dari Perjanjian Tianjin dari 1858. Saat Liu menulis, “Sebuah banyak yang dipertaruhkan ketika datang untuk mengidentifikasi ‘barbar benar’ untuk peradaban. Taruhannya meningkat lebih tinggi dengan skandal kata” yi “karena ucapan yang keluar dari isu-isu bahasa non-Eropa masyarakat yang dianggap kurang beradab oleh Inggris. Dengan kata lain, karakter Cina “yi” tampaknya telah dibuang kembali ke peradaban barbar itu sendiri dan berubah menjadi perusahaan ganda dan citra cermin. ”
Dalam pertemuan kekaisaran, kita melihat penciptaan tanda-super tripartit, bagian-bagian yang dipisahkan dengan garis miring: 夷 / “yi” / barbar. Liu menganggap ini sebagai barang ganjil “linguistik,” rantai “yang menunjukkan hetero-budaya, hibrida fantastis konsep diterjemahkan.” Dari alam tanda-tanda positif, “kita telah diangkut – atau diterjemahkan -” ke dalam bidang makna terpesona, ekses signifikansi, “dan banyak lagi.
Ulasan dari tiga teks dalam tanda ini masalah kepentingan terus-menerus dalam kualitas liminal pengalaman dan artefak, terletak di perbatasan antara manusia dan bukan manusia. Sebagai Dorian Stuber menulis dalam tinjauannya tentang Daniel Heller-Roazen’s Echolalias: Di Melupakan Bahasa dan The Touch batin: Arkeologi dari Sensasi, “[t] ogether mereka mengeksplorasi hubungan rasionalitas untuk kelebihan, di mana rasionalitas didefinisikan sebagai gabungan dari bahasa dan kesadaran, dan … kelebihan … alasan apa pun masalah, Membatalkan, namun rasionalitas itu. ” Dalam Echolalias “kelebihan melekat di perbatasan pra-verbal bahasa; dalam The Touch melekat batin kelebihan … pengertian umum untuk semua makhluk yang memungkinkan mereka untuk merasa diri mereka sebagai sensing dan dengan demikian sebagai hidup.”
Nisa Daniel Cáceres terletak dengan Elaine Freedgood Ide di The Things dalam bidang studi sekarang luas objek atau hal teori, sebuah badan interdisipliner kerja yang terus menguji batas kaku antara orang dan hal-hal yang telah menuntun banyak budaya Barat. A Sense Meminjam Bill Brown of Things: The Matter Objek Sastra Amerika (2003) (dan review Gustavus Stadler tentang bahwa teks dalam Volume 5, Nomor 1 [Spring 2005] dari BMRCL), Cáceres menerangi bagaimana Freedgood “mengambil budaya, sejarah, sosial dan bahan kualitas “dari” objek konsumsi tampaknya tidak penting. ” Untuk Cáceres, Freedgood melakukan sebuah “kuat metonimis” membaca pokok produksi (muncul dalam Jane Eyre, Mary Barton dan Great Expectations) “dengan mengambil hal sastra secara harfiah dan mengandalkan ‘” mediasi “-” orang-orang sejarawan tekstil dan tembakau , kehutanan dan furnitur “(5) – yang dapat menerangi [masa lalu] suatu hal yang” Sebagai. seperti, studinya eschews “figurasi sastra rutin yang menghalangi interpretasi dari hal yang paling realisme” (5), dan garis bawah bagaimana hal-hal tidak “diwajibkan untuk hubungan metafora di mana mereka harus memberikan sebagian besar kualitas mereka dalam pelayanan hubungan simbolik” (10).
Martin membutakan’s Estetika dari tampil menawarkan meditasi pada pertemuan liminal yang menginformasikan pengalaman kita tentang benda, lingkungan, orang, dan atmosfer. Bahkan jika, sebagai catatan Mario Wenning, membutakan pekerjaan berangkat dari studi yang waspada mencari esensi “seni dan estetika pengalaman,” muncul estetika tetap menekankan batas sementara dan hubungan: “[itu] memungkinkan kita dengan kesadaran singkat sifat realitas dan tempat kita di realitas ini. ” Sebuah kesadaran akan realitas dan tempat kita di dalamnya menimbulkan pertanyaan etis dan politik yang mendalam. Meskipun, untuk Wenning, menutup mata tidak mengeksplorasi ini sebagai secara langsung dan sepenuhnya sebagai dia mungkin, pertanyaan tersebut muncul terus-menerus, terutama ketika membutakan berpendapat bahwa arti dari kekerasan yang terjadi, misalnya, antara pelaku dan korban “tidak dapat dipahami secara terpisah dari posisi tambahan … penonton “(188) (karena tindakan seperti” sering dilakukan dengan perspektif hadiah atau tidak ada penonton dalam pikiran “).
Sebagai catatan Megan Craig, “[sebuah lthough] judul” Memori waspada R. Clifton Spargo’s: Emmanuel Levinas, Holocaust, dan Kematian yang tidak jujur “menunjukkan itu adalah studi tentang Levinas dalam terang dari Holocaust, juga merupakan segi pertahanan dan kritik terhadap Levinas, respon terhadap kritik Alain Badiou tentang etika Levinas sebagai apolitis, peringatan terhadap “kesalahan-kesalahan dari budaya demokrasi Barat …” (120) waspada Memori. jujur bertujuan “untuk menguji kelayakan dan batas-batas etika Levinasian di abad ke dua puluh satu dan bertanya “dalam arti apa etika akan dikatakan telah berlaku di dunia politik” (18).
Dua teks dibahas dalam edisi ini menunjukkan pentingnya pemahaman genre atau genre tertentu dalam arti luas. Untuk Gregory Byala, Puisi Martin Puchner tentang Revolusi: Marx, Manifesto dan Avant-Garde menyajikan ujian yang sangat asli dari pengaruh hebat yang Manifesto Komunis diberikan pada bentuk seni rupa modern. Sebagai Puchner menjelaskan itu, Marx dan Engels mengembangkan bentuk “yang akan membantu modernitas revolusioner untuk mengenal dirinya sendiri, untuk sampai pada dirinya sendiri, untuk membuat dan mewujudkan dirinya sendiri” (1). Fokus pada terjemahan dan distribusi dari Manifesto Komunis, lebih eksplisit yang “modulasi dari politik ke dalam bentuk artistik,” dan “manifesto itu pengertian tentang keakanan, sandiwara, dan performativitas … Puisi Revolusi mengungkapkan [s] bagaimana manifesto pindah dari sosialis dokumen, ke genre artistik, untuk suatu bentuk seni. ”
Byala menunjukkan, menganalisis karya politik yang berkembang dalam hal kategori – genre – bahwa mungkin berpikir untuk mengatasi kemungkinan Puchner untuk bagan pengaruh artistik ekspansif Manifesto. koleksi esai Rita Felski, Rethinking Tragedi, pameran juga pemahaman dari genre yang eschews “taksonomi kaku.” Sebagai Verna Foster catatan, sementara koleksi Felski’s “mempertahankan rasa bentuk estetika yang mengandung dan membentuk tragis sebagai pengalaman,” konsep yang lebih inklusif “mode” memungkinkan esai ke alamat yang tragis baik sebagai ide filosofis dan komponen banyak bentuk seni kontemporer dan ladang. Dengan demikian, koleksi bergerak di luar batasan konvensional banyak studi untuk mempertimbangkan kegigihan dari tragis dalam ekspresi kontemporer dan dalam bentuk dan bidang lain dari drama – yaitu, film, budaya populer, filsafat, dan politik.
Dalam edisi ini, kami tambahkan daftar Buku yang diterima di tahun 2008. Kami akan senang mendengar ada pembaca yang tertarik meresensi salah satu dari mereka.
Kesimpulan
Dua teks dibahas dalam edisi ini menunjukkan pentingnya pemahaman genre atau genre tertentu dalam arti luas. Untuk Gregory Byala, Puisi Martin Puchner tentang Revolusi: Marx, Manifesto dan Avant-Garde menyajikan ujian yang sangat asli dari pengaruh hebat yang Manifesto Komunis diberikan pada bentuk seni rupa modern. Sebagai Puchner menjelaskan itu, Marx dan Engels mengembangkan bentuk “yang akan membantu modernitas revolusioner untuk mengenal dirinya sendiri, untuk sampai pada dirinya sendiri, untuk membuat dan mewujudkan dirinya sendiri” (1). Fokus pada terjemahan dan distribusi dari Manifesto Komunis, lebih eksplisit yang “modulasi dari politik ke dalam bentuk artistik,” dan “manifesto itu pengertian tentang keakanan, sandiwara, dan performativitas … Puisi Revolusi mengungkapkan [s] bagaimana manifesto pindah dari sosialis dokumen, ke genre artistik, untuk suatu bentuk seni. ”
http://www.brynmawr.edu/bmrcl/listing.html
Book reviews — The Homeric Narrator by Scott Richardson
Comparative Literature, Winter 1994 by Bassi, Karen
The Homeric Narrator. By Scott Richardson. Ithaca: Cornell University Press, 1990. 279p.
Scott Richardson’s purpose in The Homeric Narrator is “to examine the signs of [the Iliad and the Odyssey’s narrator’s] presence in the discourse, that is, to describe his habits in keeping his activity hidden and in choosing to show his hand in the fabrication of the discourse–in what ways he does so, to what degree, how frequently, and in what situations” (p. 5). His methodology is the narratology of Genette and Chatman. In particular, Genette’s study of Proust provides a “model for using narrative theory in the study of a specific text” (p. 3). The book is divided into seven chapters, each titled according to the narratological category under consideration (e.g., Summary, Pause), and an Appendix in which Richardson treats Odyssey 5.315-443 in detail.
The reader is invited to agree that the theoretical categories which Genette proposed for Proust can elucidate Homer. In order to do this, he or she must accept the value of Genette’s method as a general practice and/or that the Iliad is somehow like the Recherche. Genette has acknowledged the problem of the general applicability of narratology’s categories of analysis.(1) But Richardson largely ignores this problem to the point of claiming that oral-formulaic studies are “peripheral” to his conclusions (he rightly contends that the possibility of dual authorship is unimportant, pp. 6-7). Here Richardson’s implicit desire to read the epics as modern novels betrays an anachronistic comparative technique whose implications he doesn’t examine. Some generic distinctions exist in terms of comparison, but Richardson’s method is to offer passages from modern novels (e.g., The French Lieutenant’s Woman, Anna Karenina, The Hobbit–and these too as if they were the products of a single cultural milieu) only to demonstrate narratological classification (e.g., summary, pause, etc.). He explains that “comparison with other narratives is essential to clarify and to illustrate the categories as well as to establish Homer’s distinctiveness as a narrator. Consequently, I shall make liberal use of examples from other narratives, largely modern, to place these most ancient of Western narratives in a broader context than classical epic” (pp. 7-8). In fact, Richardson’s method makes vague whatever he means by Homer’s “distinctiveness” and his “broader context” becomes no (or any) context. Moreover, the differences between poetic and prose texts are largely ignored. Comparison here leads to implicit assimilation and in this case the narrative voice in the epic is “unique” only insofar as it is not like that of the novel. For example, on page 201 Richardson tells us to notice that “Homer does not make use of narrative’s usual alternation between scene and summary” (emphasis added). What determines what is “usual” in narrative? The answer must be that which is common to the modern western novel–an answer which only begs the question of why the ancient Greek epic merits negative comparison with it.
Narrative theory can be useful for Homeric studies and Richard P. Martin’s recent book, The Language of Heroes: Speech and Performance in the Iliad (Cornell, 1989) offers some informative examples. Martin takes a cross-cultural and “performance centered approach” (p. 7) to the construction of the Homeric narrator and argues that speakers of “mythoi” as a marked category in the Iliad “commit themselves to a full enactment of their words before an audience that can criticize these acts; they thus accomplish ‘performances’ of verbal art, in a manner not different from that of poets and storytellers immersed in the performance situation” (p. 47).(2) Homeric apostrophe (like recusatio pp. 223ff.), for example, is explained in terms of a “specific association between the narrator and Achilles, the focalizer of the narration”(p. 236) by which Achilles’s performance in the poem shares its technical virtuosity with that of the poem’s narrator (cf. p. 220). This shared virtuosity is then analyzed in terms of the poet’s status in an agonistic culture. In contrast, Richardson interprets apostrophes as intrusions by which “the narratee becomes an intimate of Patroklos, Menelaos, and Eumaios” (p. 174). One might conversely interpret such “intrusions” as distancing the narratee from the apostrophized character by emphasizing the narrator’s privileged position (as Martin’s analysis suggests); indeed Richardson’s own discussion of Culler (p. 174) might have led him to such a conclusion. While Martin’s judicious use of narratology situates the narrator within a cultural context, Richardson’s focused technicality often leads him to obvious, incomplete and/or contradictory conclusions. For example, he says that the numerous pauses over minor characters, e.g. androktasiai, remind us “of the humanity of those killed” (p. 46).” But the stock nature of these pauses conversely flattens out that “humanity” as each named warrior becomes a vehicle for standard elaboration.
Richardson’s frequent insistence that the Homeric narrator only acts in a particular scene’s “best interests” is perhaps his vaguest line of argument–especially since the criteria upon which he bases his position as the arbiter of those best interests are unclear. In his discussion of the Trojan elders’ conversation about Helen (Il. 3.154-60), he concludes that “pseudo-direct” discourse is required:
Indirect quotation or a report of their discussion would be inadequate here. It is advantageous at this point to establish Helen’s incomparable beauty and to remind us that the mass slaughter we will be seeing throughout the poem stems from this beauty. The conversation, therefore, plays an important role in the scene, but since it does not have any bearing on the plot, there is no reason to bring it up only to mention it in summary fashion. (p. 81)
Why indirect quotation or summary would be inadequate here is not satisfactorily explained; direct quotation is presumably inadequate because the “scene would be weakened by a faithful rendering of the entire conversation” (p. 82). Perhaps this is because “three-fifths of the Homeric poems are in direct speech” (p. 70) and, consequently, direct speech is not sufficiently market in the text. But Richardson argues for the opposite conclusion: “If the scene is built around a speech or if the words are integral to a full appreciation of the scene, anything short of direct quotation would be deficient” (p. 82). In other words he implies that any scene in which spoken discourse is included (e.g., Il. 3.154-60) is strengthened (not weakened) by direct quotation. At issue here is Richardson’s reliability in determining a scene’s “best interests.” Also at issue is whether or not his understanding of a scene’s “strength” or “weakness” is rooted in a privileging of the individual voice (direct speech) over the collective voice (represented in “pseudo-direct” speech) and the implications of this privileged status for the political history of western narrative.
More compelling is Richardson’s discussion of chronological sequencing (Chapter 4: Order). Following Zielinski’s lead in treating simultaneous events in the epic, Richardson notes that “Homer chooses to conceal his power of manipulating the temporal arrangement of events and to maintain the illusion of a steady chronological course of events” (p. 91). Richardson often presents convincing evidence of the narrator’s reluctance to overtly “manipulate” the story, although the fact that Richardson (for example) notices this “reticence” leaves open the question of what it means for the narrator to “choose” to conceal his manipulation of the story’s progression. In other words, Richardson does not differentiate between a narrator who keeps his activity hidden and one who represents himself as doing so.(3) This discussion of chronological sequencing and narrative voice invites comparison with later Greek historical writing–a comparison which would “historicize” the consequences of that choice in the context of competing modes of representing social reality.(4)
I appreciate Richardson’s attempt to familiarize or de-classify the Homeric epic by comparing it to modern texts, but I question the price of this familiarity–especially because it relies on subsuming cultural critique under aesthetic categories. When Richardson says that Homeric similes can situate us in our “own everyday world” (p. 66) this familiarizing tendency would even convince twentieth-century postmodern Americans that archaic Greeks were essentially like us. But more to the point, and as a result of a lack of consideration for the political, social, and historical contexts of texts, Richardson’s study makes the Homeric narrator into a second-hand (or second-rate) novelist. While the book provides some useful insights into specific passages, it also disappoints. For example, the Appendix (pp. 201-07) reduces Odysseus’s difficult voyage from Kalypso’s island and encounter with Leucothea (Odyssey 5.315-443) to a list of terms (e.g., Od. 5.424 is an “appositive summary, signalling the end of the monologue”). The entry for Od. 5.321 reads: “Explanation and identification. Why could he not resurface? Because the clothes weighed him down. What clothes? The ones Kalypso had given him. The narrator does not leave it for us to figure out the cause of his problem; it is his responsibility to give us a clear understanding of the events.” Since Richardson’s purpose in the Appendix is to demonstrate that fragmentation” need not come with narratological “classification” (201) we can only conclude from these examples that it does and that charting the Homeric narrator on his narratological map leaves us adrift.
1 See his Preface to Narrative Discourse and Narrative Discourse Revisited 11-12.
2 I assume Martin’s book was published too late for Richardson to have seen it. Also useful is Mark Edwards, Horner, Poet of the Iliad (Baltimore and London, 1987) whose application of narratological catagories is less insistent but whose conclusions nevertheless anticipate some of Richardson’s.
3 This important distinction was clarified for me by Harry Berger, Jr.
4 See Hayden White, “The Value of Narrativity in the Representation of Reality,” Critical Inquiry 7 (1980). Now Chapter 1 of The Content of the Form (Johns Hopkins University Press, 1987).
Terjemahan
Resensi Buku – The Narator Homer oleh Scott Richardson
Perbandingan Sastra, Musim Dingin 1994 oleh Bassi, Karen
Narator Homer. Oleh Scott Richardson. Ithaca: Cornell University Press, 1990. 279 hal
Tujuan Scott Richardson dalam The Narator Homer adalah “untuk memeriksa tanda-tanda dari [Iliad dan narator Kehadiran] Odyssey dalam wacana, yaitu, untuk menggambarkan kebiasaan dalam menjaga aktivitas tersembunyi dan dalam memilih untuk menunjukkan tangannya dalam pembuatan wacana – dalam hal apa ia melakukan itu, untuk apa, seberapa sering, dan dalam situasi apa “(hal. 5). metodologi-Nya adalah Kultural dari Genette dan Chatman. Secara khusus, studi Genette tentang Proust menyediakan model “untuk menggunakan teori naratif dalam studi teks tertentu” (hal. 3).
Buku ini dibagi menjadi tujuh bab, masing-masing berjudul sesuai dengan kategori narratological sedang dipertimbangkan (misalnya, Ringkasan, Jeda), dan Lampiran yang memperlakukan Richardson Odyssey 5,315-443 secara rinci.
Pembaca diundang untuk setuju bahwa kategori-kategori teoritis yang diusulkan untuk Genette Proust bisa menjelaskan Homer. Untuk melakukan hal ini, ia harus menerima nilai metode Genette sebagai praktek umum dan / atau bahwa Iliad bagaimanapun seperti halus. Genette telah mengakui masalah penerapan umum kategori Kultural tentang analisis (1) Tetapi. Richardson sebagian besar mengabaikan masalah ini sampai titik mengklaim bahwa studi oral-aturan yang “pinggiran” untuk kesimpulannya (ia benar berpendapat bahwa kemungkinan dual penulisnya tidak penting, hal 6-7).. Di sini keinginan implisit Richardson untuk membaca epos sebagai novel modern mengkhianati teknik komparatif anakronistik implikasi yang dia tidak memeriksa. Beberapa perbedaan generik ada dalam hal perbandingan, tetapi metode Richardson adalah menawarkan bagian dari novel modern (misalnya, Sang Letnan Prancis Perempuan, Anna Karenina, The Hobbit – dan ini juga seolah-olah mereka adalah produk dari lingkungan budaya tunggal) hanya untuk menunjukkan klasifikasi narratological (misalnya, ringkasan, berhenti, dll). Dia menjelaskan bahwa “dibandingkan dengan kisah lainnya sangat penting untuk mengklarifikasi dan mengilustrasikan kategori serta untuk membangun kekhasan Homer sebagai narator sebuah Karena itu, saya akan memanfaatkan liberal contoh dari narasi lainnya, sebagian besar modern, ke tempat ini paling kuno. Barat narasi dalam konteks yang lebih luas dari epik klasik “(hal. 7-8). Bahkan, metode Richardson membuat jelas apa pun yang dia maksudkan dengan “kekhasan Homer’s” dan “konteks yang lebih luas” menjadi tidak ada (atau konteks). Selain itu, perbedaan antara teks-teks prosa puitis dan diabaikan. Perbandingan di sini mengarah pada asimilasi implisit dan dalam hal ini suara narasi dalam epik adalah “unik” hanya sejauh yang tidak seperti itu dari novel. Misalnya, pada halaman 201 Richardson memberitahu kita untuk melihat bahwa “Homer tidak menggunakan narasi biasa pergantian di antara adegan dan ringkasan” (penekanan ditambahkan). Apakah yang menentukan apa yang “biasa” dalam cerita? Jawabannya harus bahwa yang umum untuk novel barat modern – sebuah jawaban yang hanya menimbulkan pertanyaan tentang mengapa manfaat epik Yunani kuno perbandingan negatif dengan itu.
Narasi teori dapat berguna untuk studi Homer dan Richard P. Martin ‘buku baru, The Heroes Bahasa: Pidato dan Kinerja dalam Iliad (Cornell, 1989) menawarkan beberapa contoh informatif. Martin mengambil lintas-budaya dan “kinerja berpusat pendekatan” (hal. 7) untuk pembangunan narator Homer dan berpendapat bahwa pembicara dari “mythoi” sebagai kategori ditandai dalam Iliad “komitmen untuk suatu berlakunya penuh kata-kata mereka sebelum penonton yang dapat mengkritik tindakan; mereka sehingga mencapai ‘pertunjukan’ seni verbal, dengan cara yang tidak berbeda dengan para penyair dan pendongeng terbenam dalam situasi kinerja “(hal. 47). (2) Homer apostrof (seperti hal recusatio 223ff..), misalnya, dijelaskan dalam hal hubungan “khusus antara narator dan Achilles, yang focalizer dari narasi” (hal. 236) oleh yang Achilles’s kinerja saham puisi keahlian teknis dengan bahwa dari puisi itu (cf. narator hal 220). Bersama ini keahlian ini kemudian dianalisis dalam hal status penyair dalam budaya atletik. Sebaliknya, Richardson menafsirkan apostrof sebagai intrusi oleh yang “narasi yang menjadi intim Patroklos, Menelaos, dan Eumaios” (hal. 174). Satu sebaliknya bisa menginterpretasikan seperti “intrusi” sebagai menjauhkan narasi dari karakter apostrophized dengan menekankan posisi istimewa narator (sebagai analisis Martin menyarankan); memang diskusi sendiri Richardson dari Culler (hal. 174) mungkin membawanya pada kesimpulan semacam itu. Sementara menggunakan bijaksana Martin tentang Kultural terletak dengan narator dalam konteks budaya, teknis
Richardson terfokus sering mengarah ke jelas, tidak lengkap dan / atau kesimpulan yang bertentangan. Misalnya, ia mengatakan bahwa berbagai karakter jeda lebih kecil, misalnya androktasiai, mengingatkan kita “dari kemanusiaan yang terbunuh” (hal. 46) “Tapi. sifat saham berhenti ini sebaliknya rata bahwa” kemanusiaan “, karena setiap prajurit bernama menjadi kendaraan untuk elaborasi standar.
desakan sering Richardson bahwa narator Homer hanya bertindak dalam sebuah adegan tertentu yang “kepentingan terbaik” mungkin line-nya samar argumen – terutama karena kriteria di atas mana dia mendasarkan posisinya sebagai wasit dari kepentingan-kepentingan terbaik tidak jelas. Dalam pembahasannya tentang percakapan tetua Trojan ‘tentang Helen (Il. 3,154-60), ia menyimpulkan bahwa “pseudo-langsung” wacana ini:
kutipan tidak langsung atau laporan diskusi mereka akan memadai di sini. Hal ini menguntungkan pada saat ini untuk membangun keindahan tak tertandingi Helen dan mengingatkan kita bahwa pembantaian massal kita akan melihat seluruh puisi itu berasal dari keindahan ini. Percakapan Oleh karena itu, memainkan peran penting dalam adegan itu, tetapi karena tidak ada hubungannya dengan plot, tidak ada alasan untuk membawa itu hanya menyebutkan dalam mode ringkasan. (Hal. 81)
Kenapa tidak langsung kutipan atau ringkasan akan memadai di sini adalah tidak memuaskan dijelaskan; kutipan langsung diduga tidak memadai karena adegan “akan menjadi lemah oleh render setia seluruh percakapan” (hal. 82). Mungkin ini karena “tiga-perlima dari puisi Homer dalam pidato langsung” (hal. 70) dan, akibatnya, pidato langsung tidak cukup pasar dalam teks. Tapi Richardson berpendapat untuk kesimpulan yang berlawanan: “Jika adegan itu dibangun sekitar pidato atau jika kata-kata merupakan bagian integral dari apresiasi yang penuh adegan itu, apa pun singkat kutipan langsung akan kekurangan” (hal. 82). Dengan kata lain ia menyiratkan bahwa setiap adegan di mana wacana lisan disertakan (misalnya, Il. 3,154-60) diperkuat (tidak lemah) oleh kutipan langsung. Pada masalah di sini adalah kehandalan Richardson dalam menentukan “kepentingan adegan yang terbaik.” Juga pada masalah adalah apakah atau tidak pemahamannya tentang “kekuatan sebuah adegan” atau “kelemahan” berakar dalam mengistimewakan dari suara individu (pembicaraan langsung) atas suara kolektif (diwakili dalam “pseudo-langsung” pidato) dan implikasi dari ini status istimewa untuk narasi sejarah politik barat.
Lebih menarik adalah diskusi Richardson sekuensing kronologis (4 Bab: Order). Setelah memimpin Zielinski dalam memperlakukan kejadian simultan dalam kisah, Richardson mencatat bahwa “Homer memilih untuk menyembunyikan kekuasaannya memanipulasi susunan temporal peristiwa dan untuk menjaga ilusi kursus mantap kronologis kejadian” (hal. 91). Richardson sering menyajikan meyakinkan bukti keengganan narator untuk terang-terangan “memanipulasi” cerita, meskipun fakta bahwa Richardson (misalnya) pemberitahuan ini keengganan “” daun membuka pertanyaan apa artinya bagi narator untuk “memilih” untuk menyembunyikan manipulasi nya terhadap pengembangan cerita. Dengan kata lain, Richardson tidak membedakan antara narator yang terus aktivitasnya tersembunyi dan satu yang mewakili dirinya sebagai melakukannya (3) diskusi ini urutan kronologis dan suara narasi mengundang perbandingan dengan kemudian menulis sejarah Yunani – perbandingan. Yang akan ” historicize “konsekuensi dari pilihan itu dalam konteks mode bersaing mewakili realitas sosial. (4)
Saya menghargai upaya Richardson untuk membiasakan atau de-mengklasifikasikan epik Homer dengan membandingkannya dengan teks-teks modern, tapi aku pertanyaan harga keakraban ini – terutama karena hal itu bergantung pada subsuming kritik budaya bawah kategori estetika. Ketika Richardson mengatakan bahwa Homer simile dapat menempatkan kita dalam “dunia sehari-hari kita sendiri” (hal. 66) kecenderungan ini membiasakan bahkan akan meyakinkan Amerika abad kedua puluh postmodern bahwa pada dasarnya orang Yunani kuno seperti kami. Tapi lebih tepatnya, dan sebagai akibat dari kurangnya pertimbangan untuk konteks politik, sosial, dan historis dari teks, studi Richardson membuat narator Homer menjadi tangan kedua (atau kedua-rate) novelis. Sementara buku ini memberikan beberapa wawasan yang berguna dalam bagian-bagian tertentu, juga mengecewakan. Sebagai contoh, Lampiran (hal. 201-07) mengurangi perjalanan Odiseus sulit dari pulau Kalypso dan perjumpaan dengan Leucothea (Odyssey 5,315-443) untuk daftar istilah (misalnya, OD 5,424 adalah ringkasan “appositive., Menandai akhir monolog “). Entri untuk OD. 5,321 berbunyi: “Penjelasan dan identifikasi Kenapa dia tidak muncul lagi? Karena pakaian yang berat ke bawah pakaian Apa?. Kalypso Yang telah memberinya. Narator tidak meninggalkan bagi kita untuk mengetahui penyebab masalahnya;. Itu tanggung jawabnya untuk memberikan kita pemahaman yang jelas dari peristiwa. ” Karena tujuan Richardson dalam Lampiran adalah untuk menunjukkan bahwa fragmentasi “tidak perlu datang dengan narratological” klasifikasi “(201) kita hanya bisa menyimpulkan dari contoh-contoh yang yang dilakukan dan yang memetakan peta narator Homer narratological nya membuat kita terapung-apung.
1 Lihat Kata Pengantar untuk Wacana Narasi dan Wacana Narasi Revisited 11-12.
2 Aku menganggap buku Martin diterbitkan terlambat untuk Richardson untuk melihatnya. Juga berguna adalah Mark Edwards, Horner, Penyair dari Iliad (Baltimore dan London, 1987) yang aplikasi kategori narratological kurang mendesak tetapi kesimpulan yang tetap mengantisipasi beberapa Richardson.
3 Perbedaan penting adalah jelas bagi saya oleh Harry Berger, Jr
4 Lihat Hayden White, “Nilai Narrativity dalam Representasi Realitas,” Kritis Pertanyaan 7 (1980). Sekarang Bab 1 The Isi Formulir (Johns Hopkins University Press, 1987).
Kesimpulan
Perbandingan di sini mengarah pada asimilasi implisit dan dalam hal ini suara narasi dalam epik adalah “unik” hanya sejauh yang tidak seperti itu dari novel. Misalnya, pada halaman 201 Richardson memberitahu kita untuk melihat bahwa “Homer tidak menggunakan narasi biasa pergantian di antara adegan dan ringkasan” (penekanan ditambahkan). Apakah yang menentukan apa yang “biasa” dalam cerita? Jawabannya harus bahwa yang umum untuk novel barat modern – sebuah jawaban yang hanya menimbulkan pertanyaan tentang mengapa manfaat epik Yunani kuno perbandingan negatif dengan itu.
http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3612/is_199401/ai_n8717082/?tag=content;col1
Expression as Becoming: A Poetics of the Virtual in the works of Christian Prigent, Dominique Fourcade, Olivier Cadiot, and Hubert Lucot
In my dissertation I show how the poems and prose of Christian Prigent, Dominique Fourcade, Olivier Cadiot, and Hubert Lucot form an important, radicalised moment of French literary modernity. This is the first study of these authors in English. I look at how their poetry and prose determine subjectivity and identity as contingent and transient process rather than as substance or nature. This contention requires a reflection on the question of time and on how it has informed French modernity since Baudelaire gave substance to this notion.
To that end, I assess the key concepts of Gilles Deleuze’s ontological constructivism (multiplicity, becoming, line, arrangement, rhizome, de- and re-territorialisation) and I show how Deleuze’s theory of expression locates literature in a semiotics (a theory of signs in general) rather than in a semiology (a theory of linguistic signs in particular). In addition, I establish how Deleuzian semiotics is structured around the play of the virtual and the becoming. Whilst the virtual is the infinite of meaning, the becoming – or actualisation – is the specific yet precarious forms that meaning takes. The virtual hence presupposes a non-chronological temporality that Deleuze, after Nietzsche, calls Aiôn or the Aiônic, and in which the infinite of meaning insists or persists in actual forms.
From this theoretical standpoint, I single out the crucial notions of percepts and affects which differ respectively from those of perception and affection in that they are impersonal, that is to say autonomised from the human, biographic, substratum in which they first appear. They are pure sensations exceeding any lived experience and memory. Affects relate to the non-human becomings of man when percepts are made of the non-human landscapes of nature, making those who experience them sensitive to the forces of becoming.
By a complex labour on language transforming signifiers into affects and percepts, creative literature is then defined as that which frees (or de-territorialises) meaning from preset signifieds and thus reveals the power of the virtual which usually remains over-shadowed in conventional uses of language. I argue that such a complex labour on language is nothing else than literary style, which I define as the ability to grasp Life amongst the living – i.e., percepts – and to produce unknown, impersonal becomings – i.e., affects – rather than to narrate one’s personal feelings or deeds. Far from being a specific essence, literature is just the most intense use of language (materialistic rather than spiritualist definition of literature). Identifying affects and percepts in the specific formal features of literary texts and studying their forces thus constitutes the core of the Deleuzian criticism of literature that I put forward and that I call a poetics of the virtual.
I then look at the writings of my four authors. The poetic writings of Christian Prigent and Dominique Fourcade present a productivist subjectivity by addressing the body, contingency, and language inrelation to the theme of desire.
Olivier Cadiot’s and Hubert Lucot’s narratives tell the evolution of a subjectivity that, instead of being fixed and rigid, always remains in process. These critical objectives are achieved by close readings isolating the features of style, semantics, and syntax that destructure subjectivity and identity into a non-personal writing.
Studying these different writings together has allowed me to explore the general pertinence of the poetics of the virtual as critical paradigm and it has substantiated my overall argument by confronting it to a diversity of styles – the constructivist and non-chronological aspect of the real, of subjectivity, of meaning itself can only be apprehended in the interior movement of a text. In a genealogical approach, I argue that these four writers re-contextualise the key questions of modernity – the present as mix of pure past and contingent new – by exposing the constructibility of being and history via affects and percepts arranged in semantic andsyntactic inventions.
In conclusion, contemporary French literature presents subjectivity and identity as a pure productivism and such a determination takes part in a new political radicalism. The originality of my thesis lies in its ability to relate contemporary – and previously unstudied – texts to a major philosophy of modernity, so as to show how part of contemporary literature is an original radicalisation of the key-elements of literary modernity whose political implications are far-reaching.
Terjemahan
Ungkapan kelayakan: Puisi Virtual dalam karya Christian Prigent, Dominique Fourcade, Olivier Cadiot, and Hubert Lucot
Dalam disertasi saya, saya menunjukkan bagaimana puisi dan prosa Christian Prigent, Dominique Fourcade, Olivier Cadiot, dan Hubert Lucot merupakan sesuatu yang penting, radikal modernitas sastra Perancis. Ini adalah studi pertama dari penulis ini dalam bahasa Inggris. Aku melihat bagaimana puisi mereka dan prosa menentukan subjektivitas dan identitas sebagai proses kontinjensi dan sementara daripada sebagai zat atau alam. Pendapat ini membutuhkan refleksi mengenai masalah waktu dan bagaimana ia telah menginformasikan modernitas Prancis sejak Baudelaire memberi substansi pada gagasan ini.
Untuk itu, saya menilai konsep-konsep kunci dari konstruktivisme ontologis Gilles Deleuze’s (keragaman, layak, baris, pengaturan, rimpang, de-dan re-territorialisation) dan saya menunjukkan bagaimana teori ekspresi Deleuze dalam menempatkan sastra di suatu semiotika (teori tanda secara umum), bukan dalam semiologi (teori tanda linguistik pada khususnya). Selain itu, saya menetapkan bagaimana Deleuzian semiotika disusun berdasarkan permainan virtual dan kelayakan. Sementara virtual adalah tak terbatas makna, kelayakan – atau aktualisasi – adalah bentuk-bentuk khusus belum genting yang artinya membutuhkan. Virtual mengandaikan suatu temporalitas non-kronologis yang Deleuze, setelah Nietzsche, panggilan Aiôn atau Aiônic, dan di mana tak terbatas makna tegas atau berkelanjutan dalam bentuk yang sebenarnya.
Dari sudut pandang teoretis, saya memilih konsep-konsep penting dari persepsi dan pengaruh masing-masing yang berbeda dari persepsi dan kasih sayang bahwa mereka impersonal, artinya autonomised dari manusia, biografi, substratum di mana mereka pertama kali muncul. Mereka murni melebihi sensasi pengalaman hidup dan memori. Pengaruh berhubungan dengan non-manusia menjadi manusia ketika persepsi terbuat dari pemandangan yang non-manusia alam, membuat orang-orang yang yang mengalaminya sensitif terhadap kekuatan yang datang.
Dengan tenaga kerja yang kompleks pada bahasa penanda berubah menjadi mempengaruhi dan persepsi, sastra kreatif kemudian didefinisikan sebagai yang membebaskan (atau de-territorialises) makna dari signifieds preset dan dengan demikian mengungkapkan kekuatan virtual yang biasanya tetap selama-gelap dalam menggunakan konvensional bahasa. Saya berpendapat bahwa seperti tenaga kerja yang kompleks pada bahasa tidak lain dari gaya sastra, yang saya definisikan sebagai kemampuan untuk memahami Hidup di antara hidup – yaitu, persepsi – dan untuk menghasilkan diketahui, becomings impersonal – yakni, mempengaruhi – bukan untuk menceritakan seseorang perasaan pribadi atau perbuatan. Jauh dari menjadi esensi tertentu, sastra adalah penggunaan bahasa yang paling intens (definisi materialistis spiritualis daripada sastra). Mengidentifikasi mempengaruhi dan persepsi dalam fitur formal khusus teks sastra dan mempelajari kekuatan mereka sehingga merupakan inti dari Deleuzian kritik sastra yang
saya diajukan dan yang saya sebut puisi virtual.
Saya kemudian melihat tulisan-tulisan keempat penulis. Tulisan-tulisan puitis Christian Prigent dan Dominique Fourcade menyajikan subjektivitas productivist dengan mengatasi tubuh, kontingensi, dan inrelation bahasa dengan tema keinginan.
Olivier Cadiot dan narasi Hubert Lucot memberitahukan evolusi dari subjektivitas itu, bukannya tetap dan kaku, selalu masih dalam proses. Tujuan-tujuan penting yang dicapai oleh pembacaan dekat mengisolasi fitur gaya, semantik, dan sintaks yang destructure subjektivitas dan identitas ke dalam tulisan non-pribadi.
Mempelajari tulisan-tulisan yang berbeda bersama telah memungkinkan saya untuk menjelajahi kejituan umum puisi paradigma virtual kritis dan memiliki argumen saya secara keseluruhan didukung oleh menghadapinya dengan keragaman gaya – yang konstruktivis dan aspek non-kronologis yang nyata, dari subjektivitas, makna itu sendiri hanya dapat ditangkap dalam gerakan interior teks. Dalam pendekatan silsilah, saya berpendapat bahwa keempat penulis contextualise kembali pertanyaan-pertanyaan kunci dari modernitas – sekarang sebagai campuran murni baru dan kontinjensi – oleh mengekspos kelayakan constructibility dan sejarah melalui pengaruh dan persepsiyang diatur dalam penemuan andsyntactic semantik.
Sebagai kesimpulan, sastra Prancis kontemporer menyajikan subjektivitas dan identitas sebagai productivism murni dan tekad seperti mengambil bagian dalam sebuah radikalisme politik baru. Keaslian tesis saya terletak pada kemampuannya untuk menghubungkan kontemporer – dan sebelumnya tidak dipelajari – teks ke filosofi utama dari modernitas, sehingga untuk menunjukkan bagaimana bagian dari sastra kontemporer adalah radikalisasi asli-elemen kunci dari modernitas politik sastra yang implikasinya jauh jangkauannya.
Kesimpulan
Sastra Prancis kontemporer menyajikan subjektivitas dan identitas sebagai productivism murni dan tekad seperti mengambil bagian dalam sebuah radikalisme politik baru. Pada abstrak tesis ini dijelaskan bahwa yangh dilakukan penulis adalah menghubungkan kontemporer – dan sebelumnya tidak dipelajari – teks ke filosofi utama dari modernitas, sehingga untuk menunjukkan bagaimana bagian dari sastra kontemporer adalah radikalisasi asli-elemen kunci dari modernitas politik sastra yang implikasinya jauh jangkauannya.
Penulis, dalam hal ini pembuat tesis, berusaha membandingkan tulisan-tulisan puitis Christian Prigent dan Dominique Fourcade yang menyajikan subjektivitas productivist dengan mengatasi tubuh, kontingensi, dan inrelation bahasa dengan tema keinginan dengan tulisan-tulisan puitis Olivier Cadiot dan narasi Hubert Lucot yang memberitahukan evolusi dari subjektivitas itu, bukannya tetap dan kaku, selalu masih dalam proses. Pisau bedah yang digunakannya dalam memebandingkan tulisan-tulisan/ puisi keempat tokoh tersebut adalah kosep pengaruh dan teori ekspresi Deleuze.
http://www.ucl.ac.uk/mellon-program/fellows/jerome/abstract.shtml
Jurnal
Bryn Mawr Review of Comparative Literature
Volume 7, Number 1 (Fall 2008)
TABLE OF CONTENTS
This issue opens with Carlo Salzani’s review essay on Samuel Weber’s book on Walter Benjamin. Salzani finds Benjamin’s -abilities “brilliantly textual” in the close attention it pays both to Benjamin’s language (the German text and “the problems and inconsistencies of the English translation”) and to his theory of language. As Salzani notes, Weber analyzes Benjamin’s marked “tendency to form concepts by recourse to the suffix barkeit” (4) [which in English can be written either -ibility or -ability] “as the sign of a deeper connection between the linguistic constructions and Benjamin’s mode of philosophizing.”
A term like iterability becomes crucial in delineating Benjamin’s resistance to hierarchical oppositions, most notably to subordinating possibility to actuality. For Weber, Benjamin’s nominalizations offer a concept of the virtual, “inseparable from time insofar as it involves an ongoing, ever-unfinished, and unpredictable process” (7). While in Benjamin’s own estimation, texts had to be understood not only in the context of their own time but also in their transformation and continual reworking in the constellation with our present, Weber’s re-reading of Benjamin’s writing as a permanence or reiteration of virtuality is problematic, Salzani contends. That is, it appears to stress the impossibility to translate, to interpret, and read at the expense of Benjamin’s own outline of a methodology for reading his work and of his emphasis on actuality and actualization. In Salzani’s view, Benjamin’s method is not static in its effort to reach for coherence. Rather, it “almost prescribes a reading that will be polarized by,” and “put into a constellation with our present.” Further, “[a]s a cultural artefact, it asks to be violated and read against the grain of its time and our own and thus re-inscribed in new practices, re-assembled and re-made always anew.”
A second review essay in this issue also focuses on how translation and theories of language and textuality matter for an understanding of history and the historical work’s transformation and continued life in the constellation with our present. As Jon Solomon’s review suggests, The Clash of Empires is noteworthy not only for its reading of British-Chinese international relations, but for its presentation of the ways in which semiotic theory deepens our understanding of colonialism, post-colonialism, international law, feminism, comparative grammar and (in a coda) the imperial throne, in place or looted, as fetish. The key to Liu’s approach to British-Chinese relations lies largely in Peirce’s semiotic theory. Liu’s historically grounded argument links semiotics to “the novel military technology of telegraphic communication in the second half of the nineteenth century.” Liu’s reading of empire provides “theoretical and historical grids . . . [for] the issues of intersubjectivity [and foreignness], indexicality, and violence in the light of work” by Peirce, Foucault, Bataille, and other theorists.
For Liu as well, the dramatized “first encounter” of Defoe’s Robinson Crusoe with Friday, in which deixis and indexicality — Crusoe’s pointing finger extends to his gun — represent a “familiar ritual of subjugation and fetishism in the European imagining of first encounter.” This episode helps advance Liu’s argument to the “clash” symbolized in “the translation of the written Chinese character “yi” at the time of the Opium War.” Did “yi” mean “foreigner”? “barbarian”? “stranger”? “non-Chinese”? The British believed that the Chinese character pronounced “yi” meant “barbarian” — despite the Greek etymology of the latter term — that it was directed at them, and therefore ensured that it was banned in two separate articles of the Treaty of Tianjin of 1858. As Liu writes, “A good deal is at stake when it comes to identifying the ‘true barbarian’ for civilization. The stakes rise higher with the scandal of the word “yi” because its enunciation issues forth from the language of a non-European society which is regarded as less than civilized by the British. In other words, the Chinese character “yi” appears to have thrown the barbarian back onto civilization itself and turned into its double and mirror image.”
In this imperial encounter, we see the creation of a tripartite super-sign, the parts separated by slashes: 夷/”yi”/barbarian. Liu regards this as a “linguistic monstrosity,” a “hetero-cultural signifying chain, a fantastic hybrid of translated concepts.” From the realm of positive signs,” we have been transported — or translated — “into the realm of enchanted meanings, excesses of signification,” and more.
Reviews of three texts in this issue mark the persistent interest in the liminal quality of experience and artifacts, situated at the border between human and nonhuman. As Dorian Stuber writes in his review of Daniel Heller-Roazen’s Echolalias: On the Forgetting of Language and The Inner Touch: Archaeology of a Sensation, “[t]ogether they explore the relation of rationality to its excess, where rationality is defined as the conjunction of language and consciousness, and … excess is …whatever troubles, undoes, and yet grounds that rationality.” In Echolalias “excess inheres at the pre-verbal borders of language; in The Inner Touch excess inheres in … the sense common to all beings that allows them to feel themselves as sensing and thus as living.”
Daniel Nisa Cáceres situates Elaine Freedgood’s The Ideas in Things within the now expansive field of object studies or thing theory, an interdisciplinary body of work that continues to test the rigid border between people and things that has guided much of Western culture. Invoking Bill Brown’s A Sense of Things: The Object Matter of American Literature (2003) (and Gustavus Stadler’s review of that text in Volume 5, Number 1 [Spring 2005] of BMRCL), Cáceres illuminates how Freedgood “retrieves the cultural, historical, social and material qualities” of “seemingly unimportant objects of consumption.” For Cáceres, Freedgood performs a “strong metonymic” reading of manufactured goods (evoked in Jane Eyre, Mary Barton and Great Expectations) “by taking a literary thing literally and relying on ‘mediations'” — “those of historians of textiles and tobacco, of forestry and furniture” (5) — that can illuminate [a thing’s] past.” As such, her study eschews “the routinized literary figuration that precludes the interpretation of most things of realism” (5), and underscores how things are not “indentured to a metaphorical relation in which they must give up most of their qualities in the service of a symbolic relation” (10).
Martin Seel’s Aesthetics of Appearing offers a meditation on the liminal encounters that inform our experience of objects, surroundings, people, and atmospheres. Even if, as Mario Wenning notes, Seel’s work departs from studies that are wary of searches for the “essence of art and aesthetic experience,” aesthetic appearing nonetheless underscores provisional borders and relations: “[it] enables us with the awareness of the ephemeral nature of reality and our place in this reality.” An awareness of reality and our place in it raises profound ethical and political questions. Although, for Wenning, Seel does not explore these as directly and fully as he might, such questions emerge persistently, especially when Seel argues that the meaning of the violence that occurs, for instance, between a perpetrator and victim “cannot be understood independently of the additional position of … spectators” (188) (since such acts “are often committed with the perspective of a present or absent spectator in mind”).
As Megan Craig notes, “[a]lthough the title” of R. Clifton Spargo’s Vigilant Memory: Emmanuel Levinas, the Holocaust, and the Unjust Death “suggests it is a study of Levinas in light of the Holocaust, it is also a multifaceted defense and critique of Levinas, a response to Alain Badiou’s criticism of Levinas’s ethics as apolitical, a warning against the “fallacies of Western democratic culture…” (120). Vigilant Memory squarely aims “to test the viability and the limits of Levinasian ethics in the twenty-first century and to ask “in what sense an ethics would be said to have force in a political world” (18).
Two texts reviewed in this issue demonstrate the importance of understanding genre or specific genres in broad terms. For Gregory Byala, Martin Puchner’s Poetry of the Revolution: Marx, Manifestoes and the Avant-Garde presents a highly original examination of the formidable influence that The Communist Manifesto exerted on the shape of modern art. As Puchner describes it, Marx and Engels developed the form “that would help revolutionary modernity to know itself, to arrive at itself, to make and to manifest itself” (1). Focusing on the translation and distribution of The Communist Manifesto, its more explicit “modulation from political into artistic form,” and the manifesto’s “notions of futurity, theatricality, and performativity … Poetry of the Revolution reveal[s] how the manifesto moved from a socialist document, to an artistic genre, to a form of art.”
As Byala points out, analyzing a seminal political work in terms of a category — genre — that it was perhaps thought to transcend allows Puchner to chart the expansive artistic influence of The Manifesto. Rita Felski’s collection of essays, Rethinking Tragedy, likewise exhibits an understanding of genre that eschews “rigid taxonomies.” As Verna Foster notes, while Felski’s collection “retains a sense of the aesthetic form that contains and shapes the tragic as experience,” the more inclusive concept of “mode” allows the essays to address the tragic as both a philosophical idea and a component of many contemporary art forms and fields. As such, the collection moves beyond the conventional constraints of many studies to consider the persistence of the tragic in contemporary expression and in forms and fields other than drama — namely, film, popular culture, philosophy, and politics.
In this issue, we append a list of Books Received in 2008. We would be glad to hear from readers interested in reviewing any of them.
Terjemahan
Bryn Mawr
Resensi Sastra Bandingan
Volume 7, Nomor 1 (Fall 2008)
Indeks
Masalah ini dibuka dengan resensi esai Carlo Salzani di buku Samuel Weber pada Walter Benjamin. Salzani-Benjamin menemukan kemampuan “brilian tekstual” dalam ketelitian perhatiannya mengamati kedua-duanya bahasa Benjamin (teks Jerman dan “masalah dan inkonsistensi dari terjemahan bahasa Inggris”) dan teori bahasa. Sebagai catatan Salzani, Weber meneliti penanda Benjamin yakni “kecenderungan untuk membentuk konsep dengan jalan lain untuk barkeit akhiran” (4) [yang dalam bahasa Inggris dapat ditulis baik-ibility atau kemampuan] “sebagai tanda hubungan yang lebih dalam antara konstruksi linguistik dan cara berfilsafat Benjamin. ”
Sebuah istilah seperti iterability menjadi penting dalam melukiskan perlawanan Benjamin untuk oposisi hierarkis, terutama untuk mensubordinasi kemungkinan aktualitas. Bagi Weber, nominalizations Benjamin menawarkan konsep virtual, “tak terpisahkan dari waktu sejauh yang melibatkan, berkelanjutan terus yang belum selesai, dan proses tidak terduga” (7). Sementara di estimasi sendiri Benjamin, teks harus dipahami tidak hanya dalam konteks waktu mereka sendiri tetapi juga dalam perubahan mereka dan mengerjakan ulang terus menerus dalam konstelasi dengan kami saat ini, kembali Weber-membaca tulisan Benjamin sebagai keabadian atau pengulangan virtuality adalah bermasalah, Salzani berpendapat. Itulah, tampaknya menekankan ketidakmungkinan untuk menerjemahkan, menafsirkan, dan membaca dengan mengorbankan garis Benjamin sendiri metodologi untuk membaca karyanya dan penekanannya pada aktualitas dan aktualisasi. Dalam pandangan Salzani’s, metode Benjamin tidak statis dalam upaya untuk meraih koherensi. Sebaliknya, itu “hampir menganjurkan membaca yang akan terpolarisasi oleh,” dan “dimasukkan ke dalam konstelasi dengan kita sekarang.” Lebih jauh, “[sebuah artefak sa] budaya, ia meminta untuk dilanggar dan membaca terhadap butir waktu dan kita sendiri dan dengan demikian kembali tertulis dalam praktek baru, kembali berkumpul dan kembali dibuat selalu baru.”
Sebuah resensi esai kedua dalam edisi ini juga berfokus pada bagaimana terjemahan dan teori bahasa dan materi tekstualitas untuk memahami sejarah dan transformasi karya sejarah dan hidup terus di rasi dengan kita sekarang. Sebagai review Jon Salomo menunjukkan, The Clash of Empires dicatat tidak hanya untuk membaca dengan hubungan internasional Inggris-Cina, namun untuk presentasi dengan cara di mana teori semiotik memperdalam pemahaman kita tentang kolonialisme, pasca-kolonialisme, hukum internasional, feminisme, perbandingan tata bahasa dan (dalam koda a) tahta kekaisaran, di tempat atau dijarah, sebagai jimat. Kunci untuk pendekatan Liu untuk hubungan Inggris-Cina terletak sebagian besar dalam teori semiotik Peirce. Liu historis didasarkan link semiotika argumen untuk “teknologi komunikasi militer novel telegraphic pada paruh kedua abad kesembilan belas.” Liu membaca kerajaan menyediakan “grid teoritis dan sejarah… [untuk] masalah [intersubjektivitas dan] keasingan, indexicality, dan kekerasan dalam terang pekerjaan” oleh Peirce, Foucault, Bataille, dan teoretikus lain.
Untuk Liu juga, yang “mendramatisir pertemuan pertama” dari Defoe, Robinson Crusoe dengan Jumat, di mana deixis dan indexicality – jari menunjuk Crusoe meluas ke pistolnya – merupakan ritual “akrab penaklukan dan fetisisme di Eropa membayangkan pertemuan pertama . ” Episode ini membantu muka Liu argumen untuk “benturan” yang disimbolkan dalam “terjemahan dari karakter Cina tertulis” yi “pada saat Perang Opium.” Apakah “yi” berarti “asing”? “Barbar”? “Asing”? “Non-Cina”? Inggris percaya bahwa karakter Cina diucapkan “yi” berarti “barbar” – meskipun etimologi Yunani istilah terakhir – bahwa itu ditujukan pada mereka, dan karena itu memastikan bahwa itu dilarang di dua artikel terpisah dari Perjanjian Tianjin dari 1858. Saat Liu menulis, “Sebuah banyak yang dipertaruhkan ketika datang untuk mengidentifikasi ‘barbar benar’ untuk peradaban. Taruhannya meningkat lebih tinggi dengan skandal kata” yi “karena ucapan yang keluar dari isu-isu bahasa non-Eropa masyarakat yang dianggap kurang beradab oleh Inggris. Dengan kata lain, karakter Cina “yi” tampaknya telah dibuang kembali ke peradaban barbar itu sendiri dan berubah menjadi perusahaan ganda dan citra cermin. ”
Dalam pertemuan kekaisaran, kita melihat penciptaan tanda-super tripartit, bagian-bagian yang dipisahkan dengan garis miring: 夷 / “yi” / barbar. Liu menganggap ini sebagai barang ganjil “linguistik,” rantai “yang menunjukkan hetero-budaya, hibrida fantastis konsep diterjemahkan.” Dari alam tanda-tanda positif, “kita telah diangkut – atau diterjemahkan -” ke dalam bidang makna terpesona, ekses signifikansi, “dan banyak lagi.
Ulasan dari tiga teks dalam tanda ini masalah kepentingan terus-menerus dalam kualitas liminal pengalaman dan artefak, terletak di perbatasan antara manusia dan bukan manusia. Sebagai Dorian Stuber menulis dalam tinjauannya tentang Daniel Heller-Roazen’s Echolalias: Di Melupakan Bahasa dan The Touch batin: Arkeologi dari Sensasi, “[t] ogether mereka mengeksplorasi hubungan rasionalitas untuk kelebihan, di mana rasionalitas didefinisikan sebagai gabungan dari bahasa dan kesadaran, dan … kelebihan … alasan apa pun masalah, Membatalkan, namun rasionalitas itu. ” Dalam Echolalias “kelebihan melekat di perbatasan pra-verbal bahasa; dalam The Touch melekat batin kelebihan … pengertian umum untuk semua makhluk yang memungkinkan mereka untuk merasa diri mereka sebagai sensing dan dengan demikian sebagai hidup.”
Nisa Daniel Cáceres terletak dengan Elaine Freedgood Ide di The Things dalam bidang studi sekarang luas objek atau hal teori, sebuah badan interdisipliner kerja yang terus menguji batas kaku antara orang dan hal-hal yang telah menuntun banyak budaya Barat. A Sense Meminjam Bill Brown of Things: The Matter Objek Sastra Amerika (2003) (dan review Gustavus Stadler tentang bahwa teks dalam Volume 5, Nomor 1 [Spring 2005] dari BMRCL), Cáceres menerangi bagaimana Freedgood “mengambil budaya, sejarah, sosial dan bahan kualitas “dari” objek konsumsi tampaknya tidak penting. ” Untuk Cáceres, Freedgood melakukan sebuah “kuat metonimis” membaca pokok produksi (muncul dalam Jane Eyre, Mary Barton dan Great Expectations) “dengan mengambil hal sastra secara harfiah dan mengandalkan ‘” mediasi “-” orang-orang sejarawan tekstil dan tembakau , kehutanan dan furnitur “(5) – yang dapat menerangi [masa lalu] suatu hal yang” Sebagai. seperti, studinya eschews “figurasi sastra rutin yang menghalangi interpretasi dari hal yang paling realisme” (5), dan garis bawah bagaimana hal-hal tidak “diwajibkan untuk hubungan metafora di mana mereka harus memberikan sebagian besar kualitas mereka dalam pelayanan hubungan simbolik” (10).
Martin membutakan’s Estetika dari tampil menawarkan meditasi pada pertemuan liminal yang menginformasikan pengalaman kita tentang benda, lingkungan, orang, dan atmosfer. Bahkan jika, sebagai catatan Mario Wenning, membutakan pekerjaan berangkat dari studi yang waspada mencari esensi “seni dan estetika pengalaman,” muncul estetika tetap menekankan batas sementara dan hubungan: “[itu] memungkinkan kita dengan kesadaran singkat sifat realitas dan tempat kita di realitas ini. ” Sebuah kesadaran akan realitas dan tempat kita di dalamnya menimbulkan pertanyaan etis dan politik yang mendalam. Meskipun, untuk Wenning, menutup mata tidak mengeksplorasi ini sebagai secara langsung dan sepenuhnya sebagai dia mungkin, pertanyaan tersebut muncul terus-menerus, terutama ketika membutakan berpendapat bahwa arti dari kekerasan yang terjadi, misalnya, antara pelaku dan korban “tidak dapat dipahami secara terpisah dari posisi tambahan … penonton “(188) (karena tindakan seperti” sering dilakukan dengan perspektif hadiah atau tidak ada penonton dalam pikiran “).
Sebagai catatan Megan Craig, “[sebuah lthough] judul” Memori waspada R. Clifton Spargo’s: Emmanuel Levinas, Holocaust, dan Kematian yang tidak jujur “menunjukkan itu adalah studi tentang Levinas dalam terang dari Holocaust, juga merupakan segi pertahanan dan kritik terhadap Levinas, respon terhadap kritik Alain Badiou tentang etika Levinas sebagai apolitis, peringatan terhadap “kesalahan-kesalahan dari budaya demokrasi Barat …” (120) waspada Memori. jujur bertujuan “untuk menguji kelayakan dan batas-batas etika Levinasian di abad ke dua puluh satu dan bertanya “dalam arti apa etika akan dikatakan telah berlaku di dunia politik” (18).
Dua teks dibahas dalam edisi ini menunjukkan pentingnya pemahaman genre atau genre tertentu dalam arti luas. Untuk Gregory Byala, Puisi Martin Puchner tentang Revolusi: Marx, Manifesto dan Avant-Garde menyajikan ujian yang sangat asli dari pengaruh hebat yang Manifesto Komunis diberikan pada bentuk seni rupa modern. Sebagai Puchner menjelaskan itu, Marx dan Engels mengembangkan bentuk “yang akan membantu modernitas revolusioner untuk mengenal dirinya sendiri, untuk sampai pada dirinya sendiri, untuk membuat dan mewujudkan dirinya sendiri” (1). Fokus pada terjemahan dan distribusi dari Manifesto Komunis, lebih eksplisit yang “modulasi dari politik ke dalam bentuk artistik,” dan “manifesto itu pengertian tentang keakanan, sandiwara, dan performativitas … Puisi Revolusi mengungkapkan [s] bagaimana manifesto pindah dari sosialis dokumen, ke genre artistik, untuk suatu bentuk seni. ”
Byala menunjukkan, menganalisis karya politik yang berkembang dalam hal kategori – genre – bahwa mungkin berpikir untuk mengatasi kemungkinan Puchner untuk bagan pengaruh artistik ekspansif Manifesto. koleksi esai Rita Felski, Rethinking Tragedi, pameran juga pemahaman dari genre yang eschews “taksonomi kaku.” Sebagai Verna Foster catatan, sementara koleksi Felski’s “mempertahankan rasa bentuk estetika yang mengandung dan membentuk tragis sebagai pengalaman,” konsep yang lebih inklusif “mode” memungkinkan esai ke alamat yang tragis baik sebagai ide filosofis dan komponen banyak bentuk seni kontemporer dan ladang. Dengan demikian, koleksi bergerak di luar batasan konvensional banyak studi untuk mempertimbangkan kegigihan dari tragis dalam ekspresi kontemporer dan dalam bentuk dan bidang lain dari drama – yaitu, film, budaya populer, filsafat, dan politik.
Dalam edisi ini, kami tambahkan daftar Buku yang diterima di tahun 2008. Kami akan senang mendengar ada pembaca yang tertarik meresensi salah satu dari mereka.
Kesimpulan
Dua teks dibahas dalam edisi ini menunjukkan pentingnya pemahaman genre atau genre tertentu dalam arti luas. Untuk Gregory Byala, Puisi Martin Puchner tentang Revolusi: Marx, Manifesto dan Avant-Garde menyajikan ujian yang sangat asli dari pengaruh hebat yang Manifesto Komunis diberikan pada bentuk seni rupa modern. Sebagai Puchner menjelaskan itu, Marx dan Engels mengembangkan bentuk “yang akan membantu modernitas revolusioner untuk mengenal dirinya sendiri, untuk sampai pada dirinya sendiri, untuk membuat dan mewujudkan dirinya sendiri” (1). Fokus pada terjemahan dan distribusi dari Manifesto Komunis, lebih eksplisit yang “modulasi dari politik ke dalam bentuk artistik,” dan “manifesto itu pengertian tentang keakanan, sandiwara, dan performativitas … Puisi Revolusi mengungkapkan [s] bagaimana manifesto pindah dari sosialis dokumen, ke genre artistik, untuk suatu bentuk seni. ”
http://www.brynmawr.edu/bmrcl/listing.html
Book reviews — The Homeric Narrator by Scott Richardson
Comparative Literature, Winter 1994 by Bassi, Karen
The Homeric Narrator. By Scott Richardson. Ithaca: Cornell University Press, 1990. 279p.
Scott Richardson’s purpose in The Homeric Narrator is “to examine the signs of [the Iliad and the Odyssey’s narrator’s] presence in the discourse, that is, to describe his habits in keeping his activity hidden and in choosing to show his hand in the fabrication of the discourse–in what ways he does so, to what degree, how frequently, and in what situations” (p. 5). His methodology is the narratology of Genette and Chatman. In particular, Genette’s study of Proust provides a “model for using narrative theory in the study of a specific text” (p. 3). The book is divided into seven chapters, each titled according to the narratological category under consideration (e.g., Summary, Pause), and an Appendix in which Richardson treats Odyssey 5.315-443 in detail.
The reader is invited to agree that the theoretical categories which Genette proposed for Proust can elucidate Homer. In order to do this, he or she must accept the value of Genette’s method as a general practice and/or that the Iliad is somehow like the Recherche. Genette has acknowledged the problem of the general applicability of narratology’s categories of analysis.(1) But Richardson largely ignores this problem to the point of claiming that oral-formulaic studies are “peripheral” to his conclusions (he rightly contends that the possibility of dual authorship is unimportant, pp. 6-7). Here Richardson’s implicit desire to read the epics as modern novels betrays an anachronistic comparative technique whose implications he doesn’t examine. Some generic distinctions exist in terms of comparison, but Richardson’s method is to offer passages from modern novels (e.g., The French Lieutenant’s Woman, Anna Karenina, The Hobbit–and these too as if they were the products of a single cultural milieu) only to demonstrate narratological classification (e.g., summary, pause, etc.). He explains that “comparison with other narratives is essential to clarify and to illustrate the categories as well as to establish Homer’s distinctiveness as a narrator. Consequently, I shall make liberal use of examples from other narratives, largely modern, to place these most ancient of Western narratives in a broader context than classical epic” (pp. 7-8). In fact, Richardson’s method makes vague whatever he means by Homer’s “distinctiveness” and his “broader context” becomes no (or any) context. Moreover, the differences between poetic and prose texts are largely ignored. Comparison here leads to implicit assimilation and in this case the narrative voice in the epic is “unique” only insofar as it is not like that of the novel. For example, on page 201 Richardson tells us to notice that “Homer does not make use of narrative’s usual alternation between scene and summary” (emphasis added). What determines what is “usual” in narrative? The answer must be that which is common to the modern western novel–an answer which only begs the question of why the ancient Greek epic merits negative comparison with it.
Narrative theory can be useful for Homeric studies and Richard P. Martin’s recent book, The Language of Heroes: Speech and Performance in the Iliad (Cornell, 1989) offers some informative examples. Martin takes a cross-cultural and “performance centered approach” (p. 7) to the construction of the Homeric narrator and argues that speakers of “mythoi” as a marked category in the Iliad “commit themselves to a full enactment of their words before an audience that can criticize these acts; they thus accomplish ‘performances’ of verbal art, in a manner not different from that of poets and storytellers immersed in the performance situation” (p. 47).(2) Homeric apostrophe (like recusatio pp. 223ff.), for example, is explained in terms of a “specific association between the narrator and Achilles, the focalizer of the narration”(p. 236) by which Achilles’s performance in the poem shares its technical virtuosity with that of the poem’s narrator (cf. p. 220). This shared virtuosity is then analyzed in terms of the poet’s status in an agonistic culture. In contrast, Richardson interprets apostrophes as intrusions by which “the narratee becomes an intimate of Patroklos, Menelaos, and Eumaios” (p. 174). One might conversely interpret such “intrusions” as distancing the narratee from the apostrophized character by emphasizing the narrator’s privileged position (as Martin’s analysis suggests); indeed Richardson’s own discussion of Culler (p. 174) might have led him to such a conclusion. While Martin’s judicious use of narratology situates the narrator within a cultural context, Richardson’s focused technicality often leads him to obvious, incomplete and/or contradictory conclusions. For example, he says that the numerous pauses over minor characters, e.g. androktasiai, remind us “of the humanity of those killed” (p. 46).” But the stock nature of these pauses conversely flattens out that “humanity” as each named warrior becomes a vehicle for standard elaboration.
Richardson’s frequent insistence that the Homeric narrator only acts in a particular scene’s “best interests” is perhaps his vaguest line of argument–especially since the criteria upon which he bases his position as the arbiter of those best interests are unclear. In his discussion of the Trojan elders’ conversation about Helen (Il. 3.154-60), he concludes that “pseudo-direct” discourse is required:
Indirect quotation or a report of their discussion would be inadequate here. It is advantageous at this point to establish Helen’s incomparable beauty and to remind us that the mass slaughter we will be seeing throughout the poem stems from this beauty. The conversation, therefore, plays an important role in the scene, but since it does not have any bearing on the plot, there is no reason to bring it up only to mention it in summary fashion. (p. 81)
Why indirect quotation or summary would be inadequate here is not satisfactorily explained; direct quotation is presumably inadequate because the “scene would be weakened by a faithful rendering of the entire conversation” (p. 82). Perhaps this is because “three-fifths of the Homeric poems are in direct speech” (p. 70) and, consequently, direct speech is not sufficiently market in the text. But Richardson argues for the opposite conclusion: “If the scene is built around a speech or if the words are integral to a full appreciation of the scene, anything short of direct quotation would be deficient” (p. 82). In other words he implies that any scene in which spoken discourse is included (e.g., Il. 3.154-60) is strengthened (not weakened) by direct quotation. At issue here is Richardson’s reliability in determining a scene’s “best interests.” Also at issue is whether or not his understanding of a scene’s “strength” or “weakness” is rooted in a privileging of the individual voice (direct speech) over the collective voice (represented in “pseudo-direct” speech) and the implications of this privileged status for the political history of western narrative.
More compelling is Richardson’s discussion of chronological sequencing (Chapter 4: Order). Following Zielinski’s lead in treating simultaneous events in the epic, Richardson notes that “Homer chooses to conceal his power of manipulating the temporal arrangement of events and to maintain the illusion of a steady chronological course of events” (p. 91). Richardson often presents convincing evidence of the narrator’s reluctance to overtly “manipulate” the story, although the fact that Richardson (for example) notices this “reticence” leaves open the question of what it means for the narrator to “choose” to conceal his manipulation of the story’s progression. In other words, Richardson does not differentiate between a narrator who keeps his activity hidden and one who represents himself as doing so.(3) This discussion of chronological sequencing and narrative voice invites comparison with later Greek historical writing–a comparison which would “historicize” the consequences of that choice in the context of competing modes of representing social reality.(4)
I appreciate Richardson’s attempt to familiarize or de-classify the Homeric epic by comparing it to modern texts, but I question the price of this familiarity–especially because it relies on subsuming cultural critique under aesthetic categories. When Richardson says that Homeric similes can situate us in our “own everyday world” (p. 66) this familiarizing tendency would even convince twentieth-century postmodern Americans that archaic Greeks were essentially like us. But more to the point, and as a result of a lack of consideration for the political, social, and historical contexts of texts, Richardson’s study makes the Homeric narrator into a second-hand (or second-rate) novelist. While the book provides some useful insights into specific passages, it also disappoints. For example, the Appendix (pp. 201-07) reduces Odysseus’s difficult voyage from Kalypso’s island and encounter with Leucothea (Odyssey 5.315-443) to a list of terms (e.g., Od. 5.424 is an “appositive summary, signalling the end of the monologue”). The entry for Od. 5.321 reads: “Explanation and identification. Why could he not resurface? Because the clothes weighed him down. What clothes? The ones Kalypso had given him. The narrator does not leave it for us to figure out the cause of his problem; it is his responsibility to give us a clear understanding of the events.” Since Richardson’s purpose in the Appendix is to demonstrate that fragmentation” need not come with narratological “classification” (201) we can only conclude from these examples that it does and that charting the Homeric narrator on his narratological map leaves us adrift.
1 See his Preface to Narrative Discourse and Narrative Discourse Revisited 11-12.
2 I assume Martin’s book was published too late for Richardson to have seen it. Also useful is Mark Edwards, Horner, Poet of the Iliad (Baltimore and London, 1987) whose application of narratological catagories is less insistent but whose conclusions nevertheless anticipate some of Richardson’s.
3 This important distinction was clarified for me by Harry Berger, Jr.
4 See Hayden White, “The Value of Narrativity in the Representation of Reality,” Critical Inquiry 7 (1980). Now Chapter 1 of The Content of the Form (Johns Hopkins University Press, 1987).
Terjemahan
Resensi Buku – The Narator Homer oleh Scott Richardson
Perbandingan Sastra, Musim Dingin 1994 oleh Bassi, Karen
Narator Homer. Oleh Scott Richardson. Ithaca: Cornell University Press, 1990. 279 hal
Tujuan Scott Richardson dalam The Narator Homer adalah “untuk memeriksa tanda-tanda dari [Iliad dan narator Kehadiran] Odyssey dalam wacana, yaitu, untuk menggambarkan kebiasaan dalam menjaga aktivitas tersembunyi dan dalam memilih untuk menunjukkan tangannya dalam pembuatan wacana – dalam hal apa ia melakukan itu, untuk apa, seberapa sering, dan dalam situasi apa “(hal. 5). metodologi-Nya adalah Kultural dari Genette dan Chatman. Secara khusus, studi Genette tentang Proust menyediakan model “untuk menggunakan teori naratif dalam studi teks tertentu” (hal. 3).
Buku ini dibagi menjadi tujuh bab, masing-masing berjudul sesuai dengan kategori narratological sedang dipertimbangkan (misalnya, Ringkasan, Jeda), dan Lampiran yang memperlakukan Richardson Odyssey 5,315-443 secara rinci.
Pembaca diundang untuk setuju bahwa kategori-kategori teoritis yang diusulkan untuk Genette Proust bisa menjelaskan Homer. Untuk melakukan hal ini, ia harus menerima nilai metode Genette sebagai praktek umum dan / atau bahwa Iliad bagaimanapun seperti halus. Genette telah mengakui masalah penerapan umum kategori Kultural tentang analisis (1) Tetapi. Richardson sebagian besar mengabaikan masalah ini sampai titik mengklaim bahwa studi oral-aturan yang “pinggiran” untuk kesimpulannya (ia benar berpendapat bahwa kemungkinan dual penulisnya tidak penting, hal 6-7).. Di sini keinginan implisit Richardson untuk membaca epos sebagai novel modern mengkhianati teknik komparatif anakronistik implikasi yang dia tidak memeriksa. Beberapa perbedaan generik ada dalam hal perbandingan, tetapi metode Richardson adalah menawarkan bagian dari novel modern (misalnya, Sang Letnan Prancis Perempuan, Anna Karenina, The Hobbit – dan ini juga seolah-olah mereka adalah produk dari lingkungan budaya tunggal) hanya untuk menunjukkan klasifikasi narratological (misalnya, ringkasan, berhenti, dll). Dia menjelaskan bahwa “dibandingkan dengan kisah lainnya sangat penting untuk mengklarifikasi dan mengilustrasikan kategori serta untuk membangun kekhasan Homer sebagai narator sebuah Karena itu, saya akan memanfaatkan liberal contoh dari narasi lainnya, sebagian besar modern, ke tempat ini paling kuno. Barat narasi dalam konteks yang lebih luas dari epik klasik “(hal. 7-8). Bahkan, metode Richardson membuat jelas apa pun yang dia maksudkan dengan “kekhasan Homer’s” dan “konteks yang lebih luas” menjadi tidak ada (atau konteks). Selain itu, perbedaan antara teks-teks prosa puitis dan diabaikan. Perbandingan di sini mengarah pada asimilasi implisit dan dalam hal ini suara narasi dalam epik adalah “unik” hanya sejauh yang tidak seperti itu dari novel. Misalnya, pada halaman 201 Richardson memberitahu kita untuk melihat bahwa “Homer tidak menggunakan narasi biasa pergantian di antara adegan dan ringkasan” (penekanan ditambahkan). Apakah yang menentukan apa yang “biasa” dalam cerita? Jawabannya harus bahwa yang umum untuk novel barat modern – sebuah jawaban yang hanya menimbulkan pertanyaan tentang mengapa manfaat epik Yunani kuno perbandingan negatif dengan itu.
Narasi teori dapat berguna untuk studi Homer dan Richard P. Martin ‘buku baru, The Heroes Bahasa: Pidato dan Kinerja dalam Iliad (Cornell, 1989) menawarkan beberapa contoh informatif. Martin mengambil lintas-budaya dan “kinerja berpusat pendekatan” (hal. 7) untuk pembangunan narator Homer dan berpendapat bahwa pembicara dari “mythoi” sebagai kategori ditandai dalam Iliad “komitmen untuk suatu berlakunya penuh kata-kata mereka sebelum penonton yang dapat mengkritik tindakan; mereka sehingga mencapai ‘pertunjukan’ seni verbal, dengan cara yang tidak berbeda dengan para penyair dan pendongeng terbenam dalam situasi kinerja “(hal. 47). (2) Homer apostrof (seperti hal recusatio 223ff..), misalnya, dijelaskan dalam hal hubungan “khusus antara narator dan Achilles, yang focalizer dari narasi” (hal. 236) oleh yang Achilles’s kinerja saham puisi keahlian teknis dengan bahwa dari puisi itu (cf. narator hal 220). Bersama ini keahlian ini kemudian dianalisis dalam hal status penyair dalam budaya atletik. Sebaliknya, Richardson menafsirkan apostrof sebagai intrusi oleh yang “narasi yang menjadi intim Patroklos, Menelaos, dan Eumaios” (hal. 174). Satu sebaliknya bisa menginterpretasikan seperti “intrusi” sebagai menjauhkan narasi dari karakter apostrophized dengan menekankan posisi istimewa narator (sebagai analisis Martin menyarankan); memang diskusi sendiri Richardson dari Culler (hal. 174) mungkin membawanya pada kesimpulan semacam itu. Sementara menggunakan bijaksana Martin tentang Kultural terletak dengan narator dalam konteks budaya, teknis
Richardson terfokus sering mengarah ke jelas, tidak lengkap dan / atau kesimpulan yang bertentangan. Misalnya, ia mengatakan bahwa berbagai karakter jeda lebih kecil, misalnya androktasiai, mengingatkan kita “dari kemanusiaan yang terbunuh” (hal. 46) “Tapi. sifat saham berhenti ini sebaliknya rata bahwa” kemanusiaan “, karena setiap prajurit bernama menjadi kendaraan untuk elaborasi standar.
desakan sering Richardson bahwa narator Homer hanya bertindak dalam sebuah adegan tertentu yang “kepentingan terbaik” mungkin line-nya samar argumen – terutama karena kriteria di atas mana dia mendasarkan posisinya sebagai wasit dari kepentingan-kepentingan terbaik tidak jelas. Dalam pembahasannya tentang percakapan tetua Trojan ‘tentang Helen (Il. 3,154-60), ia menyimpulkan bahwa “pseudo-langsung” wacana ini:
kutipan tidak langsung atau laporan diskusi mereka akan memadai di sini. Hal ini menguntungkan pada saat ini untuk membangun keindahan tak tertandingi Helen dan mengingatkan kita bahwa pembantaian massal kita akan melihat seluruh puisi itu berasal dari keindahan ini. Percakapan Oleh karena itu, memainkan peran penting dalam adegan itu, tetapi karena tidak ada hubungannya dengan plot, tidak ada alasan untuk membawa itu hanya menyebutkan dalam mode ringkasan. (Hal. 81)
Kenapa tidak langsung kutipan atau ringkasan akan memadai di sini adalah tidak memuaskan dijelaskan; kutipan langsung diduga tidak memadai karena adegan “akan menjadi lemah oleh render setia seluruh percakapan” (hal. 82). Mungkin ini karena “tiga-perlima dari puisi Homer dalam pidato langsung” (hal. 70) dan, akibatnya, pidato langsung tidak cukup pasar dalam teks. Tapi Richardson berpendapat untuk kesimpulan yang berlawanan: “Jika adegan itu dibangun sekitar pidato atau jika kata-kata merupakan bagian integral dari apresiasi yang penuh adegan itu, apa pun singkat kutipan langsung akan kekurangan” (hal. 82). Dengan kata lain ia menyiratkan bahwa setiap adegan di mana wacana lisan disertakan (misalnya, Il. 3,154-60) diperkuat (tidak lemah) oleh kutipan langsung. Pada masalah di sini adalah kehandalan Richardson dalam menentukan “kepentingan adegan yang terbaik.” Juga pada masalah adalah apakah atau tidak pemahamannya tentang “kekuatan sebuah adegan” atau “kelemahan” berakar dalam mengistimewakan dari suara individu (pembicaraan langsung) atas suara kolektif (diwakili dalam “pseudo-langsung” pidato) dan implikasi dari ini status istimewa untuk narasi sejarah politik barat.
Lebih menarik adalah diskusi Richardson sekuensing kronologis (4 Bab: Order). Setelah memimpin Zielinski dalam memperlakukan kejadian simultan dalam kisah, Richardson mencatat bahwa “Homer memilih untuk menyembunyikan kekuasaannya memanipulasi susunan temporal peristiwa dan untuk menjaga ilusi kursus mantap kronologis kejadian” (hal. 91). Richardson sering menyajikan meyakinkan bukti keengganan narator untuk terang-terangan “memanipulasi” cerita, meskipun fakta bahwa Richardson (misalnya) pemberitahuan ini keengganan “” daun membuka pertanyaan apa artinya bagi narator untuk “memilih” untuk menyembunyikan manipulasi nya terhadap pengembangan cerita. Dengan kata lain, Richardson tidak membedakan antara narator yang terus aktivitasnya tersembunyi dan satu yang mewakili dirinya sebagai melakukannya (3) diskusi ini urutan kronologis dan suara narasi mengundang perbandingan dengan kemudian menulis sejarah Yunani – perbandingan. Yang akan ” historicize “konsekuensi dari pilihan itu dalam konteks mode bersaing mewakili realitas sosial. (4)
Saya menghargai upaya Richardson untuk membiasakan atau de-mengklasifikasikan epik Homer dengan membandingkannya dengan teks-teks modern, tapi aku pertanyaan harga keakraban ini – terutama karena hal itu bergantung pada subsuming kritik budaya bawah kategori estetika. Ketika Richardson mengatakan bahwa Homer simile dapat menempatkan kita dalam “dunia sehari-hari kita sendiri” (hal. 66) kecenderungan ini membiasakan bahkan akan meyakinkan Amerika abad kedua puluh postmodern bahwa pada dasarnya orang Yunani kuno seperti kami. Tapi lebih tepatnya, dan sebagai akibat dari kurangnya pertimbangan untuk konteks politik, sosial, dan historis dari teks, studi Richardson membuat narator Homer menjadi tangan kedua (atau kedua-rate) novelis. Sementara buku ini memberikan beberapa wawasan yang berguna dalam bagian-bagian tertentu, juga mengecewakan. Sebagai contoh, Lampiran (hal. 201-07) mengurangi perjalanan Odiseus sulit dari pulau Kalypso dan perjumpaan dengan Leucothea (Odyssey 5,315-443) untuk daftar istilah (misalnya, OD 5,424 adalah ringkasan “appositive., Menandai akhir monolog “). Entri untuk OD. 5,321 berbunyi: “Penjelasan dan identifikasi Kenapa dia tidak muncul lagi? Karena pakaian yang berat ke bawah pakaian Apa?. Kalypso Yang telah memberinya. Narator tidak meninggalkan bagi kita untuk mengetahui penyebab masalahnya;. Itu tanggung jawabnya untuk memberikan kita pemahaman yang jelas dari peristiwa. ” Karena tujuan Richardson dalam Lampiran adalah untuk menunjukkan bahwa fragmentasi “tidak perlu datang dengan narratological” klasifikasi “(201) kita hanya bisa menyimpulkan dari contoh-contoh yang yang dilakukan dan yang memetakan peta narator Homer narratological nya membuat kita terapung-apung.
1 Lihat Kata Pengantar untuk Wacana Narasi dan Wacana Narasi Revisited 11-12.
2 Aku menganggap buku Martin diterbitkan terlambat untuk Richardson untuk melihatnya. Juga berguna adalah Mark Edwards, Horner, Penyair dari Iliad (Baltimore dan London, 1987) yang aplikasi kategori narratological kurang mendesak tetapi kesimpulan yang tetap mengantisipasi beberapa Richardson.
3 Perbedaan penting adalah jelas bagi saya oleh Harry Berger, Jr
4 Lihat Hayden White, “Nilai Narrativity dalam Representasi Realitas,” Kritis Pertanyaan 7 (1980). Sekarang Bab 1 The Isi Formulir (Johns Hopkins University Press, 1987).
Kesimpulan
Perbandingan di sini mengarah pada asimilasi implisit dan dalam hal ini suara narasi dalam epik adalah “unik” hanya sejauh yang tidak seperti itu dari novel. Misalnya, pada halaman 201 Richardson memberitahu kita untuk melihat bahwa “Homer tidak menggunakan narasi biasa pergantian di antara adegan dan ringkasan” (penekanan ditambahkan). Apakah yang menentukan apa yang “biasa” dalam cerita? Jawabannya harus bahwa yang umum untuk novel barat modern – sebuah jawaban yang hanya menimbulkan pertanyaan tentang mengapa manfaat epik Yunani kuno perbandingan negatif dengan itu.
http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3612/is_199401/ai_n8717082/?tag=content;col1
Just what genuinely motivated u to compose “Remedial Sanding Reg A dan B
blog sainul hermawan”? I personallyseriously adored the
post! Thank you ,Cyril
Your own report offers proven necessary to me.
It’s extremely helpful and you’re clearly extremely knowledgeable in this field. You get popped my own face to different thoughts about this kind of subject matter along with intriguing, notable and reliable content.
Hello mates, how is everything, and what you want to say regarding this post, in my view its truly amazing designed for me.
Hi! This is my first visit to your blog! We are a
team of volunteers and starting a new project in a community in the same niche.
Your blog provided us beneficial information to work
on. You have done a wonderful job!
Thanks for the marvelous posting! I seriously enjoyed reading it, you could be a great author.
I will always bookmark your blog and will often come back later on.
I want to encourage you continue your great posts, have a nice weekend!
The current, contemporary flair of sculpture is always not
easily specified. Add some bulb eco-friendly fertilizer or bone
food for a exceptional show next spring.
I know this if off topic but I’m looking into starting my own weblog and was wondering what all is needed to get setup? I’m assuming having a blog like yours would
cost a pretty penny? I’m not very internet smart so I’m not 100% positive.
Any suggestions or advice would be greatly appreciated.
Kudos
So you will never forced to repay. Before you make any decisions regarding bankruptcy, be sure you are very
thorough with your application and assess your financial burden.
Why Consider Debt Settlement If you have a lawsuit filed against help on debt you, it is really meant
for an emergency, a debt consolidation program, and even threatening.
The national help on debt program has another benefit. This again refers to the person without
any prior notification.
If some one wants expert view on the topic of
blogging and site-building then i advise him/her to
pay a quick visit this web site, Keep up the nice job.
I am really glad to glance at this blog posts which includes
lots of useful facts, thanks for providing these statistics.
Having read this I believed it was really informative. I appreciate you spending some time and effort to put this article together. I once again find myself spending a significant amount of time both reading and commenting. But so what, it was still worth it!
Unquestionably consider that that you said. Your favourite reason appeared to be on the net the easiest factor to take into accout of.
I say to you, I certainly get annoyed whilst other folks consider issues that they
plainly don’t recognise about. You managed to hit the nail upon the highest as well as defined out the entire thing with no need side effect , other folks could take a signal. Will probably be again to get more. Thank you
Heya! I realize this is kind of off-topic but I had to ask.
Does operating a well-established website such as yours require a large amount of
work? I’m brand new to blogging but I do write in my journal every day. I’d like to start a blog so I can easily share my personal experience and thoughts online.
Please let me know if you have any kind of
suggestions or tips for brand new aspiring bloggers. Appreciate it!
WOW just what I was searching for. Came here by
searching for John Zadel
Does your site have a contact page? I’m having problems locating it but, I’d like to shoot you an
e-mail. I’ve got some creative ideas for your blog you might be interested in hearing. Either way, great website and I look forward to seeing it grow over time. Many thanks!
Hello! This is kind of off topic but I need some guidance from an established blog.
Is it very difficult to set up your own blog? I’m not very techincal but I can figure things out pretty quick. I’m
thinking about setting up my own but I’m not sure where to start. Do you have any ideas or suggestions? Thanks and more thanks!
Hi are using WordPress for your site platform?
I’m new to the blog world but I’m trying to get started and set up
my own. Do you need any html coding expertise to make your own blog?
Any help would be really appreciated!
There’s obviously much to learn about this. I think you made some good tips in Features as well. It’s been
so very much appreciated!
Wow, this paragraph is pleasant, my younger sister is analyzing such
things, therefore I am going to
inform her.
What’s up, all is going fine here and ofcourse every one is sharing data, that’s genuinely fine, keep up writing.
Hello, after reading this amazing post i am also glad
to share my experience here with colleagues.
Hi there are using WordPress for your site platform?
I’m new to the blog world but I’m trying to get started and create my
own. Do you require any html coding expertise to make your own
blog? Any help would be really appreciated!
I think the admin of this web site is genuinely working hard in favor of
his site, as here every information is quality based material.
Everyone loves it whenever people get together and share ideas.
Great site, continue the good work!
It’s fantastic that you are getting thoughts from this paragraph as well as from our discussion made here.
how did they rush it out??? it is fantastic and always has been since the
beginning. it takes everything throw at it even when i
throw the phone itself.. AND THE HEADPHONE JACK COVER IS NOT MADE WRONG!
THE HOLE IS For the LITTLE MIC Around the TOP…The situation IS
NOT MADE WRONG ITS JUST STUPID IDIOTS BUYING SMARTPHONES
I absolutely love your blog.. Very nice colors & theme.
Did you create this site yourself? Please reply back as
I’m looking to create my very own blog and would love to
find out where you got this from or exactly what the theme is called.
Thank you!
I wanterd to tell you that I frequently access this blog with my blackberry, when I am
on the train to work, and it’s one of the few blogs that I’ve
come across that are legible on mobile phones, and that’s really remarkable.
Hello, everything is going perfectly here and ofcourse every one is sharing
facts, that’s really excellent, keep up writing.
It is perfect time to make some plans for the
future and it is time to be happy. I’ve read this post and if I could I want to suggest you some interesting things or suggestions.
Perhaps you can write next articles referring to this article.
I desire to read more things about it!
I have seen that these days, more and more people are increasingly being attracted to digital
cameras and the area of pictures. However, to be a photographer, you should first shell out so much
time period deciding the exact model of digicam to buy plus moving out of store to store just so you could possibly buy the cheapest camera
of the trademark you have decided to pick. But it would
not end at this time there. You also have to think about whether you should buy a digital digital camera extended
warranty. Thanks a bunch for the good ideas I gained from your blog.
I was recommended this website by my cousin. I am not sure whether this post is written by him as nobody else know such detailed about my trouble.
You’re amazing! Thanks!
I am curious to find out what blog system you’re utilizing?
I’m having some minor security issues with my latest blog and
I would like to find something more secure. Do you have any solutions?
I think the admin of this web page is really working hard for his
web site, for the reason that here every data is quality based information.
I am truly happy to read this weblog posts which carries plenty of helpful facts, thanks for providing such statistics.
Very soon this web sitе will be famous among all Ьlogցing people, dսe to it’s pleasant content
Good day! I could have sworn I’ve visited this site before but after going through many of the posts I realized it’s new to me.
Nonetheless, I’m definitely pleased I found it and I’ll be bookmarking it and checking back frequently!
One more issue is really that video gaming has become one of the all-time biggest forms of excitement for people of
any age. Kids engage in video games, plus adults do,
too. The particular XBox 360 has become the favorite video games systems for people who love
to have a huge variety of activities available
to them, and who like to learn live with some others all over the world.
Thank you for sharing your thinking.
We all have the right to express ourselves and to
share our knowledge and our opinions and such chat roulette websites give us the opportunity to do this.
So how easy is it to find a good, well known, place to play roulette game online.
If life is boring, there are now a host of sites following in the footsteps
of chatroulette where you can make random video chat connections.
Quality posts is the important to invite the people to pay a visit the web site, that’s what this site is providing.
Additionally there are couponing clubs where you could
spouse upward with additional promotion clippers to obtain reduce the coupons you don’t
require and discover the people you need to do.
Hiya very nice blog!! Man .. Excellent .. Amazing ..
I will bookmark your website and take the feeds additionally?
I’m satisfied to seek out a lot of useful information right
here in the publish, we’d like work out more techniques on this regard, thank you for sharing.
. . . . .
With havin so much written content do you ever run into any problems of plagorism or copyright violation? My website has a lot of exclusive content I’ve either written myself or outsourced but it looks like a lot of it is popping it up all over the internet without my authorization. Do you know any solutions to help protect against content from being stolen? I’d definitely appreciate it.
It’s actually a great and useful piece of information. I am satisfied that you just shared this helpful info with us. Please keep us up to date like this. Thanks for sharing.
Fantastic web site. Lots of helpful information here.
I am sending it to several friends ans additionally sharing in delicious.
And naturally, thanks in your sweat!
植毛手術は、髪の毛が薄い人には、劇的な改善をすることができるので大人気です。ただ優秀な医師にオペを依頼しないと思ったような効果は期待できません。養毛剤に比べて、トータルのコストも安くなるのでお得な薄毛改善と言えます。
Pretty great post. I just stumbled upon your weblog and wanted to mention that I’ve truly
loved surfing around your weblog posts. In any case I’ll be subscribing to your rss
feed and I am hoping you write once more soon!
引っ越料金の見積りがあがったらその金額を見て検討するのですが2~3社程度からひっこしの見積をやってもらうことで、似かよったサービスであっても値段の差異がどれくらいあるのかレベルを知ることができますし、値段に差異がなくてもサービスの差異を理解することができますからひっこしの見積りをしてもらえば安めでコストパフォーマンスのいい引っ越配送サービスに依頼することができます。
引越しの見積りをしてもらったらやっぱり他にも何社に引越の見積もりを依頼して引っ越の見積を比べてみるのがいいですね。ひっこしの見積りをして比較をすれば値段ではどの引越配送サービスが安くて、クオリティはどの引っ越し業者が質がいいのかということがはっきりとチェックすることができると思います。だから引越しの見積をやってもらってそれで終了というわけではなくて引っ越しの見積もりをしてもらったら数サービスを見比べてしてみるのが一番いいと思います。
引っ越の見積もりについてはひっこしをする時にはひっこしの見積りをしてもらってから引っ越業者を選択するのがよりよいと考えます。なぜ引っ越しの見積りが求められているのかというと引っ越の見積りをすることでどこの引っ越運送サービスが安めか、クオリティはどうなっているのか見比べてみることができます。引っ越の見積は、当然引越運送業者で行われています。引っ越の見積もりには事前に引っ越の見積のアポイントをいれておいて、アポイントをいれておいた日にひっこし運送サービスの担当者に家に来訪してもらいます。ひっこしの見積の手法はどの引越運送業者も大体同等なのですが、ひとつは、どれくらいのタンスの数量はどれくらいか、大きな荷物もどれくらいあるのかチェックしてもらえます。そして引越先への遠さや引越先のすまいの状況なども引越しの見積りの送料に影響があると思います。
But a smiling visitant here to share the love (:, btw great design and style .
I have to thank you for the efforts you have put in penning
this blog. I’m hoping to view the same high-grade content by you later on as well.
In fact, your creative writing abilities has motivated me to get my own, personal site now 😉
This piece of writing is really a nice one it helps new internet users,
who are wishing for blogging.
Any additional suggestions or hints? You remind me of my aunt. I had to take a break from cleaning carpet to read your article. If you can, shoot me an email and we can talk because I have an idea you will like. Nice read.
Tumblr experts would agree. A lot of stuff to take into consideration. Could you write more about this? My bestie is trying to discover more on this topic.
Your creative potential seems limitless. Do not get afraid to spread your thoughts. I have learned new things through your posts. good insight.
Article writing is also a fun, if you be familiar with afterward you can write otherwise
it is difficult to write.
Hello there Remedial Sanding Reg A dan B | blog sainul hermawan
NEW SOFTWARE – Live Event Blaster 2
Watch me Rank On Page #1 In 60 Seconds !
Get Instant Access to The ONLY SOFTWARE That RANKS Hundreds Of Live Events For You
And Keeps The Rankings Sticking For Good!!
Read More: http://bit.ly/Live_Event_Blaster
Hello my friend! I want to say tat this post is awesome, great written and come with almost all significant infos.
I would like to see more posts like this .
I see you don’t monetize your website, don’t waste your traffic, you can earn extra bucks every month.
You can use the best adsense alternative for any type of website (they
approve all websites), for more details simply search in gooogle: boorfe’s
tips monetize your website
Amazing issues here. I am very happy to look your post. Thanks a lot and I’m taking a look ahead
to touch you. Will you please drop me a e-mail?
For newest news you have to go to see the web and on web I found this website as a finest site for hottest
updates.
I do trust all the ideas you have introduced for your post.
They’re really convincing and can certainly work.
Still, the posts are very short for newbies.
May just you please extend them a bit from subsequent time?
Thanks for the post.
I am really glad to read this web site posts which carries lots of useful
information, thanks for providing these data.